Dengan kalimat-kalimat itulah, Will dan Ariel Durant memulai jilid ke-10 The Story of Civilization. Buku ini menceritakan peradaban dunia pada Abad XVIII. Mereka menyebutnya sebagai Abad Jean-Jacques Rousseau. Abad XVIII telah membesarkan dan membentuk Rousseau; tetapi Rousseau telah membesarkan dan membentuk pemikiran umat manusia berabad-abad setelah itu.
“Pada zaman kita sekarang ini, Rousseau biasanya dikutip sebagai sebuah klasik dari filsafat politik modern yang awal. Ia lebih dari itu; ia adalah tokoh sentral dalam sejarah filsafat modern dan barangkali tokoh utama dalam budaya modern sebagai suatu keseluruhan” (Velkley 2002:31). Pemikiran Rousseau telah menjadi pemikiran filsafat klasik. Untuk disebut klasik, sebuah pemikiran harus relevan untuk berbagai zaman. Pemikiran klasik melintas ruang dan waktu.
Dalam sebuah pertemuan umat beragama, ketika kami membicarakan perkembangan politik berdasarkan agama di Indonesia, saya tiba-tiba diingatkan pada Du Contrat Social. Saya merasa Rousseau berbicara kepada saya dan bangsa saya. Problem yang dihadapi bangsa ini sudah dijawab oleh pemikir Perancis ini (Rousseau lebih senang menyebut dirinya un citoyen de Geneve, “seorang warga dari Geneva”), seratus tahun sebelum Perang DIponegoro. Pengalaman hidup saya, dalam era reformasi, saya bawa ke dalam pemaknaan terhadap tulisan Rousseau. Seperti kata Hans-Georg Gadamer (1960:184), pengalaman kita, seluruh riwayat hidup kita, prakonsepsi kita (Vorurteile) akan mewarnai pembacaan kita. Pada saat yang sama, cakrawala hermeneutic kita berubah sebagai hasil bacaan kita.
Ketika membaca buku ini, saya merasa saya menyambut sapaan Rousseau dalam pengantarnya padaDiscours sur l’inegalite, Asal-usul Ketimpangan, “Karena pokok perhatianku adalah umat manusia secara keseluruhan, saya akan berusaha menggunakan gaya (style) yang disesuaikan dengan semua bangsa, atau dengan agak melupakan ruang dan waktu, untuk memperhatikan hanya orang yang saya ajak bicara. Saya akan menganggap diri saya berada di Lyceum Athena, mengulangi pelajaran dari guru-guru saya, dengan Plato dan Socrates sebagai penguji saya, dan semua umat manusia sebagai pendengar saya” (III:135).
Sebagai orang yang menyaksikan politik Indonesia pasca Tatatan Baru, apa saja namanya, saya memperoleh pencerahan tentang apa yang dialami bangsa ini, sebagaimana Rousseau melihat masalah itu pada zamannya. Dari pembacaan terhadap Du Contrat Social, saya melihat kerisauan kita pada posisi agama dalam kehidupan negara. Dari kritik Rousseau pada modernitas, saya mendapat inspirasi untuk melihat problem besar bangsa ini dalam kehidupan sosial. Dengan jelas saya melihat bangsa Indonesia memasuki globalisasi dan ditelan mentah-mentah oelh Raksasa Kapitalis. Saya melihat system ekonomi dan politik yang menindas. Ciri utamanya adalah ketimpangan – inegalite.
Pembahasan tentang Ketimpangan
Rousseau mengkritik keras perkembangan sains dan modernitas dalam bukunya Discours sur l’inegalite. Voltaire, dari pihak yang memuja sains dan kemajuan, menyebut buku itu sebagai “buku kedua yang menentang umat manusia”. Dalam buku itu, warga Negara Jenewa ini memuji “manusia primitif” yang belum dicemarkan oleh masyarakat. Pada awalnya, ketika manusia relatif terisolasi dari manusia yang lain, ia tidak punya ambisi untuk menguasai orang lain. Ia berbeda dengan Hobbes, yang justru mengatakan bahwa “tabiat” manusia ialah mementingkan diri sendiri. Ia ingin menundukkan dunia untuk melayani dirinya.
Hobbes, kata Rousseau, tidak dapat membedakan antara mementingkan diri (amour proper) dan mempertahankan kelangsungan hidup (amour de soi-meme). Yang kedua adalah watak le bon sauvage;sedangkan yang pertama datang ketika manusia sudah memasuki kehidupan bermasyarakat.
