Pengantar Tafsir Min Wahyil Qur’an
Saya akan bacakan madhaalun ‘aamun (pengantar umum) saja. Saya bacakan dari tulisan Arab Sayyid Hussein Fadhlullah ini supaya bapak dan ibu dapat merasakan bagaimana bahasa Arabnya Sayyid Hussein Fadhlullah. Pertama, bahasa Arabnya sangat tinggi. Bukan bahasa Arab yang biasa. Setiap katanya memerlukan penjelasan yang panjang. Misalnya di sini beliau tulis “la ‘ala qiimah”. Apa artinya qiimah? Qiimah itu artinya nilai dan saya harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan nilai. Lalu diujung kalimat itu ada tasawwuran syaamilah. Tasawwur itu adalah istilah filosofis dan juga istilah psikologis. Bisa diartikan persepsi, bisa diartikan pandangan, atau juga bisa berarti makna gabungan kedua kata itu adalah pemaknaan pandangan yang komprehensif. Nanti kita akan bertemu dengan beberapa istilah yang hanya khas Sayyid Hussein Fadhlullah dan saya tidak menemukan itu pada mufassir yang lain. Misalnya Beliau menggunakan kata iha’aat, sulit Anda temukan di berbagai kamus untuk makna tersebut. Istilah iha’aat itu artinya jika saya terjemahkan adalah inspirasi, atau pelajaran yang bisa kita ambil, atau pemaknaan yang kita berikan. Istilah-istilah seperti itu banyak. Misalnya nanti kita akan bertemu dengan kata “fi rihaabil Qur‘aan”. Apa arti kata rihaab? Rihab berasal dari kata rahbah, bentuk jamak dari kata rahbah, yang artinya ‘al ardul waasi’ah atau as-shahah al waasi’ah yang berarti halaman yang luas. Tetapi akan membingungkan jika saya terjemahkan menjadi: “dalam halaman luas Al Qur’an”. Karena kata rihaab itu adalah kata idiom. Misalnya ada kata fi rihaabi rasulillah, yang artinya kota Madinah al munawwarah. Atau kata „fi rihaabillahi ta’ala“, yang artinya dalam perlindungan Allah swt. Ada juga kitab yang berjudul fi rihaabi ahli lbayt. Sulit sekali menerjemahkannya, yang bisa berarti kawasan, teritori, perlindungan, atau naungan.
Kita kembali ke pengantar umum kitab tafsir ini. Demikian beliau sampaikan: “Barangkali nilai surah ini (al-Fatihah) berarti bahwa mempersembahkan atau mempresentasikan atau mengantarkan dalam ayat-ayatnya sebuah pandangan yang komprehensif dalam hubungannya Allah dan dengan manusia, dan hubungan manusia dengan manusia dari segi sifat-sifat-Nya yang memiliki hubungan yang kuat untuk hubungan interaktif di antara keduanya.”
Nah, metode kedua adalah membahas topik-topik tertentu dalam Alquran. Seperti misalnya Ja’far Subhani menulis At-Tawhid fil Quraanil Kariim yang membahas tawhid saja sampai empat jilid.
Kembali ke UIN, setelah saya menyampaikan beberapa metode tafsir itu, tiba-tiba di antara hadirin ada yang memprotes, mengapa panitia UIN mengundang seorang ahli komunikasi dan bukan ahli tafsir Qur’an untuk membahas tafsir Qur’an. Mengapa orang yang latar belakang pengetahuannya itu pengetahuan umum diajak bercerita di sini untuk tafsir Al Qur’an. Saya sampaikan ini juga untuk menjelaskan sekalian kalau mungkin ada di antara bapak dan ibu yang protes mengapa saya menjelaskan tafsir Al Qur’an, padahal saya penulis buku Psikologi Komunikasi. Lalu, Ustad Quraish Shihab menjelaskannya dengan sangat bagus. Kata Beliau, kalau kita membicarakan Al-Quran kita harus mengambil pendapat dari orang-orang di luar ahli-ahli ilmu agama. Menurut Beliau, dari dulu ahli ilmu agama sering menafsirkan ayat surah Ar-Rahman ini, “yakhruju min huma lu’lu wal marjaan” (keluar dari keduanya, yaitu dari sungai dan laut, mutiara dan marjaan). Para penafsir sejak dulu dan termasuk saya kata Beliau, “huma” dalam ayat itu walaupun berarti “keduanya”, tetapi artinya adalah “hu”, yaitu laut saja, karena mutiara itu hanya keluar dari laut.
Sampai pada suatu saat, masih kata Beliau, dalam sebuah acara saya ditegur oleh seorang ahli mutiara. Dan dia sedang beternak mutiara di dalam sungai di Nusa Tenggara Timur, lalu saya ubah tafsirnya menjadi “keluar dari keduanya (dari sungai dan laut) mutiara dan marjaan.” Itu karena bantuan ilmuwan di luar bidang tafsir.
