Namun ada sesuatu yang mengganjel dari tradisi hasanah ini. Kita lebih banyak menghidupkan tradisi ”binatang korbannya” ketimbang manusianya yang berkorban. Kita lebih sering melihat dombanya ketimbang manusianya yang berkorban. Kita lebih sering melihat dombanya ketimbang Ibrahimnya. Kita terpaku pada objek yang sebetulnya adalah sarana semata-mata untuk mendekati Allah ketimbang subjeknya yang menjadi dekat dengan allah. Kita lebih berkonsentrasi pada an’am (binatang ternaknya) yang tidak memiliki ruh Ilahi ketimbang Insan Kamilnya yang merupakan wajah Ilahi di bumi. Kita lebih suka memilih entitas inferiornya ketimbang esensi superiornya. Kita lebih ter-kesima pada mahluk yang sangat rendah itu ketimbang Khalifah Tuhan yang sangat agung.
Jelas bahwa Nabi Ibrahim tidak dapat dibandingkan dengan domba yang dikorban-kannya. Allah tidak pernah memuji binatang korban itu, tetapi mentakzimkan Nabi Ibrahim dalam kitab Al-Qur’an di lebih dari enam puluh ayatnya. Mari kita melihat deskripsi Al-Qur’an secara singkat tentang kekasih Allah yang agung ini yang secara khusus memper-oleh gelar deri Allah dengan sebutan Al-Khalil, Teman yang sangat kasih.
Secara teologis, Ibrahim adalah Bapak Tauhid. Seluruh agama samawi yang datang setelahnya berinduk kepadanya. Bahkan agama Islam dan kata-kata Muslim yang dinisbahkan kepada kaum Muslimin bersumber dari ucapannya (Al-Haj:78). Dialah orang yang sangat tegar melantunkan kalimat tauhid di tengah kehidupan jahiliyah zaman-nya; menentang kebatilan meskipun kepada orang yang paling dekat dengannya. Dia meneriakkan kalimat ”La” di hadapan siapa-pun yang ingin berdiri sejajar dengan Allah Tuhan semesta alam.
Ibrahim tidak pasif. Secara aktif dia mengajar ummat manusia untuk mencari Tuhannya yang hakiki. Mulai dari yang sangat elementer ketika dia bertanya-tanya apakah mahluk-mahluk kosmos-bintang, bulan dan matahari tersebut adalah Tuhan, sampai pada level tertinggi ketika dia ingin memperoleh keyakinan lebih banyak dengan melihat seluruh kerajaan Allah yang tersimpan di dunia materi dan dunia immateri (Lihat surah-surah Al-Baqarah 258; Al-An’am:75).
Kisah Ibrahim mencari Tuhan pada periode awal dan sangat elementer ini menurut hemat saya adalah sekedar upaya beliau saja yang ingin mengajarkan kepada ummat manusia bagaimana mencari Tuhannya. Bukan bertolak dari ignoransi beliau yang sesungguhnya. Dengan kata lain beliau memprakarsai suatu pembuktian secara logis bahwa sesuatu yang bersifat absolut tidak mungkin bisa dibuktikan secara empiris. Sebab selain dari wujud materi yang sifatnya empiris, di sana ada wujud lain ang bersifat immateri yang tidak mungkin bisa dijamah secara eksperimental. Namun -aneh-nya dalam masa yang sama ia bisa ”disemayamkan” dalam hati, liyathmainna qolbi (Al-Baqarah:260). Kisah-kisah teologis Ibrahim dalam Al-Qur’an memuat pelajaran yang sangat berarti, mulai dari masa kecilnya yang menguji keberadaan Tuhan lewat peredaran alam kosmos sampai menguji keyakinan dirinya lewat pertanyaan-pertanyaan yang sangat sensitif yang sampai-sampai Tuhan sendiri balik bertanya, awalam tukmin, apakah (engkau hai Ibrahim) tidak percaya?
