Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Entah untuk ke sekian kalinya, kau dengar permohonan maaf ini. Entah untuk kali keberapa, sesal itu menghunjam bertubi.
Palestina, bukan sekadar sebuah kata dalam kamus Kaum Muslimin. Palestina adalah jati diri. Adalah sejarah. Adalah pembeda antara yang semu dan hakiki. Palestina adalah wajah yang tak berubah, dari berbagai topeng kepalsuan dalam sejarah. Palestina adalah titik penentu itu: adakah gerak laju atau terjerumus dalam melangkah.
Maka maafkan kami, wahai Palestina. Tak berduka dengan deritamu. Tak menjerit dengan jeritanmu. Tak menangis bersama aliran darahmu. Bila sekali teriak “Ya Muslim” dan tidak terjawab maka hilanglah keberagamaan, apa jadinya kami ini… Berpuluh tahun kau berteriak, berpuluh kali juga telinga kami beku membatu. Ah, tanpa maafmu Palestina, takkan sanggup kaki melangkah di hari pertanggungjawaban nanti.
Betapa tidak. Kau punya hak terlalu besar atas kami. Padamu ada kiblat pertama. Padamu ada janji yang terjaga.
Ini bulan suci. Kau tahu jutaan kaum Muslimin seluruh dunia mengisinya dalam ibadah. Berpuasa di siang hari, beribadah di malam hari. Menyemarakkan perkhidmatan pada orang kecil. Menggemarkan berbagi dengan sesama. Tapi, sayang sekali. Tak ada yang membelamu. Tak ada yang berdiri di sisimu. Tak ada yang mengantarkan makanan bagi anak-anak yatimmu. Tak ada yang menghibur keluarga yang ditinggalkan para syahid itu.
Berulang kali di masjid kami dengar di bulan ini, “Seluruh amalan anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Sungguh puasa itu untukKu dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Demikian hadis qudsi Allah Sang Mahasuci menggaung di relung kalbu kami.
Berulang kali juga aku bertanya, apakah maknanya? Seorang menjelaskan, karena puasa adalah amal yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Apa maknanya? Karena seseorang bisa membatalkan puasanya di kesendirian, tapi tidak ia lakukan. Itulah maknanya amal itu untuk Tuhan.
Perkenankan aku berbeda dengannya. Menurut guruku, agama (din) adalah sebuah utang (dain). Kewajiban membayar kembali apa yang sudah dimiliki. Apa itu? Nikmat keberadaan, karunia kehadiran. Filsuf menyebutnya utang eksistensial. Maka sudut pandang ini mengajarkan pada kita bahwa amalan bukan tabungan. Amalan bukan simpanan untuk kita tuntut di hari kemudian. Amalan dan agama adalah cara kita menyelesaikan utang. Tuhan memilih kita jadi manusia. Tuhan anugerahkan kita derajat makhluk termulia. Semua itu bukan cuma-cuma. Kita membayarnya dengan seluruh ibadah kita.
Sudut pandang ini mengajarkan kita menjalani kehidupan keberagamaan dengan kerendahhatian. Bagimu utangmu dan bagiku utangku. Bagimu cara membayar nikmatmu, dan bagiku cara bersyukur atas karunia keberadaanku. Kita takkan terusik bila orang lain berbeda dalam pengamalan, karena ia bukan tabungan untuk kita ambil kemudian.
Bila kita tidak menyelesaikan utang kita di dunia, dan sungguh kita takkan mampu menyelesaikannya, maka utang kita itu dicicil di alam barzakh, di alam kemudian. Para malaikat menjadi ‘debt collectors’. Tolong, jangan disalahpahami. Jangan diartikan pelecehan untuk para malaikat suci. Melainkan sebuah kata untuk melecut dan mencambuk kita, betapa banyak beban yang kita pikul di alam sana. Dan sungguh, bila masih belum terselesaikan pula di alam itu, maka Sang Raja segala Raja yang akan menuntaskannya, pada sebuah hari yang kita kenal dengan yawmuddin. Dialah Maliki Yawmid Din. Raja hari pembalasan.
