
Para filsuf sendiri berbeda pendapat dalam mendefinisikan kebahagiaan. Menurut Aristoteles, manusia mampu melihat kebahagiaan jauh di atas kesenangan-kesenangan fisik. Sebagian filosof lain, misalnya kaum Hedonis dan Utilitarian, menetapkan kebahagiaan sebagai landasan moral. Baik buruknya suatu tindakan diukur sejauh mana tindakan itu membawa orang pada kebahagiaan (lebih tepatnya kesenangan). Ada pula filosof yang mengatakan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak berkaitan sama sekali dengan kebahagiaan, karena boleh jadi ada tindakan yang membuat pelakunya bahagia, tetapi tidak bermoral, misalnya korupsi. Menurut kelompok ini, perbuatan baik adalah tuntutan etis untuk menjalankan kewajiban, walaupun membuat pelakunya menderita.
Para filsuf Muslim sendiri membedakan adanya tiga tingkatan kebahagiaan, yaitu: Pertama, kebahagiaan yang bersifat badani. Kedua, yang lebih tinggi dan lebih memuaskan, adalah kebahagiaan yang lebih bersifat intelektual, yakni penguasaan ilmu pengetahuan. Ketiga, yang merupakan kebahagiaan puncak (hakiki), adalah kebahagiaan yang bersifat spiritual. Kebahagiaan jenis ini sering disebut pula kebahagiaan yang bersifat Ilahi, sebagaimana dipromosikan kaum Sufi. Sebagian filsuf menyebut kebahagiaan puncak ini dengan peraihan cinta Ilahi. Akan tetapi hal ini bukan kemudian dipahami bahwa tingkat kebahagiaan yang satu menegasikan pentingnya kebahagiaan yang lain. Di samping tingkatan kebahagiaan di atas, dikenal pula beberapa kategori kebahagiaan yang meliputi: kebahagiaan yang bersifat jangka pendek-panjang, peripheral-ultimate, dunia-akihirat, jasmani-ruhani, hakiki-tidak hakiki, dan sebagainya.
Tujuan hidup manusia sesungguhnya bisa disederhanakan pada kata bahagia. Hakikat bahagia sendiri ternyata tidak mudah dirumuskan. Aspek materi seringkali menjadi tolok ukur kebahagiaan seseorang. Ada yang memahami bahagia sebagai memiliki harta berlimpah. Tetapi ketika banyak harta telah diperoleh, ternyata tidak pernah merasakan kepuasan. Ia selalu saja merasa kurang. Harta ternyata ibarat air laut yang tidak bisa menghilangkan dahaga. Maka kita acapkali mendengar, orang yang kaya raya tetapi hidupnya tidak bahagia. Hal ini yang menyebabkan masyarakat saat ini mengalami “dysthymia”, yaitu perasaan sedih yang kronis dan kehilangan energi kehidupan, di tengah kesuksesan yang tampak bahagia.
Kebahagiaan bukan hanya ketenteraman dan kenyamanan saja. Kenyamanan atau kesenangan satu saat saja tidak melahirkan kebahagiaan. Mencapai keinginan saja tidak dengan sendirinya memberikan kebahagiaan. Kesenangan dalam mencapai keinginan biasanya bersifat sementara. Satu syarat penting harus ditambahkan, yaitu kelestarian atau menetapnya perasaan itu dalam diri kita. Salah satu tokoh yang pernah membahas kebahagiaan adalah Jalaluddin Rakhmat, atau biasa disapa Kang Jalal.
Buku karya Jaluddin Rakhmat, “Meraih Kebahagiaan” ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa bahagia adalah pilihan! kita mungkin akan balik bertanya, apakah kita menderita? Siapa sih di dunia ini yang sengaja memilih untuk menderita? Ketika musibah datang beruntun, kita menambah penderitaan itu dengan mencari siapa yang dapat dipersalahkan. Kalau tidak ada, kita menyalahkan diri sendiri. Bahkan, umat beragama seringkali menyalahkan Tuhan atas kehadiran musibah. Musibah dan keberuntungan bisa datang dari dan untuk siapa saja, tapi kebahagiaan dan penderitaan? Mereka datang dari diri sendiri.
