Saat ini saya sedang membaca ringkasan disertasi Kang Jalal—sapaan akrab Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc.—dalam bentuk buku setebal 136 halaman. Judul disertasi Kang Jalal (yang diraih di UIN Alauddin Makassar) adalah Asal-Usul Sunnah Sahabat: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri. Setahu saya, sudah lama Kang Jalal menekuni topik disertasinya ini. Dari “Daftar Pustaka” yang dicantumkan di akhir buku—ada sekitar 20 halaman—kita dapat merasakan betapa kaya dan beragam referensi yang dibaca Kang Jalal untuk keperluan penyusunan disertasinya tersebut.
Judul ringkasan disertasi yang diterbitkan dalam bentuk buku—yang baru saja terbit pada Mei 2015—menurut saya, lebih menarik dan menggigit: Misteri Wasiat Nabi. Misteri? Ya, pemilihan kata "misteri" ini dapat menjadi perdebatan panjang. Mengapa misteri? Menurut saya karena inti disertasi Kang Jalal di samping membahas tentang kemunculan sunnah sahabat, juga membahas tentang apakah Nabi Saw memberikan wasiat atau tidak sebelum wafatnya. Wasiat Nabi yang dijadikan misteri oleh Kang Jalal, tentu saja, bukan wasiat yang sepele danremeh-temeh. Wasiat tersebut berkaitan dengan hal sangat penting: siapa pemimpinan umat sepeninggal Nabi?
Dari misteri wasiat Nabi—yang di buku yang sedang saya baca ini pembahasannya diletakkan di bab-bab akhir—Kang Jalal kemudian meninjau secara ekstensif tentang sunnah sahabat. “... saya membatasi disertasi ini hanya pada perkembangan Sunnah Sahabat, dan lebih khusus lagi pada asal-usul--the origins of—Sunnah Sahabat,”tuis Kang Jalal. Bagi saya, sebagai penikmat buku, bukan soal substansi sunnah sahabat yang saya tekankan. Sungguh, saya lebih menekankan pada pembahasan sejarah Islam yang disampaikan dan ditafsirkan secara sangat kaya, luar biasa, dan mengagumkan!
Baru kali ini saya dapat menikmati buku tentang sejarah Islam yang tidak membosankan, tidak kering, dan (maaf) menegangkan (membuat penasaran diri saya). Lewat kemampuan Kang Jalal dalam membaca literatur sejarah dalam berbagai bahasa—selain literatur berbahasa Inggis dan Arab, dalam buku ini saya temukan juga literatur (atau kutipan-kutipan) berbahasa, antara lain, Jerman, Italia, dan Perancis—dan kemampuan Kang Jalal dalam menyampaikan analisis yang sangat jernih dan tertata, disertasi Kang Jalal begitu indah dalam menyajikan sejarah Islam yang terentang panjang belasan abad (sejak Nabi Saw yang mulia wafat).
Ketika saya sedang tenggelam dalam masa lalu yang penuh warna, tiba-tiba saya bertemu dengan James G. Crossley dan Christian Karner yang menulis buku Writing History: Constructing Religion. Saya terpaksa harus berhenti membaca dan merenungkan hal menarik yang ditulis Kang Jalal tentang sejarah berpijak pada buku (pandangan) Crossley dan Karner. Apa yang ditulis Kang Jalal memaksa saya untuk berhenti sejenak. Saya harus mengikat makna (menuliskan atau merumuskan hal-hal penting dan berharga yang saya peroleh dari membaca—kalau tak saya “ikat”, yang saya baca [temukan] itu bisa terbuang sia-sia):
"Salah satu landasan rekonstruksi keyakinan agama adalah sejarah. Setiap agama dibangun dari dan membangun sejarahnya. Ketika orang menulis lagi sejarah, ia membangun kembali agama. Dalam setiap penulisan kembali sejarah selalu terkandung unsur moral," demikian hal penting dan berharga yang ditulis oleh Kang Jalal.
Memahami Invasi Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht
“Saya harus menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada pimpinan UIN Alauddin Makassar yang memberikan kehormatan kepada "orang yang menginvasi disiplin Islam dari disiplin 'sekular'."
