Segera sesudah itu, Abdullah, saudara Al-Qasim, juga berlari dari tenda. Zainab tidak dapat menahannya. Ia jauh lebih muda dari Al-Qasim. Dengan gagah dan polos, ia berdiri di samping pamannya. Abjar, dari pasukan orang Kufah, menyerbu untuk menyerang Al-Husayn. Remaja itu dengan berani meng-halanginya. Abjar menebaskan pedangnya. Abdullah berusaha menangkisnya dengan tangan kanannya. Pedang memutuskan tangan kecil itu, sehingga sebelah tangannya bergelantung, berayun-ayun karena tertahan kulit yang masih menyambungkannya dengan bahu anak itu. “Aduh Ibu...!” jerit Abdullah. Al-Husayn segera memeluknya. Abdullah akhirnya gugur dalam pelukan pamannya.
Walaupun hampir seluruh anggota keluarga-nya sudah gugur, Al-Husayn masih memberi-kan perlawanan, seperti singa yang tangguh. Tubuhnya yang penuh debu bermandikan keringat dan darah. Ketika kehausan dirasakan begitu berat, kita lihat Al-Husayn merangkak berusaha mendekati sungai Eufrat. Tapi dari jauh Umar bin Sa’ad membidikkan anak panahnya, tepat mengenai bahu kiri Al-Husayn. Zar’ah bin Syarik segera mendekatinya, mengayunkan pedang ke arah kepalanya. Al-Husayn berusaha menangkis-nya,tapi ia harus kehilangan tangan kanannya. Ketika Al-Husayn dalam keadaan luka parah, Sinan bin Anas menusuknya. Cucu Rasulullah, yang digelari penghulu para syuhada itu, akhirnya tersungkur. Syamir Zul Tawisyan Laknatullahi Alaih memenggal kepalanya yang mulia.
Hari itu, 10 Muharram 61 Hijriah, peperangan dramatis itu berakhir. Musuh yang tidak berperikemanusiaan mengakhiri perang dan mengerahkan pasukan berkuda untuk menginjak-injak tubuh Al-Husayn, kekasih Rasulullah saw. Kita mendengar Zainab meraung keras. Kita mendengar keluarga Al-Husayn menangis memenuhi Karbala dengan tangisan yang memilukan. Pandangan mata Zainab gelap, tertutup air mata yang deras mengalir.
“Duhai Muhammad, duhai Muhammad. Ya Rasulullah, mudah-mudahan malaikat di langit menurunkan rahmat bagimu. Tapi lihatlah ini, Al-Husayn, begitu terhina dan teraniaya, penuh darah dan terpotong-potong. Duhai Muhammad, putrimu kini sudah menjadi tawanan. Keluargamu yang dibantai sekarang akan tertutup debu angin Timur.”
Kita dengar Zainab terus merintih. Kita lihat Ali Zainal Abidin dan sisa-sisa keluarganya yang masih hidup dibelenggu dan diseret sebagai tawanan. Zainab belum mati. Tugasnya belum berakhir. Ia masih harus mengawal Ali Zainal Abidin, salahseorang keturunan Rasul yang akan melanjutkan kepemimpinan Ahli Bait.
Kita meninggalkan tanah Karbala dan kembali ke tempat kita saat ini. Mereka sudah menumpahkan darahnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Para cucu Rasulullah saw, para keluarga suci sudah mengorbankan kehidupannya untuk menegakkan Islam yang sejati, Islam Muhammadiy. Marilah kita bertekad sekarang ini untuk melanjutkan perjuangan mereka. Menegakkan kebenaran dan keadilan. Marilah kita bertekad berbai’at kepada Rasulullah saw dan keluarganya yang suci, untuk menegak-kan ajaran agama Islam yang ditegakkan di atas Kitabullah dan sunnah Rasulullah yang dibawa oleh keluarganya yang suci.
Marilah kita membawa sebuah tekad yang suci untuk melanjutkan perjuangan suci ini sampai akhir zaman! *** (tamat)
(Yani Euis Maryani mentranskripnya dari pembacaan narasi KH Dr Jalaluddin Rakhmat, pada peringatan 10 Muharram di Mesjid Al-Munawwarah, tahun 1997. Dimuat dalam Buletin Al-Tanwir, Nomor 114 Edisi 25 April 1998)