Alih-alih mendukung kemajuan, Rousseau mengajak kembali kepada alam, kepada masyarakat yang belum dirusak oleh sains dan teknologi. Voltaire mengecam buku Discours sur l’inegalite dengan keras:
“Belum pernah kecerdasan yang begitu cemerlang digunakan dalam upaya untuk mengubah kita jadi binatang. Kita ingin berjalan merangkak lagi setelah membaca bukumu. Tetapi karena aku sudah kehilangan kebiasaan itu lebih dari enam puluh tahun yang lalu, aku takut tidak bisa lagi melakukannya” (Voltaire, 1973:179).
Mengapa kemajuan telah membuat manusia menjadi buruk? Karena sistem sosial kita, termasuk sistem ekonomi kita ditegakkan di atas kepentingan diri. Mengikuti Adam Smith, bila setiap orang berjuang untuk dirinya, akhirnya akan datang ‘invisible hand” yang membawa kita kepada kemakmuran.“We address to ourselves, not to their humanity, but to their self-love” kata Adam Smith dalam An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (Smith 1776:26-27).
Karena self-love itu, yang terjadi bukan kedatangan “invisible hand”, tetapi ketimpangan. Lihatlah ke sekitar kita. Rousseau berkata, “Adanya orang-orang yang sangat santai di tengah-tengah orang-orang yang bekerja sangat keras…adalah bukti fatal bahwa kebanyakan dari penyakit kita dibikin oleh kita sendiri. Kita dapat menghindari hampir semuanya itu dengan mempertahankan hidup sederhana, teratur dan menyendiri seperti yang diajarkan alam kepada kita” (III:138).
Walaupun terjadinya ketimpangan itu dimulai dari saat ketika orang menutup sebidang tanah dan mengatakan “ini milikku”, Rousseau tetap menganggap bahwa hak milik adalah hak paling suci dari semua hak warga negara, “le droit de propriete est le plus sacre de tous les drots des citoyens” (III:263). Rousseau tidak sepakat dengan kaum komunis yang meniadakan hak milik. Ia hanya menentang akumulasi kekayaan pada kelompok tertentu. Menurutnya, kekayaan berlimpah adalah ancaman pada kebebasan. “Salah satu dari fungsi pemerintah ialah mencegah terjadinya ketimpangan yang berlebihan dalam pemilikan kekayaan,” (III:113).
Orang yang disebut Edmund Burke sebagai “Socrates gila dari Dewan Nasional”, dalam karya operanyaLe Devin du Village, meramalkan bahwa modernitas, bukannya membebaskan manusia tetapi malah memenjarakannya dalam sebuah sistem yang tidak ada jalan keluarnya, tidak ada harapan indah akan kehidupan setelah mati, dan tidak ada keselamatan. Dunia hedonisme dan materialisme yang garang, yang didasarkan pada pemujaan diri.
Adakah jalan keluar? Dalam Mon portrait (I:1120), Rousseau menjawab, “Aku hanya pengamat, bukan moralis. Aku botanis yang menguraikan tanaman. Biarkan dokter yang mengatur penggunaannya”. Walaupun begitu, selain pendidikan yang tidak mungkin dibicarakan di sini, ia mengusulkan ekonomi yang mungkin kita sebut sekarang sebagai ekonomi kerakyatan. Ia menganjurkan pengembangan pertanian, desentralisasi dan kemandirian. Ia menentang ekonomi modern yang kapitalistik dan perdagangan internasional. Dalam sejarah pemikiran ekonomi, filsafat ekonomi Rousseau itu hampir tidak diakui. Bahkan para pembahas Rousseau pun kebanyakan mengabaikannya. Bernard de Jouvenel menulis, “Gagasan politiknya dalam Du Contrat Social sangat mendalam memengaruhi kita; sedangkan gagasan sosialnya, yang paling banyak terdapat dalam karya-karya Rousseau sama sekali tidak.” (de Jouvenel 1965:18).
Kelahiran buku ini dalam bahasa Indonesia mudah-mudahan mengantarkan kita pada kajian mendalam tentang pemikiran sosial ekonomi Rousseau. Sambil membawa pengalaman kita pada pembacaan, karya-karya Rousseau akan memperluas cakrawala pemikiran kita. Sekarang, marilah kita bawa pemikiran agama kita untuk memahami Du Contrat Social bagian akhir, agama sipil.
Posisi Agama dalam Negara
Dalam panggung politik Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang, para politisi sibuk memikirkan tempat agama dalam negara. Dalam perdebatan calon presiden dan calon wakil presiden 2009, seorang cendekiawan bertanya kepada setiap calon presiden dan calon wakil presiden tentang tempat agama dalam Negara. Sekiranya mereka membaca Du Contrat Social bagian akhir, pastilah kita tidak mendengar jawaban-jawaban yang selain tidak “nyambung” juga tidak mempunyai makna apa-apa.