Ucapan terima kasih Kang Jalal untuk beberapa tokoh yang disampaikan di "Kata Pengantar" buku Misteri Wasiat Nabi ada yang unik. Di awal ucapan terima kasih tersebut, saya menemukan kata-kata sebagaimana saya kutip untuk mengawali tulisan ini. Saya menemukannya di halaman 7. Apakah "orang yang menginvasi disiplin Islam dari disiplin 'sekular'" adalah Kang Jalal sendiri?
Saya tentu harus berhati-hati dalam mencari tahu siapa orang “yang menginvasi” itu dan memaknai kata-kata itu. Namun, ketika saya membaca "Bab II Metodologi"—yang tidak mudah bagi saya untuk memahaminya—keyakinan saya bahwa orang yang "menginvasi" adalah Kang Jalal perlahan-lahan seperti mendapatkan pembenaran.
"Menurut Jonathan A.C. Brown—yang saya jadikan rujukan utama pada bagian ini—prinsip pertama dengan asumsi a priori meragukan otentisitas hadis bertentangan dengan penelitian hadis di kalangan kaum Muslim,"tulis Kang Jalal di halaman 27 (halaman ketiga di Bab II).
Buku Brown yang dijadikan rujukan utama oleh Kang Jalal adalah Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World. Mungkin saja Brown termasuk kelompok yang disebut "sekular". Selain Brown, ada dua nama terkenal dan populer di kalangan para peneliti hadis: Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. Mungkin dua tokoh ini juga dapat dimasukkan ke dalam kelompok "sekular" yang bisa disebut "menginvasi" disiplin Islam.
Saya baru benar-benar memahami peran dan keahlian Goldziher-Schacht lewat buku Misteri Wasiat Nabi ini. Kang Jalal begitu rancak dan gamblang dalam menjelaskannya. "Goldziher mewakili sarjana Barat yang mencoba menerapkan metode sejarah untuk menguji otentisitas hadis. Ia memperluas kritik hadis dari sekadar kritik isnad kepada kritik matan. Jika matan suatu hadis mengandung absurditas historis atau logis, hadis itu harus ditolak," tulis Kang Jalal di halaman 25. Buku Goldziher yang digunakan Kang Jalal berjudul Muslim Studies (Muhammedanische Studien). Dan, ingin saya tegaskan di sini bahwa saya—sebagai penikmat buku—hanya ingin membaca (menikmati) saja materi ini tanpa ada keinginan untuk masuk lebih dalam dan menguasainya.
Saya sesungguhnya agak kerepotan mengikuti penjelasan Kang Jalal soal "metode kritik hadis di Barat" yang dipaparkan di Bab II ini. Hanya rasa penasaran dan keingintahuan saya mendorong saya untuk terus membaca (menikmati) dan sedikit-sedikit berusaha mencoba memahaminya—tentu semua itu gara-gara soal "invasi" yang disebut-sebut Kang Jalal di ucapan terimakasihnya. "Serangan terhadap isnad hadis diguncangkan lagi lebih telak oleh Joseph Schacht," tulis Kang Jalal di halaman 28.
Dalam menunjukkan mazhab Goldziher-Schacht dan mazhab yang berlawanan dengannya, Kang Jalal menggunakan buku Herbert Berg yang berjudul The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period. Di sisi yang berseberangan dengan Goldziher-Schacht (yang disebut sebagai "mazhab pertama" dan dalam hal skeptisisme didukung oleh Cook dan Adler) terdapat "mazhab kedua" yang dipelopori oleh Abbot, Sezgin, dan Azami serta mendapat dukungan Motzki, Horovitz, dan Fuck.
