Api diletakkan di depan pintu rumah putri Nabi saw. Lewat pintu itulah, dulu Rasulullah menjenguk keluarga tersayang. Lewat pintu itulah, dulu Nabi datang menemui keluarga yang dicintainya. Pernah lewat pintu itu, ia datang dan menemukan Ali sedang tertidur. Fathimah ingin membangunkan suaminya, tapi Nabi yang mulia berkata: “Biarkan, jangan ganggu Ali. Karena sepeninggalku, Ali hampir tidak ada waktu untuk tidur lagi.”
Kini mereka datang seperti diramal-kan Rasulullah saw, menyalakan api di depan keluarga suci itu. Di balik pintu, Sayyidah Fathimah tidak henti-hentinya merintih dan memanggil Rasulullah, ”Ya Abatah, Ya Rasulullah”. Pintu dibanting, manusia berhati kasar itu mendorong putri Rasulullah dengan sarung pedangnya. Ia terjatuh, “Ya Abatah, Ya Rasulullah”. Lalu cemeti diayunkan dan menyobekkan luka besar di tangan Qurrata’Ayni Rasulillah. Ali meloncat, ia memegang ubun-ubun si muka kasar, menimpuk hidungnya. “Sekiranya Rasulullah saw tidak menyuruhku bersabar, aku bunuh kamu, hai Ibnu Sa’ad.” Puluhan orang merangsek rumah Ahli Bait Nabi, tempat persinggahan para malaikat. Mereka melemparkan tali ke kuduk Amir al-Mukminin. Mereka menyeret pahlawan Islam itu, yang dengan pedangnya ditegakkan tonggak-tonggak keislaman, yang tubuhnya penuh dengan tikaman pedang ketika menegakkan agama Islam saat-saat awal. Kini ia diseret seperti unta yang sakit. Ya Rasulullah, apakah ini fitnah besar yang kausebutkan di pekuburan Baqi’ itu? Ketika Ahli Bait yang kauamanatkan untuk dipegang teguh oleh kaum muslimin, bukan saja ditinggalkan, tapi dianiaya dan dihinakan. Ya Rasulullah, ketika Al- Qur’an mengadu di hari kiamat nanti dan menyatakan bahwa umatmu telah meninggalkan dia, kami takut Ya Rasulullah, Ahli Bait akan mengadu di depanmu menunjukkan betapa kami telah mengabaikan mereka selama berabad-abad. Betapa kami telah menganiaya dan menyengsarakan mereka. Betapa kami telah melemparkan mereka dalam onggokan sejarah yang tidak bermakna. Ya Rasulullah, maafkan kami. Ampuni kesalahan-kesalahan kami.
Maafkan pengabaian kami selama ini. Sekarang ini bimbinglah kami untuk mengikuti Ahli Baitmu dan melanjutkan kafilah ini, mengantarkan keluargamu yang suci dari Madinah menuju ke tanah Karbala.
Kafilah kita sekarang berada di padang Karbala. Pagi hari matahari terbit cerah di ufuk timur; sinarnya menyapu padang Karbala yang tandus. Kita melihat Al-Husayn mengatur pasukannya. 32 orang berkuda, 40 orang pejalan kaki, dan selebihnya anak-anak beserta perempuan. Sementara itu di hadapan Imam Husayn, ada Umar bin Sa’ad dengan 5000 anggota tentaranya, dilengkapi persenjataan yang jauh lebih lengkap. Bila matahari itu sanggup berbicara, ia akan mengatakan, “Ini bukan peperangan, ini pembantaian besar-besaran.”
Kita melihat musuh mulai mendekat. Zainab melihat kakaknya maju ke depan. Kita melihat Imam Husayn menyongsong musuh-musuh itu sambil mengangkat tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, Engkaulah sandaranku dalam kesulitan. Tumpuan harapan dalam kesusahan. Engkau sajalah kepercayaan dan kekuatanku, apa pun yang menimpa diriku; betapa pun lemah hatiku; betapa pun tipu daya telah menghilangkan harapanku; betapa pun kawan-kawan telah menjauhiku dan musuh-musuh bergembira pada deritaku. Aku sampaikan doaku pada-Mu. Aku mengadu kepada-Mu, dengan mengharapkan-Mu sendiri. Engkau telah menghiburku. Engkau telah membukakan nikmat bagiku. Engkaulah pemilik segala kebaikan, Tujuan akhir segala pengharapan.”