Lalu di mana datangnya Palestina? Ia ada di mana-mana. Tanpa kita sadari, ialah justru penentu keselamatan kita.
Saudara, seluruh amalan untuk kita. Untuk apa? Untuk digunakan membayar utang keberadaan itu. Maka puasalah sesungguhnya bekal kita. Itu yang untuk Tuhan, itu yang akan diganjar pahalanya. Bagaimana bisa? Mari teladani Sang Baginda Saw, kekasih hati sebaik-baiknya suri teladan tercinta.
Benar sering dikisahkan empat sifat utama Baginda Saw: fathonah, shiddiq, tabligh dan amanah. Benar Baginda Nabi Saw adalah perwujudan kesempurnaan seluruh sifat itu, tapi mari kita simak bagaimana Al-Quran sendiri mengisahkan Baginda. Bagaimana Al-Qur’an sendiri mensifatkan Yang Mulia. Ajaib, bahwa sifat ini tak jadi teladan kita. Ajaib bahwa ia tak diajarkan di sekolah-sekolah anak-anak kita.
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu; sangat menginginkan (keselamatan dan kebahagiaan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang beriman.” (QS. Al-Tawbah [9]:128)
Lihat, simak, catat! Betapa sifat agung itu luput dari perhatian. Betapa ia tidak didengungkan di mimbar-mimbar kajian. Berat terasa olehnya penderitaan, sangat menginginkan kebahagiaan, sungguh teramat belas kasih lagi penyayang. Ya Allah, betapa luhurnya Nabi sang pencurah kasih sayang. Dan di mana kami, sedang hati tak tergerak oleh penderitaan.
Itulah yang diajarkan oleh puasa. Puasa mengajarkan empati, solidaritas pada sesama yang menderita. Puasa mengingatkan lapar orang-orang yang tak punya. Puasa mengingatkan haus mereka yang tercekik dahaga. Ibadah yang lain, boleh jadi, kita amalkan tanpa kepekaan terhadap sesama. Bila kita shalat dan tak ingat ada yang uzur usianya, lalu panjang membaca surat hingga tamat satu juz panjangnya…adakah shalat kita untuk Tuhan atau untuk kita? Amalan untuk Tuhan yang diwakili oleh puasa, justru adalah amalan yang membantu sesama makhlukNya. Itulah amalan yang akan beroleh karuniaNya.
Maka ada shalat orang yang merugi. Ada haji yang tak lebih dari bertepuk tangan dan bersiul. Ada zakat dan sedekah yang batal karena kecaman dan gerutuan. Tapi tidak untuk puasa. Ketika lapar dan mengenang yang menderita, di situ ada (karunia) Tuhan. Di situ ada janji keselamatan.
Dan puasalah kita, tigapuluh hari lamanya. Lapar di siang hari, terjaga di malam hari. Semua ibadah, semua bacaan, semua wirid dan amalan…lalu ternyata, semuanya masih tertahan. Apa yang menahan semua amalan itu? Ketiadaan kepedulian. Amalmu untuk dirimu. Amalmu memupuk keakuan.
Maka lihatlah Palestina. Seluruh amalan dan tak satupun teriak lantang terhadap penindasan? Seluruh ibadah dan tak menyertakan mereka dalam doa yang dipanjatkan? Seluruh pengabdian dan tak muncul berat hati melihat penderitaan. Jauh dan jauhlah kita dari kebersamaan bersama Rasulullah Saw. Sifat itu adalah sifat pertama Baginda: berat hati melihat yang lain menderita.
