Kafilah kita bergerak perlahan melewati tempat yang penuh berkah itu. Kita menyauk tanah yang pernah diinjak telapak kaki manusia-manusia suci, kita usapkan ke wajah kita sambil melangkahkan kaki-kaki kita ke arah Masjidil Haram. Kita sudah melewati kuburan Baqi’. Kita sudah mendengar adzan Bilal yang menyentuh hati. Kita melihat para sahabat Nabi saw bergegas untuk shalat berjamaah di belakang Nabi. Kita sudah berdiri di depan pintu mesjid Nabi. Marilah kita ucapkan salam: “Assalâmu ‘Alaika Yâ Rasûlallâh. Assalâmu ‘Alaika Yâ Habîballâh. Assalâmu ‘Alaika Yâ Nabiyar Rahmah. Assalâmu ‘Alaika Yâ Sayyidal Mursalîn. Assalâmu ‘Alaika wa ‘Ala Ahli Baitikat Thayyibînat Thâhirîn.”
Ketika kita masuk ke mesjid, kita melihat seorang Arab dari dusun menyeruak ke tengah-tengah jamaah mendekati Rasulullah saw. Nabi sudah bersiap untuk melakukan shalat, orang dusun itu bertanya, “Kapan kiamat akan terjadi ?” Nabi tidak menjawab. Kita mendengar beliau mengucap-kan takbir. Kita shalat di belakang Nabi saw. Kita merasakan hati kita bergetar, mata kita berat dengan air mata. Ketika Nabi membaca-kan ayat-ayat Al-Qur’an, suara suci dan indah itu menyayat-sayat jantung kita. Kita tidak bisa lagi menahan air mata, kita tenggelam dalam lautan keesaan Tuhan.
Usai shalat, kita mendengar suara Nabi saw yang lembut berkata, “Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat itu?” Orang dusun itu berkata dari tengah-tengah manusia: “Saya, Ya Rasulullah.” Nabi bertanya: “Apa yang sudah kamu persiapkan untuk hari kiamat?”
Kita melihat orang dusun itu tertunduk malu, dia tidak berani memandang wajah Nabi saw. Kita mendengar ia berkata dengan suara terbata-bata: “Demi Allah! Saya tidak mempersiapkan amal yang banyak. Saya tidak mempersiapkan shalat maupun puasa, tapi saya mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Suara yang penuh kasih keluar dari bibir Nabi yang mulia. Dengar, suara yang penuh kasih keluar dari bibir Nabi yang mulia. “Anta ma’a man ahbabta.”Engkau bersama orang yang engkau cintai.
Duhai, betapa dahsyatnya ucapan nabi itu. Seperti bunga layu yang disiram air hujan, muka orang dusun itu merekah kembali penuh harapan, hatinya melonjak gembira. Para sahabat yang lain bertanya: “Ya Rasulullah, apakah ucapan engkau itu hanya berlaku buat diri dia saja?” Rasulullah menjawab: “Tidak, ini berlaku buat kalian dan buat orang Islam sesudah kalian.” Dengarkan-lah kata Anas bin Malik: “Aku belum pernah melihat kaum muslimin berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagia-nya mereka ketika mendengarkan sabda Nabi saw.” Kita juga bahagia. Kita tidak berbeda dengan orang Arab dusun itu. Kita tidak mempersiapkan apa-apa buat hari kiamat nanti. Kita malas beribadah, kita tidak banyak melakukan amal shaleh, bahkan setiap hari kita menumpuk dosa dan maksiat.
Hari ini kita malu menemui Nabi saw dengan punggung yang sudah berat dengan dosa-dosa kita, tapi kita ingin memper-sembahkan kepadanya cinta kita yang tulus. Kita datang untuk melepaskan kerinduan kita kepada Nabi saw. Marilah kita sampaikan ribuan salam kepadanya seperti orang Arab itu. Marilah kita ungkapkan cinta kita kepada junjungan kita:”Innallâha wa malâikatahû yushallûna ‘alan nabi, yâ ayyuhalladzîna âmanû shallû ‘alaihi wa sallimû taslîmâ” (Al-Ahzab 56). Allahumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad.
Kita baca shalawat untuk mengungkapkan kecintaan kita pada Rasulullah saw.
“Sholâtun minallah wa alfa salâm
Alal Musthafâ Ahmad syarîfil maqâm
Ya Allah curahkan seribu salam
Bagi Musthafa Ahmad insan mulia
Salam oh salam seharum kesturi
Bagimu duhai kekasih yang mulia
Dalam gelita kami rindukanmu
Kaulah cahaya di tengah manusia
Demi Allah kau penuhi hatiku
engkaulah tujuan cita-citaku
Muliakan aku dengan cinta sucimu
Berikan padaku tempat yang mulia
Akulah hambamu duhai tercinta
Di dekatmu cintaku dan bahagia
Jangan dukakan daku tanpa dikau
Sapalah daku walau dalam mimpi
Hidupku matiku dalam cintamu
Hinaku muliaku karena dikau
Dalam dekapmu damainya jiwaku
Engkaulah selalu damba rinduku
Apa arti hidup jika hatiku
Terpisah dari tambatan jiwaku
Cintanya resapi sanubariku
Tertutup tulang dan darah dagingku
(bersambung)
KH Dr Jalaluddin Rakhmat, Dewan Pembina Yayasan Muthahhari Bandung