Pimpinan partai dari Malaysia itu bingung karena tidak bisa membedakan antara Islamis dengan Islam. Antara Islamisme dengan ajaran Islam. Lalu, saya menjawab singkat: dahulu saya berjuang untuk Islamisme, sekarang saya berjuang untuk Islam. Jadi, yang saya lakukan hanya membuang isme dan beralih pada Islam. Lalu, apa yag dimaksud dengan Islamisme?
Kita semua tidak pernah menjalankan ajaran Islam. Kita tidak pernah menjalankan al-Quran dan al-Hadis, seperti yang sering dibicarakan. Yang dijalankan ialah penafsiran kita terhadap al-Quran dan al-Hadis. Penafsiran terhadap ajaran Islam (al-quran dan al-hadis) itu bisa berbeda-beda. Di sinilah adanya pemikiran Islam, yang merupakan penafsiran kita terhadap ajaran Islam.
Dahulu kita tidak pernah menafsirkan ayat-ayat al-Quran melalui keluarga Nabi Saw. Kita menafsirkan al-Quran melalui siapa? Melalui para ustadz. Sekarang juga melalui para ustadz, yang menafsirkan al-Quran menurut perspektif Ahlulbait (keluarga Nabi saw). Di antara sejumlah penafsiran terhadap ajaran Islam, ada yang menafsirkan ajaran Islam secara politik. Jadi, menafsirkan ajaran Islam secara politik atau kata Bassam Tibi (dalam buku Islam dan Islamisme) harus membedakan Islamismus un Islam. Apa itu Islamismus atau Islamisme? Islamisme, kata Bassam Tibi, adalah politisasi tunggal; politisasi penafsiran ajaran Islam yang tunggal. Jadi, Islamisme adalah politisasi terhadap ajaran Islam.
Maksudnya, penafsiran yang benar itu hanya satu dan yang lain keliru. Itu penafsiran yang bersifat politik. Menafsirkan al-Quran secara politik, menafsirkan al-hadis secara politik, dan penafsirannya hanya satu yang benar. Hanya penafsirannya saja yang benar. Sedangkan penafsiran yang lain adalah keliru. Semua yang tidak sama dengan disebut sesat, kafir, musyrik, dan paling ringan adalah bid’ah. Ujungnya yang tidak sejalan dianggap bukan Islam. Dikarenakan Syiah punya penafsiran yang berbeda dengan mereka, maka Syiah bukan Islam. Dan ini disebarkan pada setiap masjid dan sekarang di Indonesia hampir tidak ada yang lolos dari kelompok Islamis ini.
Islamisme yang lainnya adalah penafsiran yang dipaksakan kepada semua orang melalui hukum negara yang mereka sebut sebagai syariat Islam. Yang saudara sebut hukum Allah sebetulnya bukan hukum Allah, tetapi penafsiran saudara terhadap hukum Allah. Dahulu saya pengikut ini.
Harus saya sebutkan bahwa kelompok Islamisme ini baru muncul pada awal abad ke 20 Masehi. Dahulu kalau Komunisme disebarkan dengan sebuah manifesto namanya: manifesto komunisme sedunia. Ada ucapan yang terkenal kemudian mengikat itu semua orang Komunis: Hai kaum buruh sedunia bersatulah kalian! Kalian tidak akan kehilangan apa-apa kecuali belenggu kalian.
Ada ulama yang berjuang tulus untuk menegakkan ajaran Islam, tetapi secara politik dia yang merumuskan politisasi penafsiran al-Quran dengan tema utamanya bahwa kita harus berjihad menegakan kalimah Allah di bumi dan pada akhirnya kaum muslimin akan memperoleh kemenangan dan mewarisi dunia ini. Dia menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara politik. Orang ini namanya Sayyid Qutub. Saya pernah baca buku-bukunya ketika saya menjadi Islamis. Kaum Islamis memang lebih militant akibat penindasan yang dialaminya.
Islamisme adalah faham yang mempolitikan ajaran Islam secara tunggal dan dipaksakan. Salah satu contoh yang paling jelas adalah surat al-Maidah ayat 51. Dalam ayat itu disebutkan orang-orang yang beriman jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai awliya, yang terjemahan Al-Quran dari Kementrian Agama yang belum direvisi adalah bermakna pemimpin. Sehingga diartikan jangan menjadikan Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin. Dalam revisi terjemahan Al-Quran Kementrian Agama, kata awliya bermakna teman setia.
Tiba-tiba yang dimunculkan bahwa awliya bermakna pemimpin. Kenapa tidak menggunakan makna (yang direvisi) yaitu teman setia? Karena ini punya kaitannya dengan kepentingan politik. Saya pernah lihat presentasi terjemah al-Quran dalam seluruh bahasa tentang kata awliya dan kebanyakan menerjemahkan dengan makna “teman setia”. Malahan dalam terjemahan bahasa Melayu di Malaysia adalah “teman rapat”. Dalam bahasa Malaysia, kata “rapat” artinya dekat. Dalam bahasa Indonesia pun “rapat” artinya dekat. Namun, tetap saja mereka mengambil makna awliya adalah pemimpin. Mengapa? Karena kepentingan politk.
