Selain itu, Sayyid Hussein Fadhlullah menambahkan beberapa perubahan-perubahan. Termasuk di antara tafsir-tafsirnya yang mutakhir adalah pembahasan beliau tentang hak-hak perempuan yang sempat membuat kehebohan di antara ulama-ulama di timur tengah. Sampai ada yang menuliskan bahwa Sayyid Hussein Fadhlullah telah mengubah rumah tangga menjadi ring tinju. Karena beliau membolehkan jika perempuan dipukul suaminya ia boleh membalas pukul lagi. Dan beliau tambahkan itu dalam kitab tafsirnya. Beliau memulai tafsirnya dengan pengantar mengenai metode yang beliau gunakan, mempertanggungjawabkan sebagaimana ilmuwan-ilmuwan yang lain yang biasanya dengan mempertanggungjawabkan metodologi yang ia gunakan dalam tafsir.
Saya akan kutipkan dari jilid pertama tafsirnya: “Bagaimana kita dapat memahami Al-Qur’an? Apakah Al-Quran itu kitab yang secara bahasa sudah tertutup sehingga hanya memerlukan orang-orang khusus untuk memahami Al-Quran. Atau apakah Al Quran adalah kitab yang sebetulnya dimaksudkan untuk seluruh umat manusia? Apakah Al Quran itu khusus untuk manusia-manusia tertentu saja yaitu orang-orang yang ahli, atau kitab untuk seluruh umat manusia sehingga setiap orang dimungkinkan untuk mendekati Al Quran sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan kemungkinannya dan sesuai dengan potensi-potensi intelektualnya. Sehingga setiap orang bisa mendekati Al Quran dan mencapai tujuan mereka, dan para ulama juga memperoleh bagian dari tujuan mereka?
Nanti saya akan ceritakan bahwa Sayyid Hussein Fadhlullah mewakili kelompok yang kedua, bahwa Al Quran itu diturunkan untuk seluruh umat manusia. Dan bahwa di dalam Al Quran tidak ada kata-kata yang misterius. Bahwa setiap orang – dengan catatan yang mengerti bahasa Arab – akan mengerti ayat-ayat Al Quran itu tanpa harus menjadi seorang ahli. Jadi, membatasi Al Qur’an hanya khusus untuk para ahli tafsir saja itu menyebabkan Al Quran tertutup bagi seluruh umat manusia. Al Quran itu adalah “...petunjuk bagi umat manusia”. Al-Quran itu bukan untuk satu kelompok orang. Dan tidak dibolehkan untuk kelompok yang lain. Jadi kita semua dapat memperoleh manfaat dengan menafsirkan Al Quran sesuai dengan potensi yang kita miliki.
Ada empat ciri tafsir Sayyid Hussein Fadhlullah. Di tangan saya ada desertasi doktor yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Al-Hussaini tentang metode tafsir sayyid Hussein Fadhlullah, yaitu kuliah kita sekarang ini adalah sebuah desertasi, yang tidak mungkin saya untuk membahasnya karena keterbatasan waktu dan keterbatasan kemampuan saya untuk menjadi “penguji” desertasi ini. Dan memang kita tidak memiliki waktu untuk membahas seluruhnya.
Insya Allah pada pertemuan berikutnya kita akan memulai membahas tafsir surat-surat pendek dalam Al Quran. Menurut sayyid Muhammad Al Hussaini, ada empat ciri utama, karakteristik utama dari metode tafsir Sayyid Hussein Fadhlullah.
Pertama adalah istiqlaliyatul Qur’an. Istiqlal artinya merdeka, bebas, independen. Artinya, Al Quran itu sebenarnya bisa berdiri sendiri, tidak memerlukan bantuan apapun. Pada pokoknya Al Quran itu istiqlal. Ia tidak memerlukan sunah, tidak memerlukan fatwa-fatwa ulama, tidak memerlukan penjelasan-penjelasan terperinci dan ahlinya. Setiap orang – sekali lagi, yang mengerti bahasa Arab – akan dengan mudah memahami Al-Quran itu yang dulu pada waktu Al Quran itu diturunkan, dan belum ada mufassir Al Quran selain Rasulullah saw. Orang-orang arab itu waktu mendengar Al Quran mereka menafsirkannya dengan kemampuan mereka sendiri. Misalnya di antara sahabat nabi saw ada yang sering menghadiri majelis nabi dan lalu tiba-tiba ia menghilang, dan nabi menanyakan ke manakah fulan ibn fulan.
