SAAT melakukan riset untuk penyelesaian studi doktoral di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, saya sampai pada kesimpulan bahwa kita selama ini hanya melakukan repitisi khazanah intelektual klasik yang dianggap sakral. Nyaris tidak ada pemaknaan baru dalam membaca warisan pemikiran para pendahulu kita yang sebenarnya terkait dengan konteks budaya, sosial, politik di masanya. Padahal konteks ekopolsosbud (ekonomi politik sosial budaya) jaman now berbeda dengan jaman old. |
Grand teori Ulumul Hadis klasik, 'adalah as-shahabah, yang sudah menjelma menjadi zombi yang nyaris tak ada yang berani mengganggu gugat, saya baca ulang dengan merekonstruksi ulang definisi sahabat yang sudah diterima secara taken for granted sejak zaman Ibnu Hanbal, Ibnu Mubarak, Bukhari, sampai Ibnu Hajar Al-'Asqalani di tanah Arab sana, hingga Fuad Jabali di kampus UIN Jakarta. Dalam pandangan Al-Muawiyat, definisi sahabat dengan perbagai teori ikutannya dan merasuk ke disiplin ilmu keislaman yang lain seperti kalam, ushul fikih, dan tasawuf adalah produk pemikiran yang tidak berangkat dari ruang kosong. Ada konteks sosial politik yang melatarbelakangi lahirnya teori tersebut.
Oleh karena itu, kita yang hidup di jaman now, tidak harus menerimanya begitu saja tanpa mempertanyakan kembali, menguji ulang, dan mengoreksinya. Dalam konteks inilah Al-Muawiyat hadir sebagai upaya untuk menyegarkan kembali ajaran atau paham keagamaan kita dengan merekontruksi dan mereformasi struktur ilmu hadis klasik yang menurut asumsi sebagian akademisi sudah out of date. Yang sekaligus untuk membuktikan bahwa (ajaran) Islam selalu up to date sejalan dengan prinsip shalihun likulli zamaan wa makaan. Karena seluruh komponen ilmu hadis diformulasikan oleh generasi old yang hidup pada masa tertentu dan pasti dipengaruhi oleh problem yang valid bagi konteksnya waktu itu.
Kesimpulan di atas kebetulan sejalan dengan tesis Fazlur Rahman yang menyebut bahwa Islamic studies bersifat repetitif, selalu mengulang-ulang, sarat dengan literatur yang hanya berupa komentar, syarah, penjelasan terhadap suatu karya, komentar terhadap komentar tersebut, dan sangat sedikit membuahkan pemikiran dan gagasan baru. Kalau pun ada dialog atau diskusi akademik hanya dimanfaatkan untuk mempertahankan pemikiran lama, bukan untuk mencapai gagasan atau pemaknaan baru. Metode jadal di ranah akademik dianggap sebagai jalan terbaik untuk memenangkan satu pendapat daripada untuk memunculkan pembaharuan pemikiran atau menjawab isu-isu aktual lainnnya.
Dalam ilmu hadis, kita didoktrin dengan teori klasik ilmu hadis yang telah dirumuskan oleh Al-Ramahurmuzi pada abad ketiga hijriah hingga terus diulangi lagi oleh para sarjana Islam jaman now seperti Ajaj Al-Khathib, Nuruddin Al-Itr, Musthafa Azami, Mushthafa Ya'kub, dan lainnya. Padahal ulumul hadis sama seperti ulumul Qur'an, tafsir, kalam, tasawuf dan lainnya adalah produk dari pemikiran orang-orang Islam di masanya yang dipakai untuk memahami ajaran agama yang terkait dengan konteks sosial politik dan budaya di masanya. Yang sebagian besar, menurut Arkoun, hasil karya imajinasi dan hasil konstruksi pikiran manusia yang dalam perjalanan sejarah menjadi dogmatik karena telah menjadi rutinitas, diulang-ulang dan disakralkan.
Mengapa sarjana Islam hanya menjadi pengecer dari produk masa lalu? Karena kepentingan pragmatis-ideologis dan keuntungan berada di zona nyaman sarjana Islam takut bermanuver di ranah ilmiah apalagi sampai ber-passing over. Mereka cenderung mempertahankan status quo sehingga tidak mau dan tidak mampu membedakan antara Islam normatif dengan historis. Bahwa ajaran agama ini mengandung aspek aspek normatif yang shalihun likulli zaman wa makan yang harus dipertahankan sekuat tenaga, di samping juga mengandung aspek aspek historis yang adalah produk pemikiran orang islam dalam evolusi sejarahnya yang panjang wa qabilun li an-niqash wa taghyiir. Berangkat dari realitas ini menurut saya kita harus menghindarkan diri dari menjadi tawanan prinsip masa lalu yang telah menjadi 'tuhan' hadis/baru (lawan qadim).