Secara mistis, Ibrahim adalah manusia yang amat sangat sempurna. Dia adalah Insan Kamil yang sesungguhnya, yang kata Ibnu Arabi, bisa terungkap dari gelarnya sebagai Khalilullah. “Selain dari makna teman, khalil juga bermakna menyerap (sebagai subjek) atau juga objek yang diserap”. Kata Ibnu Arabi. Dia menjadi khalil karena dia menyerap secara utuh seluruh Asma’ dan sifat Allah; atau ”diserap” oleh Allah secara sempurna sedemikian rupa sehingga dia benar-benar sudah baqa’ dalam Allah (Swt). Dalam pengertian Ibnu Arabi, Ibrahim adalah model manusia sempurna secara lahir dan batin. Apabila gelar khalilnya kita baca dalam bentuk ism fa’il (subjeknya), berarti Ibrahim adalah suatu zahir yang menembus dan menyerap ke jantung yang paling dalam akan sifat ke-Batin-an Allah (Swt). Sebab Allah bersifat Zahir dan Batin, Huwaz-Zahir wal Batin. Apabila kita baca dalam bentuk ism maf’ul (objek), maka Ibrahim menjadi batin yang diserap oleh Zahir-Nya Allah yang Maha-sempurna.”
Saya batasi kutipan Ibnu Arabi dalam kitabnya Fushusul Hikam pasal Hikmah Ibrahimmiyah sampai di situ saja. Selain sangat rumit, juga bisa mengundang kontroversi dan misunderstanding akan esensi makna dari kearifan Khalilullah di atas.
Ibnu Manzur -di sisi lain- juga meng-artikan bahwa salah satu makna khalil adalah fakir. Karena itu Khalilullah bisa juga berarti manusia yang fakir mutlak kepada Allah (Swt), suatu derajat makrifat yang sangat tinggi di hadapan sang Khaliq.
Manusia suci sering mendambakan maqam faqr ini, di mana dia meletakkan seluruh kebutuhannya dan keperluannya hanya pada Allah semata-mata. Lawan dari al-faqr adalah al-ghina, merasa dirinya kaya sehingga timbul asumsi bahwa dirinya sudah tidak lagi butuh kepada Allah (Swt).
Nabi Muhammad (Saw) meskipun memperoleh gelar dan pujian yang sangat tinggi di sisi Allah (Swt), sayyidul basyar (manusia yang paling utuh), khatamaun nabiyyin (penutup seluruh nabi), Rasulullah (utusan Allah) dan sebagainya, namun ada satu gelar yang lebih sangat dia sukai ketimbang gelar-gelar di atas: bahwa dia adalah hamba Allah (‘abdahu). Katanya “Aku bangga menjadi hamba Allah sebelum diangkat menjadi Rasul utusan-Nya”.
Dalam perjalanan puncak ruhani tertinggi Nabi Muhammad (Saw), isra’ dan mi’raj, Allah melepaskan seluruh gelar “kebesaran” Muhammad, dan hanya menyapanya dengan gelar yang secara mistis jauh lebih agung: ‘abdihi, (hamba-Nya) seperti yang terlihat indah dalam surah Al-Isra’ ketika Allah memanggilnya dengan kalimat itu, subhanal ladzi asra bi’abdihi lailan..... kalimat ‘abd (hamba) adalah cermin kefakiran Muhammad yang paling ekstrem pada Tuhan-nya di mana dia adalah hamba Tuhan yang tidak pernah merasa ”memiliki” apapun, sekalipun itu eksistensinya sendiri. “Milik-Nyalah seluruh yang ada di langit dan di bumi”.
Demikian jugalah kalimat Khalil yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim (as), (Lihat An-Nisa’:125), adalah cermin sifat faqr atau kefakiran mutlak Ibrahim di hadapan Allah Yang Mahakaya. Sebagai insan yang fakir, Ibrahim merasakan bahwa seluruh yang ada di sisinya adalah milik Allah, termasuk eksistensinya. Dia adalah hamba yang sepenuhnya berhutang pada Khaliqnya, yang apabila sewaktu-waktu sang Khaliq meng-inginkannya kembali, dia akan mengembali-kannya tanpa reserve.
Kefakiran Ibrahim ini terlihat jelas dalam perjalanan hidupnya di mana dia tanpa pernah bertanya apalagi meragukan menerima seluruh permintaan Tuhannya, dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Ketika Allah memerintahkannya untuk membawa dan meninggalkan istrinya Siti Hajar dan putranya Ismail di sebuah padang pasir tandus Bakkah, dia melakukan itu tanpa reserve. Demikian juga ketika Allah meminta-nya untuk menyembelih anaknya, Ibrahim melakukannya dengan cara damai dan penuh keyakinan tanpa sedikitpin berasumsi jelek pada Tuhannya.
Merasa diri fakir di hadapan Allah apalagi menghayatinya adalah puncak tertinggi dari suluk manusia menuju Tuhan-nya. Mungkin di sinilah letak esensi do’a Nabi Muhammad (Saw): ”Ya Allah, jadikan aku orang fakir (miskin), hidupkan aku bersama orang-orang fakir dan bangkitkan aku bersama orang-orang yang fakir”.
