Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Sufyan al-Tsauri, ulama besar abad kedua hijriah yang dikenal sebagai sufi, ahli hadis, ahli fikih dan disetarakan dengan para imam besar mazhab suatu saat berkisah tentang perjalanannya berhaji.
Usai ibadah, Sufyan mendekatinya. “Aku perhatikan wirid thawafmu hanya shalawat pada Sang Nabi. Bolehkah aku tahu mengapa?” Dan berceritalah pembaca shalawat itu.
“Aku berangkat haji bersama ayahku. Kami datang dari tempat yang jauh. Di perjalanan, ayahku jatuh sakit. Ia dirawat di perkampungan terdekat. Ia tak tertolong. Ia meninggal dunia. Tiba-tiba, aku melihat wajahnya berubah menghitam dan perutnya membesar. Aku sangat bersedih. Aku menangis di atas jasad ayahku, dan tanpa terasa aku tak sadarkan diri.
Mungkin aku tertidur, mungkin aku jatuh pingsan. Tetapi, aku merasa berada di alam yang lain. Aku melihat jasad ayahku terbujur kaku. Wajah menghitam dan perut membesar. Lalu aku lihat seorang sosok bercahaya, indah luar biasa. Ia datang menghampiri ayahku. Ketenangan terpancar dari ronanya. Tangannya terulur, mengusap wajah ayahku. Seketika ia memutih. Jauh lebih putih dari salju. Lalu menyentuh perutnya, yang kembali seperti sediakala.
Aku berkata, ‘Tuan, izinkan aku bertanya: siapa gerangan Tuan? Dan apa yang sudah kaulakukan pada ayahku?” Ia menjawab: “Ayahmu ini banyak dosa. Wajahnya menghitam karena itu. perutnya membesar karena yang sama. Tetapi, ia sering menggumamkan shalawat untukku. Akulah Muhammad Rasulullah.”
Aku terbangun. Aku terkejut. Baginda Nabi Saw datang dalam ketidaksadaranku. Aku masih duduk di atas jasad ayahku. Dan perutnya tak lagi membesar. Wajahnya bercahaya.
Kami kuburkan ia di kampung itu. Sejak itu aku berusaha untuk tidak pernah berhenti bershalawat pada Rasulullah Saw.”
…
Beberapa waktu yang lalu, bersama sebagian kawan kami berziarah ke Irak. Sebuah prosesi berjalan kaki dari Najaf menuju Karbala. Upaya menapaktilasi Kafilah Keluarga Rasulullah Saw yang berjalan kaki lebih jauh lagi dari itu. Apalah arti kami yang hanya menempuh nol koma nol nol yang tak terhingga. Dan saya bayangkan, seperti kisah Sufyan al-Tsauri, mereka menempuhnya dengan bershalawat pada Baginda Nabi Saw. Saya, agak sedikit berbeda. Tubuh ringkih ini mudah lelah. Jarak 50 meter antar tiang seperti jauh satu sama lain. Saya belum mampu untuk menjalaninya dalam wirid dan doa. Saya iri pada mereka.
Bagaimana ‘menyiasati’ perjalanan panjang itu? Satu di antaranya, dengan berbincang. Ngobrol. Ternyata, ngobrol ‘memperpendek’ perjalanan. Tanpa terasa, sudah sekian kilometer ditempuh berjalan kaki. Nah, saya ingin kisahkan sebagian dari obrolan kami.
Seorang sahabat bertanya tentang makna surga. Saya menjawabnya ke sana kemari. Maklum, untuk meringankan perjalanan tadi. Maka saya mulai dengan makna kata surga. _Jannah_ dalam Bahasa Arab. Kebetulan, setahun terakhir saya tertarik dengan _‘daqaiq al-Qur’an’_, presisi Al-Qur’an. Pemilihan kata yang super tepat dalam Al-Qur’an. Bisa jadi ada kata lain yang mewakili, tetapi pilihan Al-Qur’an selalu membukakan mata akan keindahan mukjizat Ilahiah ini. Ambil Jannah, surga sebagai contohnya.
