Malam ini kita meninggalkan rumah kita, kesibukan kita, dunia kita, untuk memasuki rumah baru, kesibukan baru dan dunia baru. Malam ini kita campakkan pakaian kita yang lusuh dan kotor, untuk kita kenakan busana yang baru dan bersih. Malam ini kita pusatkan pandangan kita pada berkas-berkas cahaya di ufuk jauh sejarah.
Saat ini ini kita tidak berada di Makassar. Saat ini adalah bakda Ashar menjelang magrib, tanggal 9 Muharram Malam ini malam sepuluh Muharram, tahun 6I Hijriyah. Kita berada di tengah-tengah padang pasir, di puing-puing peradaban Babilonia. Karbala.
MATAHARI di ufuk Barat sebentar lagi terbenam. Cahayanya yang merah menyapu p adang pasir. Dari sebelah utara bergerak gunung hitam seperti badai gurun, yang menggulung makin lama makin besar. Badai itu bergerak menuju kemah-kemah kecil yang bertebaran di sebuah sudut sahara. Kita sekarang mendekati kemah-kemah itu. Dalam salah satu kemah, kita lihat tubuh Ali bin Husain berguncang keras karena demam. Perjalanan yang melelahkan dan udara yang membakar terik telah meruntuhkan hampir seluruh kekuatannya. Zainab membaringkan keponakannya di atas tanah yang digersang yang hanya berlapiskan debu. Gemuruh sura manusia dan gemerincing besi membuat Zainab terperanjat. Di luar, ia terpana melihat padang pasir dipenuhi oleh puluhan ribu tentara dan kuda.
Segera ia teringat saudaranya belahan nyawanya al-Husain. Di manakah ia gerangan? Tahukan ia bahwa telah datang ribuan manusia yang siap meluluh lantakkan segelintir orang yang berada di situ. Sampailah ia di kemah al-Husain. Ia dapatkan kakaknya sedang memeluk kedua lututnya dan menyandarkan kepalanya di atasnya. Rupanya ia tertidur.
“Ya Husainah, Ya Husainah”, suara yang penuh ketakutan dan kecemasan membangunkan cucu Nabi saw. “Kakak, apakah tidak kaudengar gemuruh apsukan musuh yang makin mendekat.”
Al-Husain mengangkat kepalanya dan berkata, “Ukhayyah, adikku tersayang, baru saja aku tertidur dan aku melihat kakekku Rasulullah saw, ayahku Ali, dan iubuku Fathimah, dan kakakku al-Hasan dalam mimpiku. Mereka berkata kepadaku, “Ya Husayn innaka raaihun ilayna min qariib, kamu sebentar lagi pulang kepada kami”. Dada Zainab terguncang. Apa yang beberapa saat terakhir ini terselak di tenggorokkannya sekarang menghambur ke luar. “Duhai malangnya, wa waylaah!”
“Ini bukan kemalangan, wahai adikku tersayang. Tenanglah, semoga Allah mangasihi kamu,” Imam bangkit dan menyuruh Abul Fadhl Abbas, adiknya seibu, pemegang bendera Imam, untuk menanyakan maksud kefatangan pasukan itu.
“Mereka datang untuk atas perintah Ibn Ziyad untuk memaksa kamu tunduk kepada aturannya, untuk berbaiat kepada Yazid.” lapor Abbas.
“Sampaikan kepada mereka, kalau mungkin menangguhkannya sampai besok. Supaya malam ini kita habiskan waktu untuk salat dan berdoa kepadaNya. Orang tahu bahwa aku sangat senang salat dan membaca al-Quran dalam keheningan malam.”
Malam ini, 9 Muharram 61 Hijriyah, kita melihat Imam keluar dari kemahnya, menaiki kudanya, dan memeriksa gundukan-gundukan tanah di sekitar perkemahan keluarganya. Ia kuatir musuh bersembunyi di situ dan menyerang tiba-tiba. Ada bayanganberkelebat.
“Sipakah kamu? Nafi’”
“Na’am, biarlah aku jadi tebusanmu! Aku kuatir melihat engkau keluar malam-malam ke arah musuh yang durhaka”
“Aku keluar untuk meeriksa bukit-bukit kecil ini, kuatir ada musuh yang bersembunyi.”
Ia kembali, memegang tangan kiti Nafi’. Hi,hi, wallah, janji Allah pasti terjadi Hai Nafi’, menyelunduplah lewat dua bukit ini, hai Nafi’. Sekarng juga. Selamatkan dirimu!
Nabi merebahkan dirinya, menciumi kaki Imam Husain. “Kalau begitu, sial—sialah ibuku melahirkan aku. Sayyidii, junjunganku, padaku sekarang ada pedang dan ada kuda. Demi Dia yang telah memberikan kepadaku anugrah untuk bisa berjumpa denganmu. Aku tidak akan meninggalkanmu, sampai pedangku gtidak bisa menebas, sampai kudaku tidak bisa bergerak.”
Sekarang dengarkan apa yang terjadi malam itu dari mulut Aqilah Bani Hasyim, perempuan Bani Hasyim yang paling fasih:
“Pada malam kesepuluh, aku keluar dari kemahku, mencari akakku al-Husain dan para pembelanya. Aku dapatkan kakakku duduk sendirian, merintih berdoa di hadapan Tuhan seraya membaca al-Quran.