Mohon maaf, saya tidak dapat mendetailkan nama-nama di kedua mazhab dalam konteks studi kritik hadis versi Barat dan juga buku-buku mereka yang dirujuk sekaligus dipahami Kang Jalal karena saya memang tidak bermaksud untuk masuk terlalu dalam. Dan, akhirnya, saya hanya ingin menutup hal-ihwal berkaitan dengan "invasi" ini—yang memesona pikiran saya—lewat kata-kata menarik Kang Jalal berikut ini:
"Dalam penelitian ini, saya mengambil tradition-critical approach, dengan sedikit sentuhan skeptical approach. Salah satu di antara warisan 'ulum al-hadits ialah menilai otentisitas dan reliabilitas hadis dengan menggunakan ilmu al-jarh wa al-ta'dil. Apabila para peneliti Barat kebanyakan menaruh perhatian pada kajianisnad, sedikit pada kajian matan, para peneliti hadis Muslim hampir tidak memperhatikan kajian matan(sebagai petunjuk akan otentisitas hadis) dan umumnya memusatkan perhatian mereka pada kajian asma al-rijal."
Konsep 'Adalat Al-Shahabat dan Kemusykilannya
Di antara orang-orang Arab Badui yang (tinggal) di sekelilingmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik). Mereka telah terbiasa dalam kemunafikan. Engkau (Nabi Muhammad Saw) tidak mengetahui (siapa) mereka, tetapi Kami mengetahui mereka. Kelak mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar (QS Al-Taubah [9]: 101).
Di tengah tumpukan literatur berbahasa asing yang sangat banyak dan beragam, tersembul (setidaknya) tiga literatur karya penulis Indonesia yang digunakan oleh Kang Jalal untuk memperkuat “Tinjauan Pustaka” disertasinya. “Tinjauan Pustaka” untuk penyusunan disertasinya tersebut dibagi menjadi dua bagian: (1) kajian apolegtis tentang Sahabat dan (2) kajian kritis terhadap Sahabat.
Menurut Kang Jalal, dalam konteks yang pertama, penulisan sejarah para sahabat pada awalnya ditandai dengan kesetiaan para ahli hadis dan muarikh akan konsep ‘adalat al-shahabat (semua sahabat adalah 'udul, yaitu tidak pernah berbohong dan semacamnya). Dalam konteks yang kedua, perlahan-lahan kesetiaan terhadap konsep ‘adalat al-shabat mulai berguncang. “Jangan dulu melihat sejarah, mulailah dari pembacaan Al-Quran,” tulis Kang Jalal untuk mencermati dan membuktikan keberguncangan itu.
Tiga buku karya penulis Indonesia yang digunakan Kang Jalal, pertama, adalah buku karya Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana (2010). Dalam buku ini, Kang Jalal malah sempat menuliskan tinjauan pustaka berkenaan dengan penelitian Fu’ad Jabali dalam judul “Shahabat Nabi: Kemusykilan Sejarah”. Dalam tulisan itu, Kang Jalal ingin mendudukkan definisi sahabat dan keterkaitannya dengan konsep ‘adalat al-shahabat.
Kedua, buku karya Muhammad Zain, Dekonstruksi Sakralitas Shahabat. Menurut pembacaan saya, buku karya Muhammad Zain ini merupakan disertasi doktor di UIN Sunan Kalijaga pada 27 Juli 2007 yang lulus dengan predikat cum laude. Muhammad Zain meneliti motif-motif sekular di balik hadis yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat. “Ada kepentingan pribadi di balik fatwa beberapa sahabat,” tulisnya terkait dengan penelitiannya itu.
Ketiga, buku karya Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (2009). Dalam buku ini, Kamaruddin Amin mempertanyakan “apakah doktrin ‘adalah merupakan dogma atau sebuah fakta sejarah”?
“Dengan latar belakang studi kepustakaan di atas, dan mengingat masalah-masalah yang dirumuskan pada pendahuluan, penelitian ini bertujuan untuk…,” tulis Kang Jalal di halaman 23.
Ada empat tujuan yang ingin dicapai oleh Kang Jalal. Salah satu dari keempat tujuan tersebut adalah “menunjukkan perlakuan para ulama pada Sunnah Shahabat: meletakkannya sejajar, berlawanan, atau menggantikan Sunnah Nabawiyah.”
Inikah Bentuk Kecanggihan Metode Penelitian Kang Jalal?
