Malam ini kita meninggalkan rumah kita, kesibukan kita, dunia kita, untuk memasuki rumah baru, kesibukan baru dan dunia baru. Malam ini kita campakkan pakaian kita yang lusuh dan kotor, untuk kita kenakan busana yang baru dan bersih. Malam ini kita pusatkan pandangan kita pada berkas-berkas cahaya di ufuk jauh sejarah. Kita arahkan penciuman kita pada semerbak wewangian surgawi manusia-manusia suci dari Madinah al-Munawwarah.
Kita curahkan perhatian kita kepada darah-darah hangat yang mengalir di jantung para penegak keadilan. Biarkan dunia baru kita dipenuhi cahaya mereka. Biarkan pakaian kita disiram wewangian mereka. Biarkan kehangatan darah mereka mengalir dalam seluruh jaringan urat nadi kita. Malam ini kita bukan lagi kita yang kemaren. Malam ini kita tidak berada di Makassar. Malam ini kita sedang menyaksikan Ali Zainal Abidin bergabung dengan ayahnya, Husain dan puluhan perempuan dan anak-anak; kelihatnnya sedang bergegas meninggalkan kota Madinah.
Belum jauh berjalan, Ali mendengar nafas terengah-engah. Di belakangnya, ia melihat seorang perempuan menyapu tanah Madinah dengan abayanya. Al-Husain menyuruh semua rombongan berhenti. Mereka mengenal wajah itu, wajah yang sangat dicintai Nabi saw, Ummul Mukminin, Ummu Salamah, ibunda mereka.
“Husain, jangan dukakan aku karena kepergianmu ke Iraq. karena aku mendengar kakekmu Rasulullah saw berkata: Anakku Husain akan dibunuh di bumi Iraq, di sebuat tempat yang namanya Karbala. Padaku ada tanah tempat jatuhnya darahmu yang kusimpan dalam botol, yang diberikan Nabi saw padaku. Imam Husain menjawab lirih: Bunda, aku tahu bahwa di sana aku akan dibunuh, disembelih, dizalimi dan dimusuhi. Allah sudah memperlihatkan kepadaku bahwa keluarga perempuanku akan digiring, dan anak-anak kecil dari keluargaku akan dibantai, dirantai, dan dipenjarakan. Mereka menjerit meminta tolong tetapi tidak seorang pun yang menolong mereka. Tangis Ummu Salamah meledak, “Untuk apa engkau pergi, jika kau akan dibumuh” Sekan-akan untuk menenangkan ibunya, al-Husain berkata, “Ibu, jika aku tidak pergi sekarang pasti besok aku pergi. Jika tidak besok, lusa aku pergi. Demi Allah, maut itu sudah pasti, bunda. Aku sudah tkenalpada hari apa aku dibunuh, pada jam berapa aku dibunuh, pada bongkah tanah mana aku akan dikubur, semua aku kenali seperti aku mengenalimu, bunda. Aku melihat semuanya seperti aku melihatmu.”
Kemudian Imam menunjuk ke arah Karbala. “Lihat, Bunda,” Ummu Salamah melihat bumi merendah. Ia melihat perkemahan mereka, pembantaian mereka, sebaran jenazah mereka. Jeritan Ummu Salamah makin keras, disusul dengan tangis keluarga Abdul Mutalib, dan hampir semua penduduk Madinah. Tidak hengti-hentinya mereka memandang rombongan al-Husain yang perlahan-lahan menghilang di celah-celah bukit Wada’i. Dahulu penduduk Madinah menyambut Nabi saw di celah itu dengan gembira. Sekarang penduduk Madinah mengantarkan mereka dengan tangisan. Madinah menangis, merintih, menjerit. Hari ketika Husein meninggalkan Madinah sama seperti hari ketika Rasul yang penuh kasih itu menutupkan matanya yang mulia untuk selama-lamanya. (bersambung)