Dalam buku ini banyak para filsuf yang mengungkap tentang apa itu kebahagiaan. Karena banyak yang berangkat dari latar belakang filsafat dan psikolog maka mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikan kebahagiaan. Kang Jalal mengungkapkan bahwa kebahagiaan hidup seseorang dapat dinilai secara objektif (objective happiness) dan subjektif (subjective happiness). Secara objektif, kebahagiaan seseorang dapat diukur dengan menggunakan standar yang merujuk pada aturan agama atau pembuktian tertentu. Kang Jalal, mencontohkan, misalnya ada seseorang bernama Fulan. Ia menghabiskan waktu mudanya untuk berfoya-foya, termasuk dengan melakukan segala tindakan dosa. Ia tidak pernah mengalami sakit. Ia mengaku sangat bahagia. Benarkah ia bahagia? Menurut ukuran agama, ia dianggap tidak bahagia, karena pada hari akhirat kelak, jika ia tidak segera bertaubat, akan masuk neraka.
Dalam bahasa tasawuf, si fulan ini dikatakan sedang mengalami apa yang disebut dengan istidraj. Artinya ia sedang diberi ujian oleh Allah dengan nikmat (kesenangan) untuk melihat apakah ia sadar atau tidak dengan nikmat yang didapatkannya. Menurut ukuran (pembuktian) rasional, ia juga tidak bahagia, karena lama-kelamaan ia pasti akan kehilangan harta, kesehatan, dan kesenangannya. Secara subjektif, kita dapat mengukur kebahagiaan seseorang dengan bertanya kepadanya dengan singkat apakah ia bahagia atau tidak. Demikian pula dengan konsep makna hidup.
Dalam buku ini Kang Jalal mengartikan kebahagiaan sebagai keinginan manusia yang terakhir. Kebaikan dan nilai lainnya dikejar demi meraih kebahagiaan. Kebahagiaan dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu sebagai episode dan sikap. Aspek-aspek kebahagiaan terdiri dari kognitif (pikiran) dan afektif (perasaan). Cara mencapai kebahagiaan menurut Kang Jalal adalah dengan beriman dan beramal sholeh (berbuat baik), membahagiakan diri sendiri, bersyukur dan memaafkan, serta mengubah sudut pandang tentangnya. Ya. Mengubah sudut pandang.
Kang Jalal dalam buku ini mengatakan bahwa kebahagiaan itu merupakan sebuah sudut pandang. Kang Jalal memberikan contoh, sebuah gigi yang sakit lebih diperhatikan daripada sekian gigi yang sehat. Satu bagian tubuh yang sakit akan lebih menyita perhatian daripada anggota-anggota badan yang tak sakit. Padahal, menurut Kang Jalal, jika kita mengubah sudut pandang, justru kita akan bersyukur dan menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan itu tidak bisa selamanya menetap diri. Suatu ketika pasti ada kesedihan. Kebahagiaan ada karena adanya kesedihan. Sedih itu manusiawi, tetapi jangan larut di dalamnya. Mari kita ubah sudut pandang dengan lebih memerhatikan berbagai hal yang positif daripada konsentrasi pada hal negatif. Jika ini kita lakukan, kebahagiaan akan hadir dalam hidup kita.
Buku setebal 203 halaman ini memaparkan tentang filosofidan sains kebahagiaan. Buku ini membahas kebahagiaan melalui sudut pandang agama, filsafat, ilmu pengetahuan, serta makna yang sebenarnya tentang kebahagiaan. Melalui buku ini, kita disadarkan bahwa kebahagiaan bukan datang dari keberuntungan melainkan dari dalam diri sendiri. Kebahagian ataupun penderitaan adalah pilihan yang kita tentukan. Kebahagiaan bukan terletak pada pemilikan uang semata, tetapi terletak pada kegembiraan pencapaian, karena kebahagiaan adalah kewajiban moral dan juga agama. Kita wajib memilih bahagia berdasarkan perintah Tuhan. Berusaha hidup bahagia adalah mengemban misi mulia agama, apapun namanya. Kita akan bahagia jika dalam pandangan kita tidak ada bedanya antara hidup dan mati, penjara dan istana, miskin dan kaya, racun dan madu. Para psikolog menunjukkan bahwa dalam keadaan bahagia orang-orang juga lebih penyayang, lebih senang membantu, lebih dermawan.