Ketika seseorang menyebut bahwa “kalian dibohongi pakai al-Maidah ayat 51” maka dianggap penistaan pada al-Quran. Apalagi di dalamnya ada kata awliya, yang mereka terjemahkan sebagai pemimpin. Muncul seruan untuk tidak memilih non Muslim sebagai kepala daerah. Ini terjadi politisasi makna lagi. Pemimpin dibatasi bukan pemimpin agama, bukan pemimpin masyarakat, bukan pemimpin organisasi, tetapi yang disebut awliya adalah gubernur. Kemudian disebarkan bahwa orang-orang Islam harus memilih gubernur yang juga beragama Islam. Itulah penafsiran yang berkaitan dengan kepentingan politik, yang oleh Bassam Tibi disebut Islamisme. Orang-orang di luar negeri pun tidak tahu bedanya antara Islamisme dengan Islam sehingga jatuh pada Islamophobia.
Pernah suatu saat Raja Husein dari Jordan berbicara di depan wakil-wakil bangsa di Jenewa. Dia cerita ajaran Islam adalah kasih sayang. Setiap hari, orang Islam kalau memulai pekerjaannya mengucapkan dengan nama Allah yang Maha Kasih dan Maha Sayang. Nabi mengajarkan kasih sayang dan seterusnya sampai Raja Husein itu mendapat tepuk tangan dari anggota-anggota perwakilan bangsa-bangsa.
Pada saat yang sama, sesudah ceramah itu mereka bingung karena diberitakan bahwa kelompok Islam, yaitu ISIS telah membantai perempuan, anak-anak, orang tua, menghancurkan gereja, dan mengebom masjid. Belum pernah masjid dibom di mana pun di dunia ini kecuali sama orang Islam lagi. Bingunglah mereka. Mengapa bisa? Kebingungan itu karena mereka tidak bisa membedakan antara Islamisme dan Islam. Yang disampaikan oleh Raja Husein adalah Islam. Sedangkan yang disampaikan dan dilakukan ISIS adalah Islamisme.
Saya ingin memberikan contoh dalam sejarah. Ketika Muawiyah bin Abu Sufyan berkuasa, dia memerintah dengan kejam dan tidak menegakkan keadilan. Muncul orang-orang yang menentangnya kemudian menjadi (mazhab kalam) qadariyah, yang mengatakan kita bisa mengubah nasib dan mengubah negara sesuai kemauan kita. Semua orang bisa menentukan keinginan: mau kafir atau mau mukmin, itu pilihan. Mau berjihad atau tidak berjihad, itu pilihan. Muawiyah mau dijatuhkan atau dipertahankan, itu juga pilihan. Begitu pemahaman mazhab Qadariyah yang muncul saat Muawiyah berkuasa. Karena ini paham Qadariyah ini dapat mengganggu stabilitas kekuasaan maka muncul orang-orang yang membantah Qadariyah. Orang-orang ini menyatakan bahwa semuanya sudah ditentukan Allah. Segala yang menimpa adalah kehendak Allah. Paham ini disebut Jabariyah. Di antara orang-orang Qadariyah dan Jabariyah terjadi perang ayat. Penguasa mendukung mazhab Jabariyah sehingga dalam rukun iman muncul percaya bahwa takdir baik dan buruk berasal dari Allah. Kesimpulannya bahwa Muawiyah menjadi raja adalah kehendak Allah. Mereka mengatakan bahwa Allah memberikan kekuasan kepada yang dikehendaki dan Allah merendahkan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Paham Jabariyah ini menjadi mazhab resmi Dinasti Umayyah sehingga orang-orang tidak boleh melawan penguasa dan orang yang menentangnya disebut bughat.
Sebagian ulama menganggap yang dilakukan oleh Imam Husein as, yaitu menentang kekuasaan Yazid sebagai bughat karena melakukan perlawanan pada pemerintahan yang sah. Sehingga Imam Husein dan keluarganya beserta pengikutnya dibantai di Karbala, Irak. Imam Husein beda dengan kaum Islamis yang berkeinginan merebut kekuasaan. Imam Husein bergerak untuk memperbaiki agama kakeknya yang sudah disimpangkan. Imam Husein tidak ingin merebut kekuasaan.
Ketika Imam Ali dionggokkan kekuasaan ke dalamnya orang berdatangan kepada Imam Ali memintanya untuk berkuasa, Imam Ali berkata: “Sesungguhnya nilai kekuasaan yang ditawarkan kalian itu buatku tidak lebih dari nilai tali sepatuku. Lebih murah dari tali sepatuku. Aku hanya ingin memimpin kamu berdasarkan pilihan kamu.”
(Naskah ditranskrip oleh Ade Saepulloh dari ceramah Dr.KH. Jalaluddin Rakhmat di Majelis Malam Rebo dan disunting oleh Redaksi Al-Tanwir)