Charles Sanders Peirce (CSP), pendiri filsafat pragmatisme Amerika (yang ia sebut pragmatisisme), adalah juga ahli logika, bahasa, komunikasi, dan semiotik. Ia menulis berbagai topik sejak matematika dan logika hingga psikologi, antropologi, sejarah, dan ekonomi. Dalam logika, penemuan utamanya adalah metode abduktif, yang sekarang diterapkan dalam berbagai ilmu alamiah dan artificial intelligence.
Saya menemukan nama CSP, sang penemu metode abduktif, di halaman 38 buku Misteri Wasiat Nabi. Kata-kata yang mengawali tulisan ini muncul di catatan kaki nomor 32. Terus terang tak mudah saya memahami metode abduktif (dalam penelitian historis) yang dipakai Kang Jalal untuk menyusun disertasinya. Di samping metode abduktif, saya juga menemukan di halaman 8, Kang Jalal menggunakan sebuah prinsip dalam mengutip yang disebut akhadztu ma rawa wa taraktu ma ra’a (saya menerima data sejarahnya tapi saya bisa berbeda pendapat dalam analisisnya) serta di halaman 30-38 terdapat pembahasan tentang kritik terhadap metode al-jarh wa al-ta’dil.
Tak berhenti dengan prinsip dan metode abduktif serta metode al-jarh wa al-ta’dil, Kang Jalal masih bercerita tentang adanya empat pendekatan historiografi Islam. Keempat pendekatan itu adalah (1) descriptive approach (menerima gambaran tradisional tentang masa awal Islam seperti yang dipresentasikan oleh sumber-sumber Muslim), (2) source critical approach (pendekatan ini dimunculkan dengan maksud untuk meluruskan pendekatan pertama di mana absurditas logis dan kontradiksi-kontradiksi dijelaskan dengan menghimpun semua sumber dan membandingkannya secara kritis), (3) tradition-critical approach (menengok hadis tetapi dengan pandangan yang sangat kritis), dan (4) skeptical approach (menolak semua sumber sejarah dan mencarinya di tempat lain).
Setelah becerita tentang keempat pendekatan historiografi Islam, Kang Jalal menunjukkan pendekatan yang dipilihnya: “Dalam penelitian ini, saya mengambil tradition-critical approach dengan sedikit sentuhan skeptical approach.” Seperti kita ketahui judul disertasi Kang Jalal adalah Asal-Usul Sunnah Sahabat: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri. Ketika membaca “Daftar Pustaka”, saya menemukan banyak sekali buku yang membahas tentang sejarah (atau metode penelitian sejarah). Di bawah subjudul “Metode Abduktif dalam Penelitian Historis” sendiri misalnya, ada buku karya Murray G. Murphey, Truth and History (2009). Saya menduga, Murray inilah yang mengantarkan Kang Jalal untuk berjumpa dengan CSP. Murray juga menulis buku The Development of Peirce's Philosophy (1993).
Sekali lagi, tak berhenti pada CSP, Kang Jalal juga mencantumkan buku-buku yang membahas tentang pemikiran Michel Foucault dan karya Michel Foucault sendiri di “Daftar Pustaka”. Siapa Foucault? Dari Wikipedia, saya menemukan ini: Paul-Michel Foucault (lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926 dan meninggal di Paris, 25 Juni 1984) adalah seorang filsuf Perancis, sejarawan ide, penggagas teori sosial, ahli bahasa, dan kritikus sastra. Teori-teorinya membahas hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, dan bagaimana mereka digunakan untuk membentuk kontrol sosial melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, terutama penjara dan rumah sakit. Meskipun sering disebut sebagai pemikir post-strukturalis dan posmodernis, Foucault menolak label-label ini dan lebih memilih untuk menyajikan pemikirannya sebagai sejarah kritis modernitas. Pemikirannya sangat berpengaruh di kedua kelompok--baik akademisi maupun aktivis.
