Beberapa orang ilmuwan menyadari bahaya penipuan masal ini. Salah seorang di antara mereka, Kurt Bachwitz, menulis buku yang membongkar kebohongan propaganda Nazi. Ia meramalkan bahwa teknik-teknik pengerahan massa gaya Nazi itu pada akhirnya akan melahirkan penyakit jiwa massa, der masenwahn. Wahn ialah waham, ilusi, delusi, atau halusinasi. Karena tulisan-nya, Bascwitz terusir dari jerman dan lari ke Belanda.
Puluhan tahun setelah itu, tak lama setelah Nazi jatuh, ilmuwan lainnya, Emil Dofivat membongkar dan menganalisis teknik-teknik propaganda Nazi dan menyebutnya sebagai prinsip-prinsip pengendalian massa, Die Grundgesetze der Massenfuehrung. Jika anda tertarik, saya ingin menyebutkan satu di antaranya.
Menurut Dofivat, bila terjadi sesuatu yang jelek di tengah-tengah bangsa seperti depresi ekonomi atau berbagai bencana rakyat akan gelisah. Mereka merasa bersalah. Persis seperti yang dirasakan anak kecil ketika kedua orang tuanya bertengkar. Penderitaan material berupa Kesulitan ekonomi diperparah dengan penderitaan psikologis Karena perasaan bersalah. Kaum Nazi memanipulasi-kan perasaan bersalah ini dan memberikan cara untuk melepaskannya. Teknik ini disebut Vernunftuebung, teknik mengeruhkan akal sehat.
Supaya rakyat tidak menyalahkan dirinya, dan yang paling penting tidak menyalahkan pemerintah yang berkuasa, harus dicari kambing hitam. “Dengan terus-menerus menyebarkan suuzan (buruk sangka) kepada obyek yang dijadikan kambing hitam dari kesalahan mereka,” tulis Dofivat, ”akan muncul pengeruhan akal sehat, yang berakhir dalam kegilaan massa.”
Seluruh penderitaan Jerman karena depresi ekonomi ditimpakan kepada orang Yahudi. Secara etnis, karena minoritas, mereka lemah. Secara ekonomis, mereka kuat, sehingga mengundang kecemburuan sosial. Kelemahan etnis dan kecemburuan sosial dimanfaatkan untuk membangkitkan kebencian massal. Selain Yahudi, orang komunis dijadikan kambing hitam kedua. Kemudian, dengan logika yang dibikin-bikin, keduanya dihubungkan dalam teori konspirasi. Untuk itu, peristiwa-peristiwa kecil dibesar-besarkan dan dikemas untuk membakar massa.
Misalnya, peristiwa pembunuhan pemuda Nazi yang bernama Horst Wessel. Soalnya sederhana saja. Wessel punya pacar yang sekaligus wanita tunasusila. Kekasih WTS yang lama muncul. Terjadi perkelahian Wessel kalah dan tertembak. Goebbels, pemimpin Nazi di Berlin, menjenguknya di rumah sakit. Ketika Wessel akhirnya mati, Goebbels menulis terus-menerus di surat kabar tentang ”Kepahlawanan” Wessel. Cerita yang diulang-ulang ialah Wessel telah dibunuh dengan sangat keji oleh orang komunis. Sebuah ”apel akbar” diselenggara-kan untuk mengenang kematian Wessel. Horst Wessel Lied, sebuah lagu yang dibuat untuk memuja Wessel menjadi lagu wajib dalam setiap acara Nazi.
Peristiwa ini dan berbagai peristiwa lainnya telah menyeret bangsa Jerman pada pemburuan dan pembunuhan sekelompok manusia yang dosanya hanyalah karena mereka lahir sebagai Yahudi atau mengikuti komunisme. Bangsa yang melahirkan para filsuf sebesar Hegel, Nietzsche, dan Heidegger menjadi robot-robot penguasa yang tak punya pikiran dan perasaan. Gelombang demi gelombang kerusuhan menyerang dan meng-hancurkan apa saja yang sudah didefinisikan sebagai Yahudi dan komunis. Inilah kegilaan massa yang paling besar dalam sejarah.
Mestikah tragedi historis ini berulang di negeri kita? Jawabannya tentu saja tidak --dengan huruf besar semua. Karena itu hentikan semua pengalihan persoalan, pencarian kambing hitam, atau penghindaran tanggung jawab. Bila pada masa Jerman Nazi dahulu ada Kurt Baschwitz, kali ini kita mendengar peringatan yang sama dari Prof. Dr. Soetandyo Wignyosoebroto, anggota komnas HAM --tanpa melupakan pernyataan keprihatinan dari para peneliti LIPI.
Prof. Wignyosoebroto ditanya mengapa dalam berbagai kerusuhan di negeri kita belakangan ini yang menjadi sasaran adalah kelompok minoritas. Ia berkata: ”Sebenarnya kita tidak boleh begitu mengorbankan mereka yang minoritas. Tetapi yang terjadi kini adalah kelanjutan dari kebiasaan, Kalau terjadi problem, selalu mengarah ke kambing hitam. Kita tak pernah mengakui kesalahan orang yang kuat, tetapi kesalahan itu selalu dikembalikan kepada yang lemah posisinya, baik dari segi ekonomi, ras, atau yang lain.
Ini persoalan manejemen pem-bangunan yang dilakukan pemerintah. Namun, apa pernah ada yang mengakui kesalahan manajemen masa lalu tersebut? Tidak. Kesalahan ditimpakan kepada penjual yang menimbun sembilan bahan pokok serta para spekulan, masyarakat yang gampang marah cari pelampiasan. Bagi saya, pengusaha penyalur sembilan bahan pokok di desa yang mungkin saja kedapatan menimbun, itu korban perubahan. Perusuh itu korban keadaan. Don’t blame the victim, jangan salahkan korban.” (Kompas, 17 Februari 1998).
Bagi kita, apakah kita mau mendengar nasihat para ilmuwan yang masih berpikiran jernih? Atau, apakah kita ikut serta mengeruhkan akal sehat jutaan rakyat Indonesia, setelah kita menyebabkan penderitaan mereka? []
(Artikel ini pernah dimuat dalam media UMMAT, No. 32 Thn. III, 2 Maret 1998/3 Zulkaidah 1418 H.)