Apabila fakir materi sangat rentan dengan penyakit dusta, fakir maknawi sangat potensial untuk menumbuhsuburkan sifat kejujuran. Karena itu salah satu sifat Ibrahim adalah jujur. Dan Allah menyebutnya sebagai orang yang jujur sebelum menyebutnya sebagai seorang Nabi utusan-Nya (Maryam: 41).
Mirip dengan adil, jujur adalah sifat dasar dari semua kebaikan. Apabila seseorang benar-benar jujur, dia bukan hanya jujur terhadap dirinya, namun juga kepada Tuhan-nya, masyarakatnya, lingkungannya, alam kosmiknya dan apapun yang bermu’amalah dengannya.
Karena sifatnya yang jujur, Ibrahim tidak pernah bisa berbohong atau berkhianat pada apa yang disaksikannya. Seluruh eksistensinya protes ketika melihat Namrud memperlakukan sewenang-wenang rakyatnya yang mustad’afin. Dia hancurkan berhala-berhala Namrud yang mengekang dan mengebiri intelektualitas dan spiritualitas hamba-hamba Allah zamannya. Dia teriakkan suara keadilan di hadapan istana penguasa zamannya yang menimbun harta rakyatnya dan mengumpulkannya untuk kepentingan segelintir orang. Meskipun untuk itu Ibrahim harus menanggung resiko yang sangat berat.
Dalam sebuah masyarakat yang sakit, kejujuran Ibrahim menjadikannya sebagai manusia reformer. Dia lakukan ”reformasi” struktural dan kultural. Yang pertama bersifat lokal dan kedua global. Masyarakat Namrud yang sudah sangat apatis dia hentakkan dengan gebrakan-gebrakan yang fundamental. Dia pecahkan kebekuan intelektualitas mereka dengan menghancur-kan mitos-mitos leluhur mereka dan memper-tanyakan ulang secara kritis validitas kepercayaan mereka. Dan secara politis, Ibrahim juga mencairkan kebekuan atau tepatnya kekerdilan mental masyarakatnya yang secara turun-temurun hanya tahu satu sistem kerajaan saja:kerajaan Namrud. Dalam skala global, Ibrahim adalah induk semua agama samawi, Bapak Peradaban kemanusia-an dan lokomotif semua tradisi hasanah yang ada di dunia. Sedemikian globalnya Ibrahim ini sehingga Allah menyebutnya sebagai “satu ummat” (An-Nahl:120). Tradisi hajinya (atau pilgrimage dalam agama samawi lain) sampai kini masih kekal sebagai puncak ritual seluruh ummat agama samawi. Demikian juga dengan korban. Bahkan, meskipun ada per-bedaan (dan penyimpangan) parsial, namun secara substansial acara-acara ritual agama-agama samawi di atas hampir sama.
Tradisi Ibrahim yang kita kenang setiap tahun ini semestinya memotivitasi kita untuk lebih mengenal sosok Ibrahimnya ketimbang objek korbannya. Al-Qur’an mengabadikan namanya dalam bentuk sebuah surah yang terletak dalam nomor urut ke empat belas, agar setiap saat dibaca dan dijadikan rujukkan sebagai pedoman per-jalanan kehidupan manusia. Tetapi manusia Muslim kini tidak lagi mengabadikan nama, apalagi sifat Ibrahim dalam jiwanya, sehingga yang tampak bukan Ibrahimnya, tetapi ”domba”nya. Padahal dia adalah manusia yang sangat perduli dengan nasib kemanusia-an sepanjang zaman.
Dia makmurkan tanah yang gersang dan tandus menjadi sebuah kota yang makmur. Dia nyalakan jiwa yang mati dengan sinar tauhid dan iman. Dia suburkan jiwa yang kering kerontang menjadi jiwa-jiwa yang basah melantunkan Asma’ Allah Al-Husna. Dia santuni manusia yang paling jauh dan primitif dengan daging korbannya yang segar. Dia do’akan manusia mukmin sepanjang zaman: “Tuhan kami, ampunkan dosaku, dosa kedua orang tuaku dan dosa-dosa orang mukmin pada hari bangkitnya hisabnya kelak.”Ibrahim terlalu banyak telah berbuat baik kepada kita. Tetapi apa yang kita kenang atau kenal tentang Khalil Allah ini?
(Ditulis oleh Ustadz Husein Shahab; pernah dimuat dalam Buletin Al-Tanwir, Nomor 112 Edisi 15 Maret 1998)