Lantas, apa yang ditemukan Kang Jalal lewat penyusunan disertasinya? “Secara singkat, peneliti historiografis bergerak dari pengamatan (sejumlah data awal). Ia berusaha menjelaskan pengamatannya untuk mengasumsikan kemungkinan sebab dari efek yang diamati. Ia mengumpulkan bukti-bukti dan menyesuaikan awal dengan peristiwa yang terjadi berikutnya. Dengan hipotesis itu, ia menyeleksi mana yang disebut fakta dan di mana fakta itu bisa ditemukan. Fakta itu nanti dijadikan bukti untuk menyusun ‘teori’ (beserta ‘teori-teori’ alternatif). Pada akhirnya, teori-teori itu diuji dengan data-data yang ditemukan dalam penelitian,” tulis Kang Jalal dalam mengakhiri Bab II Metodologi.
Buku yang Gurih sekaligus Bergizi?
“Dalam studi ini sudah terbukti ada tahrif (pemotongan atau penambahan) dalam teks-teks hadis dan sejarah. Studi tentang tahrif dalam kitab-kitab hadis bisa dimulai dari kitab-kitab hadis yang dipandang paling otentik—seperti Al-Bukhari, Muslim hingga ke kitab-kitab hadis di luar Kutub al-Sittah seperti Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi, Al-Thabrani, dan Al-Hakim.”
Itulah salah satu rekomendasi Kang Jalal untuk para peneliti yang ingin melanjutkan penelitiannya yang telah membuahkan disertasi berjudul Asal-Usul Sunnah Sahabat. Dalam daftar rekomendasi Kang Jalal, ada sebelas rekomendasi lagi yang ditujukan untuk para peneliti di bidang studi-studi Islam. Dua di antara rekomendasi yang, menurut saya menarik, adalah terkait dengan (1) penggunaan abductive methods untuk menguji peristiwa-peristiwa sejarah yang kontroversial (misalnya permusyawaratan di Saqifah Bani Sa’idah, perang Riddah, jatuhnya kekuasaan Islam baik di Baghdad maupun Andalusia) dan (2) pembentukan isnad dalam hadis-hadis mauquf yang di-marfu’-kan.
Di samping rekomendasi, Kang Jalal juga mendaftar lima kesimpulan. Dua di antara kesimpulan tersebut menyingggung misteri wasiat Nabi Saw: (1) terkait dengan pandangan tentang ada tidaknya wasiat telah memisahkan bukan saja kelompok sahabat Nabi, tetapi juga umat Islam pasca wafatnya Nabi, dan (2) disertasi Kang Jalal membuktikan bahwa wasiat itu ada—pembuktian itu disandarkan atas bukan hanya dengan penelitian terhadap pespektif Al-Quran (berkaitan dengan pewarisan kepemimpinan kepada keluarga), tetapi juga dengan kajian hadis, filologis, dan peristiwa-peristiwa bersejarah tentang upaya hegemoni kekuasaan untuk menghilangkan wacana tentang wasiat.
Setelah saya membaca buku ringkasan disertasi Kang Jalal ini, apa yang saya dapat? Pertama, sebagai seorang penikmat buku, saya teringat kata-kata S.I. Hayakawa yang sering saya kutip dalam tulisan-tulisan saya tentang manfaat bagi orang yang memiliki kemampuan dan (tentu saja) kemauan untuk membaca buku. Kata Hayakawa, “Dalam makna yang sungguh-sungguh, sebenarnya orang yang membaca kepustakaan yang baik telah hidup lebih daripada orang-orang yang tak mau dan tak mampu membaca… Adalah tak benar bahwa kita hanya punya satu kehidupan yang kita jalani. Jika kita mampu membaca, kita dapat menjalani berapa pun banyak dan jenis kehidupan seperti yang kita inginkan.”
Buku Misteri Wasiat Nabi telah membawa saya ke masa yang sangat jauh dan sangat panjang—terentang belasan abad dari kehidupan saya saat ini. Mungkin sudah ada ratusan ribu buku—atau mungkin bahkan jutaan buku—yang merekam sejarah yang sangat jauh dan sangat panjang itu. Saya beruntung--ini keberuntungan pertama saya—dapat membaca (memahami) sejarah Islam (tentu tidak semuanya) yang sangat jauh dan sangat panjang itu dalam buku yang hanya terdiri atas 136 halaman. Lewat sejarah Islam yang mungkin tidak terlalu luas namun penting ini, saya mencoba membangun-kembali fondasi keberagamaan saya. Ya—merujuk ke James G. Croosley dan Christian Karner--writing (reading he he he..) history is constructing religion.
