Tapi sejatinya kita hanya perlu fokus pada 3 huruf ini: ع – ر- ب. Tiga huruf ini akan mengantar kita pada sebuah makna esensial, asal-usul dan arti awal Arab, betapapun telah terjadi perubahan bentuk kata. Dan semuanya akan merujuk pada esensi Arab sebagai bahasa.
‘Arab/العرب adalah orang-orang Arab. Mereka terdiri dari banyak suku dan berasal dari bermacam-macam wilayah geografis. Mereka disebut dalam satu kata ini karena kesamaan unsur bahasanya, bukan lain-lainnya. Tapi berbeda dengan kata kunci kedua di bawah, kumpulan manusia penutur bahasa induk yang sama ini umumnya tinggal dan menetap di desa-desa atau perkotaan.
A’rab/الأعراب adalah orang-orang Arab yang tidak menetap di desa-desa atau perkotaan. Mereka mengembara di gurun-gurun pasir, meski terkadang menetap sementara di salah satu titik di bentangan wilayah geografis yang sangat luas tersebut. Pengembaraan mereka dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi, sosial, politik dan juga digerakkan oleh faktor-faktor ekologis. Dua kata ini tidak memiliki bentuk kata tunggal. Untuk merujuk pada arti tunggal, maka harus ditambahkan huruf ya’ di belakang kedua kata kunci di atas. Maka jadi lah العربي/’Arabi bermakna satu orang Arab dan الأعرابي/A’rabi satu orang A’rab.
‘Arabi/عربي adalah satu orang Arab yang berbahasa dengan fashih/lugas. Tambahan huruf ya’ nisbah ini bukan saja untuk merujuk pada kumpulan Arab (العرب) pada umumnya tapi lebih khusus dan spesifik menyifati cara berbahasanya yang fashih, lugas, terang benderang. Maka tambahan huruf ya’ nisbah di sini untuk memperkuat kata sifat Arabnya. Tafsir soal ya’ nisbah seperti ini mendukung bahwa bahasa adalah esensi etimologis dan asal usul munculnya kata ع- ر- ب. Penggunaan ya’ nisbah demi menguatkan kata sifat diakui oleh Al-Zamakhsyari saat menafsirkan kata سِخريّاً dalam Surah Al-Mukminin ayat 110. Maka siapa saja, dari suku bangsa mana saja, dan tinggal di mana saja yang mampu berbahasa Arab dengan baik, benar, lugas dan fasih dapat menyandang gelar dan identitas sebagai Arabi. Contohnya adalah Ibnu Arabi yang lahir di Andalusia.
‘A’jam/العجم adalah orang-orang non Arab (kumpulan orang yang tidak bertutur bahasa Arab). Untuk menunjukkan arti tunggal juga ditambahkan huruf ya’ pada akhir kata itu sehingga menjadi العجمي. Lantas mengapa mereka disebut sebagai Ajam? Jawabnya karena di mata orang Arab, tutur bahasa mereka itu tidak jelas, sehingga kata ع – ج – م dalam penggunaan bahasa Arab pasti selalu merujuk pada ketidakjelasan, ketaksaan, ketidaklugasan dalam berbahasa atau bahkan dimaksudkan untuk makna benda mati. Uniknya bahasa Arab, dengan ditambah همزة الازالة yang berbentuk satu huruf alif, maka 3 huruf itu justru jadi berbalik makna: menjelaskan dan menerangkan sesuatu yang tidak jelas. Maka itu, أعجم bermakna memperjelas dan معجم (mukjam) bermakna kamus.
A’jami/الأعجمي adalah orang yang dalam berbahasanya tidak jelas, kurang lugas dan tidak fashih, baik ia orang Arab maupun non Arab. Dan ini konsisten dengan makna asal huruf ع-ج-م. Upaya-upaya mencampur-aduk kalimat-kalimat di atas dengan urusan ras, suku dan kebangsaan tentu bukan narasi baru. Sejak Rasulullah membawa ajaran tauhid yang menolak segala bentuk diskriminasi dan pembedaan golongan, sungguh telah terjadi revolusi kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia, khususnya di wilayah orang-orang penutur bahasa Arab. Dan sejak Rasulullah wafat, upaya-upaya kontra revolusi terus dilakukan dan akhirnya terkonsolidasi di Era Bani Umayyah.
Dimulai dari Era Bani Umayyah inilah kata Arab dikukuhkan menjadi identitas nasional Dinasti Umayyah, sehingga dinasti ini terus-menerus melakukan diskriminasi tanpa ampun pada mereka yang dianggap Ajam. Bahkan identifikasi siapa Arab dengan segala hak istimewanya dan siapa Ajam dengan segala konsekuensinya sebagai warga kelas dua dikukuhkan.
Sekarang pilihannya pada pembaca. Mau ikut rombongan Bani Umayyah, atau rombongan yang membebaskan identitas Bahasa Arab yang melekat pada wahyu Al-Qur’an dari jeratan permainan kekuasaan.
Jangan kaget jika kelak anda membaca tulisan bantahan atas asumsi dasar di atas dengan berbagai rujukan. Karena Dinasti Umayyah memang di zamannya mampu membiayai banyak proyek pembentukan pengetahuan yang baru, asalkan melayani kepentingan kekuasaannya. ***
Artikel dari kajian kupas