Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Menangislah jiwa, telah tiba saat berduka
Gelegak airmata, bersiap berarak menanti tumpah di sebaik saat.
Telah kupupuk ia sejak sinarnya merobekkan relung dada
menyimpan luka
untuk selamanya.
Bagaimana mungkin rindu bersangatan lahir dari derita?
Ah, bagai cahaya ia masuk menembus sukma
Bersemayam menjelma citra
Saujana yang sempurna
Wajah kasih kirana
Keindahan hilang kata
Luruh dalam persona
Tak ada lagi aku
Tak ada lagi kita
Sebuah kepasrahan mengemuka
Menjemput kehendak Dia
Sebaik-baik Mawla
Bukankah demikian, para teladan mengajarkan
Ismail sang nabi pasrah di ujung belati
Ia tahu tak boleh ada kata tidak
Di hadapan perintah membaring raga
Bukan hanya karena ia ayahanda
Melainkan khalifah dan imam zamannya.
Seperti Muslim putra Aqil
Sang pendekar Bani Hasyim
Ia ditangkap di rumah sahabatnya.
Meski ia dapat menaklukkan musuhnya
Tapi perintah Mawla membuatnya menunda
Untuk apa keakuan, bila memperturutkan kehendak setan
Sesungguhnya keakuan
Hanya hancur dengan ketaatan
Maka kepada siapa lagi kepatuhan diberikan
Kecuali pada sebaik-baiknya insan.
Menangislah jiwa
Telah tiba saat berduka
Padang yang memerah mengalirkan darah
Melintasi masa
Memercik muka
Ia hadir di setiap teriak nestapa
Di setiap yang hilang asa tanpa pembela
Sejak Palestina hingga Rohingya
Ia hadir di Yaman, Bahrain, Kashmir, Darfur, Syria, Damam dan Ahsa.
Menangislah jiwa. Menangislah.
Untuk sebuah kesempatan yang tak kunjung datang.
Untuk sebuah kepasrahan menjalankan pinta sang teladan.
Sedang hari menggerogot habis usia.
Dan kepatuhan tak juga menyempurna. Keakuan tumbuh menggurita.
Bagaimana mungkin merindu dia
Tanpa pengorbanan di puncak cinta.
Dalam ibadahku masih ada aku.
Dalam rinduku masih ada aku.
Dalam cintaku masih ada aku. Dalam tangisku
Masih ada aku
Menangislah jiwa. Kini saatnya berduka. Gelegak airmata yang telah menggunung lama. Tetap tahan ia, hingga nanti saat berjumpa.
Semoga saja nanti. Tiada lagi aku, tiada lagi kita.
Yang ada hanya cinta...
@miftahrakhmat