Saudaranya menjelaskan bahwa ia sedang mengunci dirinya di dalam sebuah kamar. Pekerjaannya hanya menangis setiap hari. Kata Rasulullah saw berkata, “panggil dia”. Lalu dihadirkan orang yang dimaksud. Sebetulnya orang ini yang menjadi asbabun nuzul ayat, “jika dikatakan kepada kalian berilah kelapangan kepada majelis itu, maka nanti Allah akan angkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan, beberapa derajat”.
Asal-usulnya ada seorang sahabat yang agak tuli pendengarannya. Sehingga ketika majelis sudah berkumpul para sahabat berdesakan mengelilingi nabi. Dan seorang sahabat itu hadir di majelis beliau. Ia datang terlambat dan merangsek orang, selalu ingin duduk didepan. Dan para sahabat yang lain menghalangi untuk membiarkan dia lewat dan duduk ke depan. Maka turunlah ayat itu. Dan sahabat ini satu hari meninggalkan majelis nabi dan tidak datang kembali. Ia mengunci dirinya di kamar. Dan lalu nabi memanggilnya dan menanyakan mengapa ia mengunci diri. Dan sahabat itu kemudian mengemukakan tafsirnya: saya takut ya Rasulullah karena kalau saya bicara di hadapanmu saya akan bicara dengan suara yang keras (karena ia kurang dapat mendengar)”. Padahal turun ayat Al-Quran: “Janganlah kamu keraskan suara kamu di hadapan Nabi seperti kamu keraskan suara kamu di hadapan sesama kamu. Nanti terhapus amal-amal kamu dan kamu tidak merasakannya.” Nanti hapuslah amal-amal saya ya Rasulullah, karena saya bicara denganmu dengan suara yang keras. Ia menafsirkan ayat itu dimaksudkan untuk dia. Dan Rasulullah tidak langsung menyalahkannya. Tidak, ia memberikan penafsiran Al-Qur’an sesuai pemahamannya. Jadi, yang pertama adalah istiqlaliyatul Qur’an. Maksudnya adalah bahwa Al Quranul Kariim bisa dipahami maksudnya dari lafaz-lafaznya dan bisa ditegaskan maknanya tanpa harus menuju kepada prinsip-prinsip tertentu atau kepada nash yang lain karena Al Quran adalah nash yang berdiri sendiri.
Yang kedua, makna lahiriah Al Quran itu harus dipegang teguh, dan tidak boleh makna ini dialihkan kepada makna yang lain kecuali dengan dalil. Nanti jika waktu masih ada kita akan membicarakan apa alasannya kita mengalihkan makna lahir kepada makna batiniah atau makna metaforis. Jadi, pada pokoknya Al-Quran itu istiqlal, tidak memerlukan nash yang lain, kita semua bias memahaminya sebagaimana dalam Al-Quran: ... inna anzalnahu Qur’anin‚ alal arabiyil mubiin. Al-Quran menggunakan bahasa Arab yang sangat jelas. Jadi menurut beliau, tidak ada misteri. Dan yang kedua bahwa kita berpegang teguh pada makna lahiriah Al-Quran, dan itu akan ditemukan dalam sejarah perkembangannya dalam tafsir Al Quran bahwa orang mulai menafsirkan Al Quran dengan makna-makna yang lebih luas tanpa dalil.