Tafsir Surah Al Fatihah
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn
Ar-raḥmānir-raḥīm
Māliki yaumid-dīn
Iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn
Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm
Ṣirāṭallażīna an’amta ‘alaihim gairil-magḍụbi ‘alaihim wa laḍ-ḍāllīn
Penjelasan Tafsir
Mengingat Allah (Dzikrullah)
Apakah yang dimaksud dengan bismillah itu agar supaya dia menjadi kalimat Qur’aniyah yang diulang-ulang oleh orang-orang beriman dalam qira’at mereka atau di dalam dzikir-dzikir mereka yang biasa kepada Allah. Apakah tidak ada lagi makna di luar itu semua? Atau apakah di dalamnya ada sesuatu yang lebih dalam dari itu semua? Mungkin kita perlu masuk ke dalam naungan Alquran untuk menyampaikan ayat-ayat yang banyak menegaskan tentang masalah dzikir kepada Allah di dalam setiap harukatuz-zamaan (gerakan zaman). “Dan berdzikirlah dengan nama Tuhanmu pada waktu pagi dan sore” (Q.S Al Insaan: 25).
Seperti banyak dikritik juga, bahkan oleh ulama-ulama Syiah, tafsir Sayyid Hussein Fadhlullah itu dianggap tafsir yang meniru tafsir Fi Zilalil Qur’an karya Sayyid Qutb. Yaitu tafsir yang dimaksudkan untuk menggerakkan, tafsir untuk sebuah gerakan Islam. Jika saudara melihat pidato beliau tentang asyura, beliau mengatakan bahwa sebenarnya ritus-ritus asyura sering mengalihkan kita dari hakikat asyura yang sebenarnya. Hakikat asyura adalah sebuah gerakan, di manapun kita berada.
Oleh karena itu, memang tafsir Sayyid Fadhlullah adalah tafsir gerakan. Karena itu, kita akan banyak menjumpai kata harakah (gerakan) itu, atau muharrikah (yang menggerakkan). Dan dalam gerakan zaman itu kita harus berdzikir di pagi dan sore hari. Di kalangan Nahdlatul Ulama, kita mengenal dzikir yang harus dilakukan pada pagi dan sore ini. Nabi Zakaria as pernah mengasingkan diri dari mihrabnya selama tiga malam terus menerus dan mengisinya dengan dzikir. Begitu keluar, ia memberitahu kepada kaumnya untuk mengisi paginya dengan dzikir kepada Allah dan pada petang juga dzikir kepada Allah Swt. Itulah yang kata Sayyid Fadhlullah, “Dzikir kepada Allah dalam gerakan zaman.”
Beliau menjelaskan lebih lanjut: “Supaya nama Allah itu menjadi permulaan atas apa yang akan dilakukan oleh manusia dan penutup apa yang akan dilakukan oleh manusia. Sebagaimana hari dimulai dengan fajar dan diakhiri dengan tenggelamnya matahari.”
Saya ingin menyimpulkan pertemuan kita kali ini. Pertama, bismillah itu adalah sebuah dzikir kepada Allah. Dan dibalik bacaan bismillah yang selalu harus kita lakukan dalam berbagai keadaan, ada makna yang lebih agung. Yaitu bahwa kita harus mengingat Allah dalam gerakan zaman kita. Kita mengingat Allah Swt pada pagi dan sore sesuai dengan gerakan zaman. Kita mengingat Allah dengan membaca bismillahiraah manirrahim pada waktu memulai setiap pekerjaan, berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw: “kullu ‘amrin la yubd’au bi bismillahirrah manirrahim, fa huwa aqtha’u” (segala perkara yang tidak dimulai dengan bismillahirrah manirrahim itu terputus). Artinya tidak akan abadi atau sia-sia, yang juga adalah pekerjaan yang merugikan. Awalilah pekerjaan itu dengan bismillah dan akhiri pula dengan bismillah.
Diskusi pada kajian kedua
Tafsir karya Sayyid Hussein Fadhlullah ini memang sebuah kitab tafsir gerakan, seperti tafsir Fi dzilalil Qur’an karya Sayyid Qutb. Dan tafsir Sayyid Qutb itu memang untuk menggerakkan menimbulkan militansi. Di Suriah, dulu tafsir Fi Zilalil Qur’an itu dilarang dibaca, bahkan jika hendak membaca harus difoto identitas dirinya. Ikhwanul Muslimin saya kira kitab tafsirnya adalah Fi Zilalil Qur’an.
