Allahumma shalli 'ala Muhammad wa Ali Muhammad
“Kita menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi di Rakhine State, Myanmar,” kata Presiden Jokowi, “Menlu telah berangkat ke Myanmar untuk meminta Pemerintah Myanmar agar menghentikan dan mencegah kekerasan, agar memberikan perlindungan kepada semua warga, termasuk muslim di Myanmar.” Indonesia mengutuk dengan keras tragedi kemanusiaan di Myanmar. Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang cepat bereaksi dan menempuh berbagai jalan resolusi.
“Keadaan saudara tertindas kita yang tak berdaya di Myanmar, puluhan ribu orang terusir dan kini mengungsi di Bangladesh, mereka tinggal dalam situasi yang paling buruk. Utusan yang kami kirimkan mengabarkan hal yang akan membuat kita tidak bisa tidur karenanya.” Demikian petikan pesan dari puluhan pesan yang disampaikan dalam berbagai ceramah tentang Myanmar dari Sayyid Ali Khamenei, Kepala Negara Iran. Di kesempatan lain, ia membandingkan standar ganda Barat bila terjadi musibah pada binatang dan pada manusia. Perbandingan yang sangat keras.
“Anda dapat melihat situasi di mana Myanmar dan Muslim berada.” Kata Presiden Erdogan dari Turki, “Anda dapat melihat bagaimana desa-desa dibakar. Kemanusiaan tetap diam terhadap pembantaian di Myanmar.” Turki mengirim 10 ribu ton bantuan, dan Ibu Negara mengunjungi tempat-tempat pengungsian.
Tiga reaksi yang mewakili kegeraman kaum Muslimin. Semua bertindak, semua bersikap. Semua beraksi lebih dari doa yang dipanjatkan. Ah, semoga saja kesamaan sikap ini akan membawa pada apa yang sangat dibutuhkan umat sekarang ini: persatuan.
Ya, konflik (menjadi) berlarut-larut karena pemimpin tak satu suara. Ketertindasan saudara kita di Rohingya sudah berlangsung sekian lama. Semoga saja ini saat para pemimpin itu mengangkatnya pada tataran yang lebih luas: konferensi dunia untuk Rohingya. Khususnya, Konferensi Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam. Apa susahnya?
Dahulu, ketika Suriah dihancurleburkan oleh pemberontak bersenjata, negara-negara Arab dengan cepat bersatu. Mereka justru memboikot Suriah dari berbagai hubungan kerjasama. Alih-alih membantu, mereka malah mengisolasi negara itu. Lihat juga apa yang terjadi ketika Saudi bertikai dengan Qatar. Dalam hitungan detik juga, negara-negara sekutu Saudi memutus hubungan diplomatik dengan Qatar. Mengapa tidak ada gerakan secepat dan seperti itu untuk sebuah kasus kemanusiaan?
Persatuan menjadi barang langka di tengah umat sekarang ini. Itulah ikhtilaf yang sebenarnya.
Mari jadikan musibah saudara kita di Rohingya titik awal, betapa pun terlambatnya itu, untuk sebuah gerakan persaudaraan dan persatuan umat Islam sedunia. Sudahi pertikaian antar sesama. Hentikan perdebatan antar kelompok di antara kita. Lihat pada apa yang mempersatukan kita: bersaudara sebagai sesama umat manusia.
Dan bila itu terjadi, setelah (atau bersamaan dengan) Rohingya, mari bersatu untuk Palestina. Mari bersatu untuk saudara Kashmir di antara India dan Pakistan. Haruskah diedarkan gambar penderitaan mereka agar nurani kemanusiaan kita terketuk juga? Mari bersuara untuk saudara di Yaman, yang dibombardir pesawat-pesawat negeri tetangga. Menurut UNICEF, “Yaman adalah the worlds largest humanitarian crisis” tapi, pernahkah kita berdoa untuk mereka? Mari berteriak untuk saudara di Bahrain yang bertahun-tahun menderita. Mari bertindak untuk saudara di Irak, di Suriah, di Lebanon, di Afghanistan…dan ratusan ribu pengungsi yang terusir dari tanah air mereka. Mari satukan gerakan, bersama saudara kita di Rohingya, ada jutaan umat manusia, dari berbagai kelompok dan agama, yang teraniaya karena kepentingan segelintir penguasa. Karena hasrat mereka yang haus akan dunia. Mari jadikan ini momentum untuk persatuan bersama. Semoga persatuan kecaman para pemimpin dunia itu ditujukan juga bagi berbagai krisis kemanusiaan yang ada.
Karena musuh teramat besar umat manusia itu tak pernah sesaat pun lupa memperhatikan kita. Ya, musuh itu adalah keakuan. Terkadang, dalam pembelaan pun masih ada keakuan. Ketika kita menolong yang hanya sekelompok dengan kita. Dalam kasih sayang pun masih ada keakuan, ketika kita bereaksi hanya untuk mereka yang satu barisan dengan kita. Kita diam bila yang ditindas bukan dari kita. Kita tak geram bila yang dicaci bukan termasuk kelompok diri. Kita menutup mata bila yang dianiaya ternyata tak seagama. Pada saat-saat seperti inilah, kita merindukan teladan kenabian. “Ia yang bukan saudaramu dalam agama, adalah saudaramu sesama umat manusia.” Kata Ali bin Abi Thalib ra, satu di antara penerus kenabian itu.
Ah, Mawlana. Rasanya di tengah dunia yang berkecamuk, di tengah keakuan yang makin mengamuk…rindu tak terkira untuk melihat teladan para nabi di tengah kita. Ali bin Abi Thalib digelari “Suara Keadilan” karena ia tak tinggal diam pada apa pun bentuk penindasan. George Jordac, seorang penulis Kristen Lebanon menulis buku “Ali: The Voice of Human Justice.” Hari-hari seperti ini rasanya lembar demi lembar buku itu wajib dibaca setiap kali. Ali yang mengetuk pintu rumah saudaranya yang miskin. Ali yang memikul kantung gandum di punggungnya setiap malam, menyantuni rumah-rumah anak-anak Yatim. Ali yang mendengar tangis seorang yatim, lalu mengambil gandum di rumahnya, memikulnya sendiri. Qanbar yang berkhidmat kepadanya meminta izin mengambilnya. Ali menolaknya. Ia memasakkan makanan buat mereka yang menangis itu. Ia bahkan membungkuk dan membiarkan mereka bermain tunggangan di atas punggungnya. Ali yang menggali sumur dan mengalirkan airnya untuk masyarakat seraya berkata: Hasan dan Husain tak memiliki sumur ini. Ini untuk umat seluruhnya. Adalah al-Hasan putra Ali yang membagikan makanan setiap hari. Ketika seorang tua meminta jatah dua, al-Hasan bertanya untuk siapa. Kata orang tua itu, untuk dia yang berada di batas kota, yang berpeluh keringat dalam bekerja. Al-Hasan terisak dan berkata: Dialah ayahku Ali. Karena kerja dia, kami membagikan makanan ini.
Teladan Ali, suara yang dibutuhkan manusia. Ali yang menyuapi mulut fuqara. Ali yang mendekap erat penderita lepra. Ali yang mengusap air mata. Tapi Ali juga yang menampar kezaliman. Ali yang meruntuhkan kepongahan. Ali yang mengangkat nasib mustadh’afin.
Di mana gerangan, pelanjut teladan kenabian semisal Ali? Tidakkah kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar ia dihadirkan di tengah-tengah umat manusia?
@miftahrakhmat