السلام عليك يا أبا عبد الله وعلي الأرواح التي حلت بفنائك
عليك مني سلام الله أبداً ما بقيت وبقي الليل والنهار ولا جعله الله آخر العهد مني لزيارتكم
السلام علي الحسين وعلي علي بن الحسين وعلي أولاد الحسين وعلي أصحاب الحسين أعظم الله اجورنا بمصابنا بالحسين
وجعلنا وإياكم من الطالبين بثأره مع وليه الامام المهدي من آل محمد. لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم. انا لله وإن إليه راجعون.
Saudara-saudaraku...
Malam ini kita meninggalkan rumah kita, kesibukan kita, dunia kita, untuk memasuki rumah baru, kesibukan baru dan dunia baru. Malam ini kita campakkan pakaian kita yang lusuh dan kotor, untuk kita kenakan busana yang baru dan bersih. Malam ini kita pusatkan pandangan kita pada berkas-berkas cahaya di ufuk jauh sejarah. Kita arahkan penciuman kita pada semerbak wewangian surgawi manusia-manusia suci dari Madinah al-Munawwarah. Kita curahkan perhatian kita kepada darah-darah hangat yang mengalir di jantung para penegak keadilan. Biarkan dunia baru kita dipenuhi cahaya mereka. Biarkan pakaian kita disiram wewangian mereka. Biarkan kehangatan darah mereka mengalir dalam seluruh jaringan urat nadi kita. Malam ini kita bukan lagi kita yang kemaren. Malam ini kita tidak berada di Makassar. Malam ini kita sedang berkunjung ke rumah keluarga Nabi saw, di sudut kota Madinah, di tengah-tengah kebun yang diberikan Nabi saw kepada para putranya.
Sekarang ini, kita berada pada 15 Jumadil Awwal 36 H. Kita menyaksikan seorang bayi molek membuka mata di kota Rasulullah saw. Beberapa hari setelah itu, kita dikejutkan oleh kematian ibunya Syahzanan. Putri Persia ini seakan-akan dikirim Tuhan ke tanah Arab hanya untuk melahirkan manusia suci dari silsilah emas Keluarga Nabi saw. Pada bayi mungil itu mengalir darah terbaik dari Arab dan Ajam. Saksikan, sebongkah cahaya tersenyum bangga ketika mendengar berita kelahirannya, dengan kebanggaan seorang kakek. Beliau bersujud syukur kepada Allah. Beliau menamainya dengan namanya sendiri: ALI. Sekarang bertemu Ali Amirul Mukminin dengan Ali Zainal ‘Abidin. Lihat, ketika bayi itu berada dalam pangkuan kakeknya, dikelilingi oleh ayahnya dan pamannya, bertemulah cahaya dengan cahaya, nuurun ‘alan nuur.
Ali Zainal Abidin hanya sempat mereguk anggur kecintaan kakeknya hanya sampai usia empat tahun. Pada suatu pagi, ia menyaksikan kakeknya yang dicintainya pulang dari masjid dengan kepala yang berlumuran darah. Dengan hati kanak-kanak yang masih bening, ia mendengarkan nasehat terakhir Amirul Mukminin kepada ayah dan pamannya. Kata agung, lafzhul jalalah, “Allah, Allah”, yang diucapkan Ali berulang kali di sela-sela pembicaraannya tidak pernah hilang dari kalbunya. Sejak usia yang sangat dini, Ali bin Husain mereguk kefasihan bicara dan kesucian hati dari Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali yang pertama dibaringkan di perut bumi Kufah, di atas bumi Madinah kaki-kaki kecil Ali kedua melangkahi setiap jejak yang ditinggalkannya. Dengan begitu, dunia tidak pernah kehilangan Ali yang berlidah fasih dan berhati suci.