Kedua, bahasa buku Misteri Wasiat Nabi sungguh gurih dan bergizi tinggi. Biasanya, gurih dan bergizi tinggi itu mustahil terkandung dalam satu jenis makanan. Makanan yang bergizi tinggi kadang-kadang rasanya tidak enak dan makanan yang enak kadang-kadang tidak bergizi alias tidak menyehatkan tubuh. Namun, buku Misteri Wasiat Nabi—saya memang mempersepsi buku sebagai “makanan”, hanya ia merupakan “makanan ruhani”—benar-benar mengandung dua unsur itu: gurih dan bergizi tinggi.
Rasa gurih saya termukan dalam berbagai terjemahan hadis yang dikutip Kang Jalal dengan begitu fasih, enak dibaca, dan mudah dicerna. Ketika membaca buku-buku Islam yang lain, kadang-kadang terjemahan—khususnya buku yang membahas hadis Nabi Saw—tak jarang membingungkan dan, maaf, tidak mudah saya maknai. Dalam buku Kang Jalal, hadis-hadis—yang mengandung muatan yang pada dasarnya rumit dan sulit ditangkap maknanya—begitu jernih dialihbahasakan (disampaikan) dan begitu mudah diikuti oleh nalar saya yang awam. Itu masih ditambah dengan gaya bertutur (bercerita) atau “mengalir” yang khas Kang Jalal.
Buku Kang Jalal saya sebut bergizi khususnya terkait dengan tujuan puncak membaca: reading comprehension. Membaca akan terasa sia-sia apabila usai membaca kita tidak mampu memahami apa yang kita baca. Apalagi jika pikiran kita kemudian dibuat gelap alias tidak tercerahkan. Ini dapat dibuktikan dengan cara kita menyampaikan kembali hasil pembacaan kita. Apabila kita gagap atau bahkan kesulitan dalam menyampaikan kembali apa yang kita peroleh dari membaca, itu berarti kemungkinan besar kita belum memahami buku yang kita baca. Ada kalanya juga ketika kita membaca sebuah buku kita malah “disiksa” oleh bahasa tulis buku tersebut—ujung-ujungnya, selama membaca, kita merasa kesal dan frustrasi. Bagi saya, membaca menjadi sangat menyenangkan apabila kegiatan penting tersebut kemudian mampu mengantarkan saya ke ranah pencerahan (pemahaman yang meyakinkan).
Misteri Wasiat Nabi merupakan ringkasan disertasi. Kita tahu bahwa disertasi adalah sebuah karya ilmiah yang memiliki bahasa yang kering (bahasa tulisnya membosankan dan kaku). Saya beruntung--ini keberuntungan kedua saya—dapat menikmati disertasi yang telah diolah dan disajikan secara mudah-dibaca. Memang, dalam Misteri Wasiat Nabi masih terdapat catatan kaki yang panjang dan rujukan-rujukan buku yang melelahkan mata. Namun, sekali lagi, karena bahasa tulis yang digunakan Kang Jalal begitu “mengalir”, enak dikunyah, dan tertata, serta tidak kaku dan tidak kering, saya pun seakan-akan berhadapan dengan buku fiksi yang tidak ilmiah.
Cerita, kisah, atau dongeng secara ilmiah disebut narrative. Manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita cenderung menerima cerita dan menyampaikannya dalam bentuk cerita pula. Tanpa cerita, hidup kita akan carut-marut. Dengan cerita, kita mampu menyusun dan menghimpun pernak-pernik kehidupan yang berserakan. Narrative, seperti pernah diucapkan oleh Dilthey (seorang filsuf Jerman), adalah pengorganisasian hidup (Zusammenhang des Lebens)—ini kata-kata Kang Jalal yang saya kutip dari Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar” untuk buku Karen Armstrong, Muhammad: Prophet for Our Time, Mizan, 2007).
Terima kasih Kang Jalal. Alhamdulillah.[]