Kita melihat Al-Husayn meloncat menaiki kudanya. Ia melarang pengikutnya menyerang terlebih dahulu. Untuk terakhir kalinya, ia memperingatkan orang-orang Kufah yang menyerangnya. Ia mengingatkan mereka bahwa ialah Al-Husayn yang di pundak Rasulullah pernah berdiri dan menyebabkan Rasulullah menahan sujudnya dalam waktu yang lama. Ialah Al-Husayn yang ditangisi Rasulullah saw ketika beberapa saat sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia menasehati musuh-musuhnya untuk kembali ke jalan Rasul yang suci. Tetapi seluruh ucapannya tidak mempengaruhi tentara-tentara kezaliman itu. Tiba-tiba seekor kuda mendongak, dan penunggangnya dengan cepat mengarahkan kuda itu ke arah Al-Husayn. Kita menarik nafas panjang. Semua mata memandang ke arah penunggang kuda itu. Setelah dekat, jelaslah siapa penunggang kuda itu -Al-Hurr bin Yazid, yang menggiring rombongan Al-Husayn ke arah Kufah. Itulah Al-Hurr bin Yazid yang membawa rombongan Al-Husayn ke padang pasir Karbala dengan puluhan pedang di belakang mereka. Al-Husayn berdiri tegak, siap menyambut serangan Al-Hurr. Tapi dengarkan kata Al-Hurr: “Wahai putra Rasulullah! Inilah orang yang telah menzalimi engkau. Inilah orang yang telah menggiringmu ke tempat ini dan menyebabkan begitu banyak penderitaan kepadamu. Sudilah engkau, wahai putra Rasulullah, memaafkan orang durhaka seperti aku? Demi Allah, aku tidak menduga orang-orang ini akan bergerak sampai menumpahkan darah keluarga Rasulullah. Sekarang jalan damai sudah tertutup. Aku tidak mau membeli neraka dengan kesenangan dunia. Maafkan kesalah-anku, wahai cucu Rasulullah. Izinkanlah aku berkorban sebagai tebusan atas dosa-dosaku yang telah aku lakukan kepadamu.”
Al-Hurr menaiki kudanya, meng-hentakkan kendalinya, dan meloncat menyerbu orang-orang Kufah, yang pernah menjadi anak buahnya. “Hai, orang-orang Kufah, kalian biarkan orang-orang Yahudi, Nasrani, anjing, dan babi meminum air sungai Eufrat, tapi kalian biarkan keluarga Rasulullah kehausan. Semoga Allah tidak melepaskan dahaga kalian pada Hari Pembalasan nanti.
Ratusan orang mengepungnya. Kuda Al-Hurr roboh diserang anak panah. Tanpa kendaraan, Al-Hurr masih mengamuk seperti singa yang terluka. Akhirnya ia gugur juga. Tubuhnya dicincang ratusan pedang. Ia telah memilih surga dengan darahnya.
Pertempuran pun kemudian ber-kecamuk. Tujuh puluh dua orang pengikut Al-Husayn satu demi satu tersungkur dan darahnya menggenangi padang Karbala. Kita lihat, pasir-pasir yang semula kemuning sekarang memerah. Tinggallah Al-Husayn beserta beberapa orang keluarganya. Ali Akbar, putra Al-Husayn yang berusia sembilan belas tahun, maju menjaga ayahnya. Ia menghantamkan pedangnya ke kiri dan ke kanan, menyeruak ke tengah-tengah musuh. Luka-luka telah mengoyak tubuhnya, sementara kerongkong-annya kering karena kehausan. Al-Husayn menghiburnya, “Sabarlah wahai anakku, sebentar lagi kakekmu Rasulullah akan memberimu minum dengan air surga.”
Sebuah anak panah melesat dan menembus jantung Ali Akbar. Ia jatuh tersungkur. Sambil tetap melihat musuh-musuhnya, Al-Husayn membelai kepala putranya, “Semoga Allah membunuh orang yang membunuhmu.” Ali Akbar gugur, disaksikan ayahnya sendiri. Zainab, yang terus mengawasi pertempuran itu, meloncat dari kemahnya. Tanpa meng-hiraukan bahaya ia menuju ke tempat Ali Akbar. Teriakannya menggema di seluruh Karbala, “Ya Allah, anakku sayang.” Ia mengangkat kepala Ali Akbar yang berlumuran darah, membelai-belainya, menciumnya, dan tidak henti-hentinya meratap dan menangis. Ia sudah tidak memperhatikan suasana sekitarnya. Menyadari bahaya yang mengancam adiknya, Al-Husayn menarik tangan Zainab, mem-bawanya kembali masuk ke dalam kemah.
Di dalam kemah itu, kita mendengar rintihan anak-anak yang kehausan. Kita melihat Al-Husayn memandang putranya. Ali Asghar menggelepar karena haus yang mencekik lehernya. Ia tidak dapat menahan perasaan ibanya. Diangkatnya bayi kecil itu ke luar kemah. Ia mengacungkan bayi itu supaya jelas kelihatan oleh lawan-lawannya. “Hai orang-orang Kufah, apakah kalian tidak takut kepada Allah? Adakah padamu setetes air minum untuk bayi kecil ini? Tidakkah kalian merasakan derita anak kecil yang tidak berdosa ini?”
“Inilah air minumnya!”, kata seorang pasukan ‘Umar bin Sa’ad. Ia merentang busur dan anak panah melesat tepat menembus perut bayi yang berada di tangan Al-Husayn. Alangkah terkejutnya Al-Husayn. Ia tidak mengira musuhnya akan sekejam itu. Sejenak ia terpaku, menyaksikan bayi kecil itu menggelepar-gelepar di ujung jarinya, dan darah yang suci membasahi tangan dan pakaiannya. Kita mendengar lagi jeritan Zainab dari dalam kemah. Al-Husayn perlahan-lahan meletakkan jenazah putranya di samping jenazah-jenazah syuhada lainnya. (bersambung)
KH Dr Jalaluddin Rakhmat, Dewan Pembina Yayasan Muthahhari Bandung