Maafkan kami Palestina. Tak mendengar teriakanmu. Tak teriris oleh jeritanmu. Seluruh amal kami sia-sia, tanpa pembelaan terhadap deritamu. Betapa selama ini kau dilupakan. Betapa negeri-negeri kaya minyak di sekitarmu telah kebal terhadap suara tangisan. Tak kami temukan di negeri-negeri itu tempat pengungsian. Suriah, penampung terbesar pengungsi Palestina di seluruh dunia justru dihancurleburkan.
Dan bersama Palestina, ada Yaman, ada Bahrain, ada Kashmir, ada Nigeria, ada Afghanistan, ada Irak, ada Lebanon, ada pengungsi-pengungsi di daratan Eropa. Ada saudara-saudara sebangsa dan senegara. Ke mana selama ini suara kami? Ke mana selama ini pembelaan kami?
Adalah Imam Khumaini, pemimpin dan pendiri Republik Islam Iran. Ia tak pernah lepas mengingat Palestina. Ia yang berkata, “Semua umat harus bersatu dalam satu kata akan Palesina…Al-Quds bukan perkara pribadi, atau tentang satu negeri, atau tentang umat Islami. Al-Quds adalah pertanggungjawaban setiap yang mengesakan Tuhan. Dari umat terdahulu dan kemudian. Sejak ia didirikan, hingga diperkenankan hadir di alam keberadaan…” Al-Quds adalah sebutan Imam Khumaini untuk Masjidil Aqsha, untuk Palestina. Artinya, yang disucikan.
Terlalu banyak pesan dan kalimat Imam Khumaini tentang Palestina. Mungkin, yang terbanyak yang diserukan dan dituliskan oleh seorang tokoh Islam. Tapi kecintaannya pada Palestina, kasih sayangnya untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari amalan yang tak sampai pada pengharapan, adalah ketika Imam Khumaini menyerukan sebuah gerakan persaudaraan umat Islam sedunia. Ia jadikan Jumat terakhir di bulan suci, sebagai hari mengingat derita sesama. Palestina adalah mercu suarnya. Maka Jumat terakhir di bulan suci adalah Hari Palestina sedunia.
Indonesia sejak awal membela Palestina. Indonesia sejak awal bersama Palestina. Adalah Palestina juga, di antara negara yang pertama mengakui kemerdekaan negeri kita. Dan sejak Konferensi Asia Afrika, puluhan negara telah merdeka…kecuali Palestina.
Maka Palestina adalah garis demarkasi itu. Amalan kita tidak diterima, tanpa pembelaan atas derita sesama. Tapi mengapa Jumat terakhir di bulan suci? Orang hanya bisa mengira-ngira. Karena waktu terbaik dalam satu tahun adalah bulan suci. Karena waktu terbaik di bulan suci adalah sepuluh terakhir. Karena waktu terbaik di setiap minggunya adalah hari Jumat. Maka dipilihlah hari Jumat, karena terlalu banyaknya kelalaian kita selama ini. Berhadap sedikit banyak jadi kifarat.
Maafkan kami Palestina. Ampuni Ya Allah, kerasnya hati ini. Tak lagi terbetik air mata keharuan. Sungguh, kami menangis akan ditinggalkan bulan suci. Tapi mengapa tak menangis, melihat penderitaan Palestina setiap hari?
Sungguh kami menangis melihat dosa diri ini. Ternyata kami harus menjerit melihat dosa kami terhadap sesama saudara yang tersakiti. Dan kami tak membantu, dan kami tak peduli.
Saudara, adakah Palestina pada doa-doa dini hari saudara? Adakah Palestina pada doa-doa berbuka saudara? Adakah Palestina pada canda tawa renyah di kebersamaan bulan suci? Adakah Palestina pada i’tikaf dan lantunan bisik hati?
Adakah Palestina di hatimu, Saudara?
Ya Allah, ampuni kami…
Masihkah ada sejumput harap itu?
Maafkan kami, Palestina! Selamatkan kami, Palestina!
Selamatkan kami...
@miftahrakhmat