Ali yang kecil menghabiskan masa kanak-kanaknya di tengah-tengah dunia yang sudah menguburkan Ali yang adil. Suara keadilan insani telah dibungkam kematian. Kini, para penguasa menegakkan istana di atas kuduk-kuduk manusia yang dilemahkan. Mereka minum anggur yang diramu dari darah dan keringat orang yang tidak berdaya. Ketika suara musik mengiringi pesta-pesta mewah di rumah para pejabat, ‘Arasy Tuhan berguncang karena jeritan pilu yang keluar dari gubuk-gubuk kumuh rakyat yang melarat.
Dengan telinganya sendiri, ia mendengar para penguasa dan ulama yang mereka sewa menghamun maki kakeknya di mimbar-mimbar Jumat. Ia tahu, kalau tidak karena pedang Ali bin Abi Thalib, mimbar-mimbar itu tidak akan tegak. Dengan matanya sendiri, Ali kecil melihat upaya pamannya Hasan as. untuk menegakkann keadilan dihancur-leburkan oleh Muawiyyah. Para pengikut Hasan dipecah-belah dengan godaan dan ancaman. Seorang demi seorang pengikutnya meninggalkannya; sebagian karena takut, sebagian lagi karena dibeli. Ketika berusia 12 tahun, Ali remaja ikut menangisi Al-Mujtaba, yang diracun oleh Ja’dah bin Asy’ats, istrinya sendiri. Ketika ia mengantarkan jenazah yang mulia untuk dikuburkan di samping pusara Rasulullah saw., ia melihat ada sekelompok Muslim yang menentangnya. Ia melihat muka-muka garang dan teriakan galak. Mereka bukan saja menggertak para pengantar dengan makian, mereka juga menghujaninya dengan anak panah. Dan anak-anak panah itu menancap pada tubuh jenazah pamannya, Hasan. Ia menyaksikan ayahnya, Husayn, berusaha mengendalikan dirinya dan mengalihkan jenazah ke pekuburan Baqi’. Dari ayahnya, ia belajar mengendalikan diri dalam menentang kezaliman. Dari peristiwa ini ia mengerti bahwa jalan yang harus ditempuh Ahli Bayt Nabi ditaburi duri pengkhianatan dari orang-orang yang terdekat dan anak panah kebuasan dari musuh yang jauh.
Dengan bibir yang gemetar, ia gumamkan doanya:
Engkau tahu, ya Ilahi apa yang aku derita
karena perbuatan fulan bin fulan yang telah Kau larang
karena merampas hakku yang telah Kayu haramkan
dia tak berterima kasih dengan apa yang Kau berikan
dan tertipu dengan apa yang Kau tahan
jagalah aku supaya tidak berbuat seperti yang dilakukannya
jangan tempatkan aku dalam keadaan yang dialaminya!
Ya Allah,
berilah ganti kepadaku dari kezalimannya atasku
dengan ampunan-Mu
balaslah aku karena perbuatan jeleknya padaku
dengan kasih sayang-Mu
segala derita tidak seberapa dibandingkan murka-Mu
segala kepahitan tidak ada artinya dibandingkan marah-Mu
Ya Allah,
sebagaimana Engkau membuatku benci dizalimi
jagalah diriku untuk tidak berbuat zalim
Bersamaan dengan pertambahan usianya, bertambah juga kebencian Ali kepada kezaliman. Ia menyaksikan dengan matanya sendiri para pecinta Suara Keadilan dirampas hak-haknya sebagai manusia. Kekayaan mereka dijarah, kebebasannya dirampas, kehormatannya dicemari, dan keyakinannya dicurigai. Dahulu, Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Wahai Ali, tidak mencintaimu kecuali orang yang mukmin, dan tidak membencimu kecuali orang yang munafik.” Kini, Ali bin Husayn menyaksikan para pecinta Ali dianggap sesat dan para pembencinya dipandang hormat.