Mengapa pada malam seperti ini ia ditinggalklan sendirian. Aku akan menegur, wallah, semua anggota keluargaku. lalu aku mendatangi kemah Abbas. Aku mendengar gumamam yang tidak jelas. Aku dekatkan telingaku. Aku dapatkan saudara-saudaraku, keponakanku, anak-anak saudaraku berkumpul membentuk majlis. Aku lihat Abbas putra Amirul Mukminin menekukkan lututnya seperti seekor singa yang sedang menelungkup. Ia menyampaikan khotbah yang keindahannya hanya bisa ditandingial-Husain. Pada akhir khuthbahnya ia berkata:
“Saudara-saudaraku, anak-anak saudaraku dan anak-anak pamanku! Apa yang akan kalian lakukan esok hari.”
“Kami serahkan urusan ini kepadamu. Kami tidak akan membantah perintahmu”
“Sahabat-sahabat kita yang ikut bersama kita itu orang asing. Beban yang harus kita tanggung itu berat kecuali ahlinya. Pagi hari besok orang yang harus mulai bertempur adalah kalian. Jangan sampai orang-orang berkata bahwa kita mendahulukan sahabat-sahabat kita pada kematian untuk menyelamatkan diri kita.
Semua Bani Hasyim meloncat di hadapan saudaraku Abbas, menghunus pedangnya dan serempak berkata: Kami yang akan berperang duluan sperti saranmu, saudaraku!”
Kita masih mendengarkan Sayyidah Zainab: “Mendengar kesungguhan dan tekad mereka, senanglah hatiku walaupun air mata tertahan dalam pelupuk mataku. Aku bermaksud untuk menyampaikan berita itu kepada Al-Husain, tapi tiba-tiba aku dengar suara-suara pembicaraan di kemah Habib bin Mazhahir. Aku lihat dari luar kemah mereka membentuk majlis sama seperti Bani Hasyim. Aku mendengar Habib berkata: Untuk apa kalian berada di sini? jelaskan, semoga Allah merahmati kalianj.
“Untuk membela keluarga Fathimah?”
“Kenapa kalian tinggalkan keluarga kalian”?
“untuk alasan yang sama!”
Besok pagi bagaimana pendapat kalian?
Kami ikuti pendapatmu!
Besok pagi orang yang pertama menghadapi usuh itu harus kalian. Jangan sampai Bani Hasyim bersimbah darah dan darah kita masih mengalir dalam pembuluh-pembuluh darah kita, jangan sampai orang-orang berkata bahwa kita bakhil dengan nyawa kita dan mengorbankan para pemimpin kita.
Semua sahabat itu meloncat di depan Habib bin Mazhahir, dengan menghunuskan pedangnya: Kami akan mengikuti perintahmu.
Ketika Zainab menemui kakanya, senyuman tersungging di bibirnya. “Sejak kita berangkat dari Madinah, aku tidak pernah melihat engkau tersenyum kecuali malam ibni, ya Ukhayyah”
“Marilah kita lihat keteguhan dan kekompakkan saudaramu dan sahabatmu.”
Di depan kemah, pada malam Sepuluh Muharram, Imam Husain memanggil mereka: Di mana saudara-saudaraku dan anak-anak paman-pamanku? Di mana Habib, Zuhair, Nafi? “ Dari dalam kemah segera berloncatan singa-singa Ilahi sambil berteriak: Labbaik ya Aba Abdillah! Labbaik ya Aba Abdillah.
Dalam akhir khuthbahnya Imam berkata: Barangsiapa yang datang ke sini bersama istrinya, kembalikanlah dan titipkan kepada Bani Asad. Mengapa ya Sayyidi.
Karena setelah aku dibunuh, keluargaku yang perempuan akan diseret sebagai tawanan. Aku tidak ingin keluarga perempuan kalian diseret sebagai tawanan pula.
Ali bin Mazhahir kembali ke kemahnya. Ia disambut isterinya dengan penuh penghormatan dan senyuman
Tinggalkan senyuman itu. Hai Ibn Mazhahir, aku mendengar putra Fathimah berbicara pada kalian. Tapi aku tidak mendengar jelas bagian akhirnya. Imam berkata kepadaku, supaya orang yang membawa istrinya mengembalikannya kepada pamannya, karena besok aku akan dibunuh dan istriku akan dijadikan tawanan. Terus, apa yang akan kamu lakukan. Bangunlah, aku akan kembalikan kamu pada pamanmu.
Istri ibn Mazhahir bangun dan membenturkan kepalanya ke tiang.
“Hai anak Mazhahir, kenapa kamu tidak menghargai aku. Apakah kamu senang para putri Rasulullah dijadikan tawanan dan aku hidup dalam kebebasan dan ketenangan? Apakah kamu senang kerudung Zainab disingkapkan dan aku berlindung dalam jilbabku. Apakah kamu senang mukamu putih di depan Rasulullah saw dan mukaku hitan di hadapan S Fathimah. Sebagaimana kamu bergabung dengan laki-laki keluarga Rasulullah saw kami pin akan bergabung denga kelurga wanitanya. Ibn Mazhahir datang menemui Imam Husain sambil menangis. Mengapa kamu menangis. Perempuan Bani Asad menolak untuk tidak bergabung dengan keluarga Tuan.”
Juzitum ‘an ahlil bayt a.s khayran. ***