Jannah berasal dari kata ‘janna, junuun’ yang artinya tertutupi, terselimuti. Dari akar kata itu kita mengenal ‘jin’, makhluk yang tak terlihat. Idza jannal lailu, kalau malam datang menyelimuti. Junnah, dari akar kata yang sama, artinya perisai, sesuatu yang melindungi. Dan orang gila disebut ’majnun’ masih dari akar kata yang sama. Barangkali, ia disebut gila karena akal (sehat)nya tertutupi. Maka, saya sampaikan pada kawan itu, bagaimana mungkin saya mengisahkan surga. Sedang akar katanya berarti sesuatu yang tak terlihat, tertutupi, terselimuti, terlindungi. Singkat kata: surga tak dapat dideskripsikan.
Lalu, bagaimana dengan taman yang di bawahnya mengalir sungai-sungai? Pohon yang buahnya merendah dan tak pernah habis? Al-Qur’an mengisahkan itu sebagai sebuah ‘perumpamaan’. “…perumpamaan _jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya…” (QS. Muhammad [47]:15). Ayat suci itu diawali dengan kata ‘perumpamaan’. Semua kenikmatan itu adalah perumpamaan, sebagai contoh dan permisalan. Jannah sendiri, surga itu sendiri…jauh dari apa yang dapat kita sifatkan.
Kemudian, seorang kawan mengingatkan apa yang ia peroleh dari gurunya. Katanya, bukankah selain Allah Swt semuanya adalah ciptaan? Meskipun kalimat itu tidak sepenuhnya tepat dalam keesaan Allah Swt, tetapi sungguh selain al-Khaliq semuanya adalah makhluk. Selain Sang Pencipta, semuanya adalah ciptaan. Jadi, kata dia, surga juga adalah makhluk, adalah ciptaan Allah Swt.
Karenanya, barangsiapa beribadah masih mengharapkan surga, maka sesungguhnya ia beribadah masih (untuk) mengharapkan makhluk.
Lalu, apa hubungannya dengan Baginda Nabi Saw? Segalanya. Sungguh, ke arah manakah ingin kita manfaatkan (sisa) hidup kita? Bila ditanya prioritas, hal apa yang paling utama?
Belakangan, di majelis-majelis pengajian saya tanyakan itu pada kawan-kawan. Bekal terbaik apa yang akan kita bawa pulang? Amalan untuk menemani perjalanan panjang di alam keabadian. Jawaban terdengar beragam: iman, shalat, puasa, amal saleh, haji…dan seluruh kebaikan. Saya katakan: benar, semua jawaban itu benar. Tetapi, izinkan saya bertanya: bukankah seluruh amalan itu ada batasnya. Shalat terhenti begitu kita menutup mata. Puasa, zakat dan haji hanya bisa kita lakukan di dunia ini. Ibadah kita berakhir, bersama hembus nafas terakhir. Apa yang kita harapkan di alam keabadian itu?
Saya akan berharap dan bergantung pada rahmat Allah Ta’ala yang tidak pernah terputus, yang tidak pernah habis, yang luasnya melebihi segala sesuatu. Saya akan berharap pada kasihNya untuk semesta alam: Baginda Nabi Saw.
Bukankah Baginda digelari _‘rahmatan lil ‘aalamin’_. Rahmat untuk seluruh alam. Bukan hanya alam dunia ini. Sebagaimana juga Allah Ta’ala adalah _Rabbul ‘aalamin_. Tuhan seluruh alam. Dalam Bahasa Arab, untuk kata jamak yang menjadi obyek, satu bentuk di antaranya adalah dengan menambahkan ‘in’ di belakang. Muslim kalau satu. Muslimin kalau banyak. Mukmin kalau satu. Mukminin kalau banyak. Alam kalau satu. Alamin kalau banyak.
Maka Baginda Nabi Saw adalah rahmat Allah Ta’ala yang tak terputus itu. Kasih Tuhan yang meliputi seluruh alam. Baik di dunia, di alam kubur, di alam barzakh, di alam akhirat…di seluruh alam yang akan dan mungkin pernah ada. Alamin…segenap alam raya!
MawlidurRasul 1438 H
@miftahrakhmat