Dalam tradisi ilmu hadis prinsip masa lalu itu adalah teori 'adalah ash-shahabah yang menjadikan umat Islam jaman now sebagai tawanan 'tuhan' jaman old. Al-Muawiyat adalah upaya awal untuk merekonstruksi salah satu ilmu keislaman, ilmu hadis, secara lebih sistematik dan terukur dengan mengintegrasikan metodologi ilmu-ilmu sosial kedalam ilmu-ilmu keislaman. Di UIN Jakarta, seluruh mahasiswa pascasarjana dilatih untuk itu dalam mata kuliah wajib, approaches to Islamic studies. Mahasiswa dibekali dengan pandangan teoritik dalam beragam metodologi studi agama-agama sebagai piranti analitik dan akademik untuk menelaah dan menjelaskan berbagai wilayah kajian keislaman.
Bagi mayoritas umat Islam kajian model ini masih asing, bahkan dianggap bid'ah karena dapat meruntuhkan aqidah. Sedangkan bagi islamis barat cara pandang seperti inilah yang berlaku. Yaitu penerapan kaidah ilmiah, metode dan cara pandang yang lazim digunakan dalam studi agama-agama pada wilayah studi keislaman. Pertanyaannya, mengapa demikian?
Epistemologi Islamic studies
Karena perbedaan paradigma, sudut pandang. Secara filosofis bisa disebut sebagai perbedaan epistemologis. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perbedaan tersebut, dan plus minusnya bagi pengembangan studi Islam saya mencoba untuk mengurainya dengan memakai pisau analisis Abed Al-Jabiri yang dikembangkan oleh Amin Abdullah dengan teori interkonektifnya dalam membaca struktur bangunan khazanah klasik yang telah kita warisi secara turun temurun.
Sebelum itu mari kita lihat terlebih dahulu peta wilayah ilmu-ilmu keislaman yang menjadi obyek kajian kita selama ini yang terbagi dalam tiga cluster.
Pertama, cluster pemahaman dan praktik keyakinan hasil interpretasi para tokoh masyarakat yang diyakini dan diamalkan secara turun temurun tanpa klarifikasi dan kualifikasi keilmuan. Yang penting dalam wilayah ini adalah pengamalan. Tak peduli apakah amalannya berdalil atau tidak. Dan bila berdalil hadis, apakah ia sahih atau tidak. Amalan dan keyakinan tersebut telah berubah menjadi dogma yang haram diganggu gugat. Di wilayah ini tradisi, budaya, habit telah menyatu dengan dan menjadi (ajaran) agama. Bangsa kadrun, dengan beragam spesies turunannya seperti FPI, HTI, Annas, Majelis Mujahidin dan PKS termasuk penghuni cluster ini.
Kedua, cluster keilmuan, al-ma'arif al-Islamiyah hasil rancangan para ahli/ulama di bidangnya masing masing seperti ilmu hadis, tafsir, fikih, kalam, dan lainnya. Bila cluster pertama berada pada wilayah praktis, cluster kedua ini berada pada wilayah teori keilmuan baik yang dirumuskan secara deduktif dari nash yang qath'i dan yang ghairu qath'i, maupun yang diabstraksikan secara induktif dari praktik keagamaan (living tradition) yang hidup di masa kenabian, sahabat, tabiin, dan lainnya. Dan hasilnya sangat jelas pada semua wilayah Islamic studies yang kita warisi dari jaman old. Wilayah ini sebenarnya terkait dengan proses panjang sejarah umat Islam yang berkelindan dengan banyak factor: ekonomi, politik, sosial, budaya dan lainnya. Ini yang saya maksud dengan istilah Islam historis itu. Mayoritas sarjana Muslim, baik spesies kadrun maupun cebong termasuk penghuni cluster ini.
Ketiga, cluster telaah kritis, menguji ulang, melihat kembali, merekontstrusi teori atau bangunan keilmuan yang telah disusun oleh para ahli pada cluster kedua dengan mendialogkan teori atau metodologi di wilayah tertentu--seperti ilmu hadis--dengan teori dan metodologi ilmu-ilmu sosial di luar disiplin ilmu hadis seperti yang terekam dengan apik dalam karya Al-Muawiyat. Cluster ini banyak dihuni oleh arus utama Islamis Barat dan sarjana Muslim non mainstream yang seringkali mendapat tuduhan sesat, kafir, agen imperialis dari mainstream sarjana Islam penghuni cluster kedua dan pertama.
Dengan pengelompokan seperti ini kita bisa menilai diri kita termasuk penghuni cluster yang mana, apakah kadrun atau cebong. Nanti atau besok akan saya teruskan bagaimana masing-masing penghuni cluster memahami ajaran agama Islam. Sekarang mari kita rayakan kelahiran Yesus, sang juru selamat umat manusia di masanya. Haleluya. Selamat Natal. ***
To be continued…
Muhammad Babul Ulum,
doktor bidang hadis lulusan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dan pengasuh Kajian Ulum Hadis Revisionis di Lembaga Pengkajian Ilmu-ilmu Islam (LPII) Bandung
melihat_kembali_pendekatan_islamic_studies.pdf |