Selama ini yang kita pahami, satu ekor kambing hanya boleh diniatkan untuk menjadi kurban satu orang saja. Sementara satu ekor sapi bisa dikeroyok oleh tujuh orang. Apakah memang demikian? Sebagian sahabat menyampaikan kepada saya bahwa keharusan satu ekor kambing untuk satu orang kadang-kadang membuat kurban hanya dibatasi kepada yang mampu saja. Apakah seekor kambing, seperti halnya sapi, tidak bisa juga dikeroyok untuk dikurbankan sama-sama? Sekiranya kita hanya mampu menyumbang Rp.50.000,- tidak bisakah uang itu kita gunakan untuk berkurban?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin mengutip hadis yang diriwayatkan dalam Nayl al-Awthar, kitab yang sering menjadi rujukan saudara-saudara kita di Persatuan Islam dan Muhammadiyyah. Dalam kitab itu, pada juz ke 6 halaman 122, Bab Nabi Berkurban untuk Umatnya, terdapat hadis nomor 2098 dan 2099 dengan bunyi sebagai berikut:
(2098) Dari Jabir, berkata: Aku salat bersama Rasulullah Saw pada hari Idul Adha. Usai salat, Nabi datang dengan membawa seekor kambing dan menyembelihnya seraya berkata: Bismillahi Wallahu Akbar. Allahumma hadza ‘anni wa ‘an man lam yudhahhi min ummati. Dengan nama Allah, dan Allah Mahabesar. Ya Allah, (kurban) ini dariku dan dari siapa pun yang tidak (mampu) berkurban di antara ummatku. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, Sunan Abu Dawud, dan Turmudzi.
(2099) Dan dari Ali bin Husain dari Abi Rafi’ dari Rasulullah Saw bahwa Nabi ketika berkurban membeli dua ekor kambing yang gemuk, sehat dan putih bersih. Setelah salat dan berkhutbah, seekor kambing itu didatangkan kepada Nabi dan Nabi berdiri di Mushallanya kemudian menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri. Kemudian berkata: Allahumma hadza ‘an ummatî jami’an man syahida laka bil tauhîd wa syahida lî bil balâgh. Ya Allah, (kurban) ini dari semua umatku yang bersaksi kepadaMu dengan keesaan dan yang bersaksi kepadaku terhadap apa yang aku sampaikan.
Kemudian didatangkan kambing yang kedua, lalu Nabi menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri dan berkata: Hadza ‘an Muhammad wa Ali Muhammad, (kurban) ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad. Dengan kedua kurban itu dikenyangkanlah seluruh yang miskin dan Nabi memakannya bersama keluarganya sebagian dari daging kurbannya… Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Menarik untuk mencermati kedua hadis di atas, bahwa sebetulnya kurban kolektif bukan saja dibolehkan, tetapi pernah dicontohkan Nabi Saw. Meski dalam keterangan akan hadis yang pertama Imam Ahmad mengatakannya sebagai hadis dha’if, tetapi hadis yang kedua diriwayatkan beliau sebagai hadis yang sampai pada derajat hasan. Imam Ahmad meriwayatkan kedua hadis ini dalam Musnadnya 8:3. Sunan Abu Dawud memuatnya pada Kitab Al-Adhahi, bab “Yang dikurbankan atas nama jama’ah” sedangkan Imam Turmudzi dalam Sunan-nya bagian Al-Adhahi, bab 22 hadis nomor 1521.
Dalam lanjutan keterangan yang tercantum pada kitab Nayl al-Awthar, disebutkan bahwa dua hadis ini menunjukkan dalil dibolehkannya seseorang untuk berkurban atas dirinya dan atas keluarganya, kerabatnya, dan menyerikatkan mereka dalam pahalanya. Demikian dikatakan jumhur para ulama. (Nayl al-Awthar, juz 6 halaman 123) Nayl al-Awthar juga memuat hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya pada Al-Adhahi:19 dari Anas bahwa Rasulullah Saw diriwayatkan berkata: Allahumma taqabbal min Muhammad wa Ali Muhammad wa ‘an ummati Muhammad, Ya Allah, terimalah dari Muhammad, dan keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad.
Masih dalam Nayl al-Awthar juga disebutkan bahwa Ibnu Majah dan Turmudzi meriwayatkan hadis dari Abu Ayub tentang seseorang yang menyembelih kambingnya pada masa Nabi Saw atas nama dirinya dan keluarganya. Abu Hurairah juga diriwayatkan menyampaikan hadis ini dalam keterangan yang disampaikan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan Al-Hakim.
Meskipun setelah memuat hadis-hadis di atas Nayl al-Awthar masuk pada pembahasan apakah berkurban itu wajib atau sunnah, cukup bagi kita untuk mengambil kesimpulan bahwa hadis tentang kebolehan menyembelih seekor kambing dengan niat lebih dari satu orang diriwayatkan oleh hampir semua ahli hadis. Muslim, Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan Imam Ahmad meriwayatkan tentang ini dalam berbagai redaksinya.
Hanya Imam Ahmad yang memberi keterangan dha’if, itu pun pada hadis yang pertama. Sedangkan para ulama pengumpul hadis yang lainnya tidak memberikan keterangan tentang kedha’ifannya. Bahkan, Imam Ahmad pun menilai hadis yang kedua—dengan konteks redaksional yang sama—sebagai hadis hasan. Kemungkinan hadis yang pertama masuk dalam kategori dha’if oleh Imam Ahmad ditinjau dari sisi sanad. Wallahu a’lam.
Bila enam ahli hadis dan satu Imam Ahmad meriwayatkan hadis tentang menyembelih kolektif dengan keterangan hadis hasan, maka tidak ada lagi kekhawatiran bagi kita untuk mulai membiasakan diri berpartisipasi dalam berkurban sejauh kemampuan yang kita miliki. Tentu bila kita mampu untuk berkurban seekor kambing, maka itu baik untuk kita lakukan. Sama baiknya bila kita baru bisa menyumbang sebagian dari harga seekor kambing itu.
Sebaliknya, kurban kolektif bisa jadi buruk bila dilakukan oleh orang yang bisa berkurban seekor penuh. Dengan dalil-dalil di atas kita ingin bersama-sama mengajak masyarakat untuk melakukan kurban sebatas kemampuan yang kita miliki. Saya kira Tuhan tidak pernah akan kebingungan untuk “membagi” pahala kurban itu di antara kita.
Lalu bagaimana dengan distribusi daging kurbannya? Sesuai hadis Nabi di atas, daging kurban itu kemudian diberikan sebagai makanan bagi fakir miskin, dan Nabi beserta keluarganya, juga memakan sebagian dari kambing itu. Saya kira, kita cukup dewasa untuk bisa membagi distribusi kurban kolektif itu, atau—lebih baik lagi—kita relakan semua untuk mengenyangkan mereka yang kelaparan di sekitar kita. Selamat menyambut Idul Adha dengan kurban kolektif![]
Miftah F. Rakhmat adalah Anggota Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)
catatan: artikel Kurban Kolektif ini terbit kali pertama sekira tahun 2017