Akhirnya, pada puncak kemudaannya, Ali bin Husayn menjadi saksi hidup dari tragedi besar umat Muhammad saw. : Karbala. Di padang Karbala, pengkhiatan sahabat dan kelaliman musuh bergabung. Sebagai saksi hidup, tentu hanya Ali yang merasakan betapa beratnya mata memandang. Tetapi ia lebih dari sekedar saksi, ia juga merasakan beratnya bahu memikul. Pemandangan yang mengerikan di Karbala tidak pernah lepas dari mata hatinya. Bagaimana mungkin ia melupakan bongkah-bongkah daging yang bersimbah darah dan tercabik-cabik; padahal itu adalah jasad-jasad ayahnya, saudara-saudaranya, karib-kerabatnya, dan sahabat-sahabatnya? Siapa yang dapat melupakan jeris tangis Keluarga Nabi saw. yang dibiarkan kehausan dan kelaparan, kemudian diarak ratusan kilometer sebagai tawanan?
Dua puluh tahun lamanya Ali bin Husayn menangisi Karbala. Setiap dihidangkan makanan atau minuman ia menangis. Ia berkata, “Bagaimana aku bisa makan, padahal Abu Abdillah dibunuh dalam keadaan lapar? Bagaimana aku bisa minum, padahal Abu Abdillah dibunuh dalam keadaan haus?”
Para pembantunya jatuh iba kepadanya dan menasehatinya, “Tidakkah sekarang sudah sampai waktunya untuk menghentikan kesedihan dan mengurangi tangisan.” Ali menjawab, “Celakalah kamu, ingatkah kamu Nabi Ya’qub yang punya dua belas orang anak. Salah seorang di antara anak-anaknya dihilangkan Allah. Matanya memutih dan punggungnya melengkung karena terlalu banyak menangis, padahal anaknya yang hilang itu masih hidup. Aku terkenang pada ayahku, saudara-saudaraku, paman-pamanku dan tujuh belas orang anak paman-pamanku dibantai seperti hewan kurban. Aku terkenang bibiku dan saudara-saudaraku perempuan dikelilingi penduduk Kufah. Mereka minta pertolongan dan menangisi orang-orang yang terbunuh. Demi Allah, setiap kali aku mengenangnya, airmataku tumpah tidak tertahankan.”
Kadang-kadang Ali berangkat ke pasar. Bila ia melihat tukang jagal yang akan menyembelih kambing atau binatang lainnya, ia mendekatinya. Ia bertanya dengan suara yang bergetar, “Sudah kau beri minumkah dia?” Jagal itu menjawab, “Tentu saja, duhai putra Rasulullah. Kami tidak pernah menyembelih hewan sebelum memberinya minum walaupun sedikit.” Imam menangis seraya berguman, “Abu Abdillah disembelih dalam keadaan kehausan.”
Bila ada orang dari negeri jauh datang, ia mengundangnya ke rumahnya. Ia menjamunya. Di hadapan orang banyak ia bertanya kepada tamunya, “Menurut pendapatmu, sekiranya kamu dijemput maut dalam keadaan terasing dari keluargamu, adakah orang yang memandikan dan mengkafanimu?” Orang-orang yang hadir berkata, “Wahai putra Rasulullah, semua kami akan melaksanakan kewajiban itu.” Mendengar itu, Imam menangis, ‘Abu Abdillah dibunuh di negeri asing. Ia dibiarkan tiga hari tergeletak dijemur panas matahari, tidak dimandikan dan tidak dikafani.”
Ajaibnya, duka yang sangat mendalam itu tidak memperdalam dendam kepada siapa pun. Senantiasa terngiang di telingan Ali pesan terakhir ayahnya: “Anakku, aku wasiatkan kepadamu apa yang diwasiatkan kakekmu Rasulullah saw. sebelum wafatnya kepada Ali; kemudian diwasiatkan lagi oleh kakekmu kepada pamanmu Hasan, dan pamanmu kepadaku; Jauhilah olehmu berbuat zalim kepada orang yang tidak punya penolong selain Allah.” (bersambung)