Yang ketiga, kita harus memahami kata-kata dalam Al Quran itu dalam konteks Al Quran, beliau menyebutkan: as-siyaqul Qur’ani, tidak boleh memahami dari teks saja. Sebagai contoh di Indonesia dulu pernah ada satu aliran yang menafsirkan ayat: “.. kamu adalah pakaian bagi perempuan dan perempuan adalah pakaian bagi kamu”. Dan bagi saya itu adalah bukan tafsir Al Quran tapi tafsir dari terjemahan Al Quran. Dan Gerakan yang sedang ramai di kampus-kampus sekarang merupakan gerakan yang mencoba menafsirkan Al Quran bukan dari Al Quran tetapi dari terjemahan Al Quran. Harus kita bedakan menafsirkan Al Quran itu menafsirkan kata-kata dalam bahasa Arab di dalam Al Quran. Bukan menafsirkan terjemahan Al Quran dalam kata-kata bahasa Indonesia. Karena kata-kata bahasa arab itu rangkaian maknanya bisa berbeda dengan rangkaian kata-kata dalam bahasa Indonesia. Misalnya dulu di jaman orde baru, menafsirkan ayat Al Quran “..hai orang yang berselimut, bangunlah dan beri peringatan” dulu dipakai oleh para ustad di Istana agar kita sama-sama membangun negeri ini. Jadi kata bangun dalam bahasa Indonesia selain bangkit dari tidur juga berarti membuat rumah. Atau membangun infrastruktur. Sedangkan dalam bahasa arab kata “bangun” tidak dalam pengertian itu. Kesalahannya adalah karena dia menafsirkan bukan dari kata-kata Al Quran tetapi terjemahan Al Quran.
Saya harus memuji seorang penulis Jepang, yang dari dia saya belajar bahwa kita harus memahami kata-kata dalam Al Quran dari konteks ayat-ayat itu di dalam Al Quran. Misalnya kemudian saya menemukan penggunaan kata basyar, insaan dan naas. Kita harus memahami maknanya dari konteks ayatnya, atau siyaqul Qur’ansupaya kita tidak keliru memahami maknanya. Misalnya saya temukan bahwa kata basyar di dalam Al Quran digunakan untuk menyifatkan manusia secara badaniah, jasmaniah. Misalnya ayat: "in huwa illa basyarun“. Atau “kul innama ana basyarun mitslukum” (katakanlah aku ini manusia seperti kamu).
Ada orang yang menafsirkan secara keliru, bahwa Rasulullah saw itu sama dengan kita. Kalau kita sering berbuat salah maka Rasulullah saw pun sering berbuat salah juga, dengan mendasarkan pada kata basyar yang salah. Padahal itu dimaksudkan pada aspek fisik kita dengan rasulullah. Beliau bukan superman, sehingga ketika dalam perang Uhud beliau pun juga terluka karena panah. Yang membedakannya adalah beliau mendapat wahyu. Sedangkan kata “insaan” dalam Al Quran itu untuk akhlak, untuk perilaku. Dan sebagian orang misalnya menafsirkan makna "insaan“ adalah wujud jasmaniah, misalnya dalam surah at-tiin, "wa khalaqnal insaana fi ahsani taqwiim”, telah kami ciptakan manusia itu dalam bentuk jasmaniah yang sempurna. Dan sebagian ulama menafsirkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Padahal secara evolusi kita mahluk yang paling lemah. Gigi kita lebih tumpul dari gigi kucing, dalam hal berlari kita kalah dengan kuda, dalam hal bulu kita kalah dengan burung merak. Secara jasmaniah kita lemah. Jadi seharusnya dibaca bahwa Tuhan menciptakan manusia dari segi intelektualitasnya, dari segi akhlaknya adalah lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. Sedangkan kata “an-naas” adalah manusia dalam kehidupan sosial. Jadi ketika Al Quran menggunakan kata An-Naas artinya sedang berbicara tentang manusia dalam kehidupan sosial.
Yang keempat, menurut sayyid Hussein Fadhlullah, ketika kita membaca Al-Quran kita harus merasakannya, mengambil inspirasi dari Al Quran untuk pedoman hidup kita sehari-hari, menjadikan Al Quran itu sebagai pedoman. ***
Ditranskrip oleh M. Baagil dari kajian bulanan majelis taklim Al Wahda, Jakarta bekerja sama dengan Lembaga Pembinaan Ilmu-Ilmu Islam (LPII), 6 Agustus 2019.
SUMBER: https://embaagil.wordpress.com/2019/08/19/kajian-01-kitab-tafsir-min-wahyil-quran/