Rousseau membicarakan posisi agama dalam negara dalam Du Contrat Social, Livre IV, chapitre 8. Ia memberinya judul De la Religion Civile. Dalam buku ini diterjemahkan sebagai “agama sipil”, Saya lebih senang menerjemahkannya sebagai “agama madani”. Sudak makruf bahwa civil society diterjemahkan sebagai masyarakat madani. Tidak ada hubungannya dengan Kota Madinah, kota suci Islam; tetapi ada hubungannya dengan kata tamaddun yang berarti peradaban.
Pada zaman dahulu, begitu Rousseau bercerita, setiap bangsa mempunyai dewanya sendiri. Sebanyak bangsa, sebanyak itu juga dewa. Dewa satu kabilah hanya mempunyai kekuasaan atas kabilahnya. Dunia seakan-akan dibagi dalam kekuasaan banyak dewa. “Dewa zaman berhala sama sekali bukan dewa yang suka iri hati, mereka saling berbagi wilayah kekaisaran dunia.”
Ada beberapa keuntungan dengan adanya dewa-dewa local (atau nasional). Pertama, tidak terjadi peperangan agama. Karena setiap bangsa tidak berkepentingan untuk menyembah dewa lain atau menaklukkan dewa yang lain. Kedua, pembelaan terhadap negara adalah pembelaan terhadap Tuhan mereka. Rakyat akan melakukannya dengan suka cita. Mati membela Negara adalah mati syahid. Membela negara bukan wajib militer, tapi wajib Ilahi. Ketiga, di sini tidak ada pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan duniawi.
Dimulai dari munculnya agama Yahudi, kemudian Kristen, umat beragama sekarang memuja Tuhan yang kerajaannya bukan di bumi ini. Terjadilah pemisahan pertama antara kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan duniawi. Orang Romawi mencurigai ketidakpedulian umat Kristiani pada politik. Pada zaman itu, mereka dikejar-kejar. Darah yang tumpah ternyata memperkuat Kristianitas. Dengan berkuasanya kerajaan Tuhan terjadilah pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan temporal. Kepercayaan agama berada di luar kekuasaan politis.
Rousseau memuji sistem politik Nabi Muhammad. “Nabi Muhammad memiliki pandangan yang sangat sehat. Ia membangun sistem politiknya dengan baik dan, selama bentuk pemerintahnya dapat dipertahankan di bawah para kalifah yang menggantikannya, pemerintahnya tetap satu, dan baik karenanya. Akan tetapi, orang Arab yang menjadi makmur, beradab, berbudaya, lembek dan pengecut, dikuasai oleh orang biadab, maka pemisahan antara kedua kekuasaan terjadi lagi”.
Jadi Rousseau tidak setuju dengan pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan politik. Berdasarkan hubungan di antara keduanya, Rousseau menyebutkan tiga macam agama. La religion de l’homme, agama manusia; la religion du citoyen, agama warga Negara; dan ada agama jenis yang ketiga, tidak diberi nama, une troisieme sorte de Religion.
Agama yang pertama bersifat individual, keyakinan yang bersifat pribadi, “semata-mata terbatas pada pemujaan Tuhan yang Mahamulia dalam hati masing-masing dan pada kewajiban moral yang abadi”. Agama yang kedua, agama sosial, dianut oleh seluruh rakyat. Agama itu menyembah Tuhan dari bangsanya. Agama yang ketiga, dianggap paling aneh oleh Rousseau, adalah agama yang menempatkan penganutnya pada dua undang-undang, dua tanah air dan dua kewajiban.
Dalam hubungannya dengan negara, semua agama itu bercacat. Yang pertama, karena bersifat pribadi, bertentangan dengan kewajiban sosial. Agama ini menjauhkan rakyat penganutnya dari kehidupan politik. Penganutnya tidak mempunyai ikatan yang kuat dengan negara. Dengan keras Rousseau berkata, “masyarakat yang terdiri dari penganut Kristen yang taat rasanya tidak dapat lagi dianggap sebagai masyarakat manusia…. Kalau Negara makmur, ia hampir tidak menikmati kesejahteraan umum itu, ia takut merasa bangga atas kehebatan negerinya. Kalau negara mundur, ia mensyukuri hukuman Tuhan bagi rakyatnya”. Agama ini tidak akan memberikan kontribusi bagi kejayaan Negara.
Agama yang kedua, “mempersatukan pemujaan Tuhan dengan kecintaan kepada undang-undang. Dengan menjadikan tanah air sebagai sasaran pemujaan warga, agama itu mengajarkan bahwa membela tanah air sama artinya dengan membela Tuhan yang menjadi pelindungnya. Itu adalah sejenis teokrasi. Yang menjadi pemimpin tertinggi agama tak lain dari pemimpin politisnya”. Agama ini jelek karena eksklusif dan tiranis. Agama ini membawa satu bangsa untuk memerangi bangsa lain.