Saya dulu pernah menerjemahkan tulisan Sayyid Qutb ketika saya masih sangat Islamist, ingin mendirikan negara Islam. Saya terjemahkan bukunya yang berjudul Mengapa Mereka Membunuhku? Orang-orang Barat menyebut Sayyid Qutb sebagai the founding father of Islamism. Asal-usul gerakan khilafah dapat dilacak dari tulisan-tulisan Sayyid Qutb. Beliau menulis pasca hancurnya kekhilafahan Utsmani atau kerajaan Ottoman. Menariknya, beliau menulis tafsirnya setelah sepulang dari Amerika. Beliau pulang dari Amerika dan mendirikan satu gerakan Islam untuk melawan Amerika. Beliau akhirnya syahid dengan digantung. Orangnya memang sangat saleh dan buat saya dia bukan saja tokoh gerakan, tapi juga sangat tawadhu.
Yang menarik, pemimpin tertinggi revolusi Islam Iran, Sayyid Ali Khamene’i, menerjemahkan tafsir Sayyid Qutb ini dalam bahasa Persia. Sayangnya di Indonesia saya belum menemukan ada kajian tafsir Fi Zilalil Quran. Tafsir beliau itu adalah tafsir ideologis, yaitu ideologi Islam yang sebenarnya. Walaupun tafsir Min wahyil Quran Sayyid Fadhlullah dianggap meniru tafsir Fi Zilalil Quran-nya Sayyid Qutb, sebetulnya tidak demikian. Ada perbedaan jauh tentunya, khususnya dalam ruh harakah atau gerakan itu. Sayyid Fadhlullah berpendapat bahwa Alquran itu harus menggerakkan pembacanya untuk bertindak dan bersikap, dan bukan hanya untuk qira’at atau sekadar dibaca tanpa memahaminya.
Biasanya kita membedakan jenis tafsir Qur’an. Pertama adalah tafsir bil ma’tsur, artinya tafsir berdasarkan hadits Nabi Saw. Contoh dari tafsir ini adalah tafsir dari Jalaluddin As-Suyuthi. Kedua adalah tafsir bir-ra’yi, artinya tafsir melalui pendapat dan pengetahuan penafsir itu. Dan tafsir karya Sayyid Fadhlullah ini dapat kita kategorikan sebagai kitab tafsir bir-ra’yi. Tapi biasanya tafsir bir-ra’yi mendapat konotasi yang negatif, karena ada hadist Nabi: “siapa yang menafsirkan Qur’an dengan ra’yu nya (pendapatnya) maka bersiaplah dengan tempat duduknya di neraka.” Tafsir beliau termasuk tafsir bir-ra’yi. Tetapi pada muqaddimah kitabnya Beliau menjelaskan apa yang dimaksud dengan tafsir bir-ra’yi itu. Dan bahwa Beliau malah mengkritik orang-orang yang terlalu mengutip hadits-hadits, baik dari Rasulullah saw maupun para Imam Ahlulbait dalam memberikan tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Karena dengan begitu sebetulnya, masih menurut Beliau, kita mengembalikan Al-Qur’an kepada zaman sebelumnya. Tidak mengikuti harakatuz-zamaan atau gerakan zaman.
Sayyid Hussein Fadhlullah ingin agar Alquran relevan dengan zaman di mana orang hidup dengan Al-Qur’an itu. Al-Qur’an itu menjadi petunjuk dan Sayyid Hussein Fadhlullah menegaskan huda lin-naas, harus menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia, pada zaman di mana manusia itu hidup. Jadi, penafsirannya harus relevan dengan tantangan yang dihadapi umat manusia. Kata an-naas itu Beliau tegaskan juga, bahwa Al-Qur’an itu bukan kitab untuk ulama saja, bukan untuk mufassirin saja, tetapi harus benar-benar menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia. Al-Qur’an bukan kitab untuk para elit. Misalnya ayat Al-Quran mengenai perintah memukul istri. Beliau menafsirkan makna dharaba (pukul), bukan memukuli istri secara fisik di tempat tidurnya, namun menjauhi istri dari ranjang mereka sebagai hukuman. Mungkin penafsiran makna dharaba adalah memukul secara fisik pada zaman dahulu dalam budaya Arab diterima, tetapi zaman sekarang makna itu harus dikaji kembali. Beliau bahkan mengeluarkan fatwa yang dikritik oleh banyak kalangan di dunia Arab, bahwa jika istri dipukul maka istri memiliki hak untuk membalas. Itu adalah upaya Sayyid Fadhlullah mengangkat hak-hak perempuan, menafsirkan secara relevan dengan perkembangan zaman. ***
Ditranskrip oleh M. Baagil dari kajian bulanan majelis taklim Al-Wahda Jakarta bekerja sama dengan Lembaga Pembinaan Ilmu-Ilmu Islam (LPII), 3 September 2019.
Sumber:
https://embaagil.wordpress.com/2019/09/27/kajian-02-kitab-tafsir-min-wahyil-quran/