Agama yang ketiga adalah yang paling jelek. Rakyat harus setia kepada agama dan kepada Negara sekaligus. Dalam situasi seperti itu, mereka umumnya mendahulukan kesetiaan kepada agama ketimbang kepada negera. Sekedar misal, dahulu ketika saya menjadi aktifis Islam yang ingin menegakkan syariat Islam, saya dibaiat untuk setiap kepada Tuhan dengan menentang semua hukum negara. Mematuhi hukum Negara berarti mematuhi thaghut, atau tiran. Saya harus memilih di antara dua, syariat Islam atau hukum jahiliyah. Sudah pasti saya akan memilih yang pertama. Saya menjadi warga negara kerajaan Tuhan yang memberontak pada kerajaan bumi.
Karena ketiga agama itu jelek, Rousseau mengusulkan jenis agama yang keempat, la religion civile, agama sipil,, agama madani. Walaupun tidak jelas bentuknya, Rousseau merindukan sebuah agama yang akan memberikan inspirasi kepada rakyat untuk membela negaranya seperti membela agamanya, bagian positif dari agama warga negara. Agama itu mempersatukan rakyat dalam perasaan kebersamaan sosial. Ia tidak mempersoalkan keyakinan masing-masing tentang jalan ke surge; tetapi ia mengajarkan bagaimana hidup bersama dengan sesama warga Negara, apapun agamanya.
Agama sipil terdiri dari dua dogma: positif dan negatif. Dogma positif berkaitan dengan apa yang ingin saya sebut sebagai nilai-nilai universal, seperti kepercayaan kepada Tuhan, ganjaran kepada orang saleh dan hukuman kepada orang salah. Dogma negatif ialah menolak sikap tidak toleran. Agama sipil menghormati setiap agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.
Rousseau menjawab kegamangan kita tentang peranan agama dalam kehidupan Negara. Mengapa kita, apa pun latar belakang agama kita, tidak bergabung dalam sebuah keberagamaan yang toleran. Agama sipil. Dari Rousseau saya belajar mengembangkan keberagamaan saya dari Islam Fiqhi, yang bersifat legalistis, ke Islam Siyasi, yang bersifat politis eksklusif, ke –mengikuti Rousseau- Islam Madaniyang pluralistis.
Karena setiap orang membawa pengalaman hidupnya ketika membaca teks, saya tahu bahwa pembacaan saya hanyalah satu dari sekian banyak “penafsiran” terhadap Rousseau. Saya membacanya dari latar belakang Indonesia setelah jatuhnya Tatanan Baru, “ancien regime” kita. Saya membaca buku itu sekarang. Sebagaimana disepakati oleh para pelajar hermeneutik, tugas hermeneutika adalah menjembatani teks ketika dibacakan para dewa kepada Hermes dengan teks yang dibacakan Hermes kepada orang Yunani pada zaman yang berlainan. Boleh jadi saya salah. Tapi, bukankah Rousseau sendiri, dalam suratnya kepada pendeta Jenewa, Usteri memberikan kepada kita keberanian untuk berbuat salah:
“Sahabatku tercinta, aku tidak bermaksud meyakinkanmu. Aku tahu tidak ada dua kepala yang diatur sama, dan setelah banyak perdebatan, banyak keberatan, banyak penjelasan, semuanya berakhir dengan mengikuti sentiment yang sama seperti sebelumnya… Aku mungkin selalu salah, aku tidak syak lagi sering salah. Aku sudah menyatakan alasanku. Terserah kepada masyarakat, terserah kepada kalian untuk menimbangnya, menilai dan memilih” (Lettre a Usteri, 763, Collected Works XVII:62-65).
Kata pengantar Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Perihal Kontrak Sosial: Prinsip Hukum-Politik” karya Jean Jacques Rousseau, Penerbit Dian Rakyat, Cetakan ke-2 Tahun 2010.
Rujukan Pustaka
Gadamer, H.G. 1960. Wahrheit und Methode. Tubingen: Mohr.
Jouvenel, B.D. 1965. “Rousseau, evolutioniste, pessimiste”, dalam Rousseau et la Philosophie classique.Paris: Presses Universitaires de France.
Velkley, R.L. 2002. Being after Rousseau: Philosophy and Culture in Question. Chicago: University of Chicago Press.
Voltaire, J.M de. 1973. Selected Letters of Voltaire. New York: New York University Press.
(Islam Madani)