Buku ini juga dapat membantu kita masuk lebih dalam untuk mengenal dan kemudian menggali potensi-potensi yang ada dalam diri kita sendiri. Sudah saatnya kita berupaya mengintegrasikan pola pendekatan pengembangan diri yang datang dari Barat dengan paradigm Islami yang merujuk pada sumber dan tradisi Nabi dan kaum Sufi yang telah terbukti berhasil dalam membentuk pribadi yang dapat meraih kesuksesan, kebahagiaan, dan kebermaknaan hidup.
Buku ini sungguh berkarakter. Tidak mudah untuk membuat judul buku yang mampu menunjukkan karakter sebuah pemikiran. Dalam buku ini, Kang Jalal membahas makna kebahagiaan lewat sudut pandang yang sangat unik dan kaya. Kang Jalal menunjukkan bahwa hanya rasa bahagia yang ada di dalam diri seseoranglah yang akan mengantarkan orang tersebut menjadi orang yang baik. “Ketika Anda bahagia, Anda membangun sumber daya intelektual dengan berpikir lebih kreatif, toleran dengan perbedaan, terbuka pada ide-ide baru, dan belajar lebih efektif,” tulis Kang Jalal. Menurut Kang Jalal lebih jauh, kebahagiaan juga membuka dan membangun sumber daya sosial. Ketika kita bahagia, kita akan tertarik untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar kita.
Melalui buku ini, Kang Jalal, ingin membuktikan bahwa baik penderitaan maupun kebahagiaan, kedua-duanya adalah pilihan kita. Melalui kajian agama, filsafat dan ilmu pengetahuan, serta makna yang hakiki tentang kebahagiaan, kita dapat memilih cara untuk meraih kebahagiaan yang kita inginkan. Buku ini adalah lentera perjalanan menuju kebahagiaan dengan menunjukkah jebakan-jebakan kebahagiaan: sukses, kekayaan, dan kesenangan.
Orang yang dikuasai jiwa-jiwa rendah, bukan saja kapasitas moral-spiritualnya terkebiri, kebahagiaan yang dipikir akan dia peroleh dengan mengumbar nafsu, justru akan makin jauh darinya. Karena sesungguhnya, kebahagiaan terletak dalam ketenangan jiwa, bukan pada benda-benda, kekuasaan atau popularitas di luarnya yang menjadi barang buruan jiwa angkara murkanya. Karena hidup adalah sebuah ziarah atau perjalanan, menurut Kang Jalal, mari kita rayakan bersama agar terasa mengasyikkan, damai dan jangan lupa mewariskan tanaman kebajikan untuk kita panen, baik di hari tua maupun setelah mati.
Martin Seligman—Bapak Psikologi Positif—dalam konsep Autenthic Happiness mengatakan bahwa emosi positif seseorang terkait dengan hal-hal yang membahagiakan dapat dibagi kedalam tiga kelompok besar, yaitu: emosi positif terhadap masa lalu, emosi positif terhadap masa kini, dan emosi positif terhadap masa depan. Untuk masa lalu, emosi positif tersebut adalah kepuasan hidup (satisfaction), sedangkan untuk masa depan, emosi positif tersebut adalah optimis. Selain itu, untuk masa kini emosi positif dikenal dengan konsep kebahagian.
Catatan-catatan ringan yang diuraikan Kang Jalal secara psikologis dalam buku ini hadir dengan sangat cair dan renyah, sehingga memudahkan kita memahami seluk-beluk kebahagiaan yang begitu rumit kita pahami dengan sangat mudah dan nyaman kita jelajahi. Kang Jalal tidak menjustifikasi kebahagiaan dengan status hukum halal dan haram, melainkan dengan pendekatan psikologi yang memungkinkan kita bisa hadir dalam berbagai percakapan dan kisah para guru bijak. Buku ini sangat mudah dibaca karena penulis mengungkapkan dengan sebuah cerita-cerita yang menarik dan sering dialami oleh kehidupan manusia agar pembaca bisa meraih kebahagian yang benar-benar kebahagiaan.
Buku ini tidak menggurui kita untuk menemukan kebahagiaan kita, tetapi menjadi teman berbincang dan bercakap yang asyik untuk membuka mata batin hati kita dalam menerangi jejak hidup ini. Sebagai seorang penulis, Kang Jalal senantiasa berusaha untuk memberikan alternatif dan mengajak para pembacanya untuk memilih sendiri—sesuai kemampuan yang dimiliki—setelah memamahami dan menimbang sudut pandang yang diberikannya. Buku ini ditulisnya penuh dengan sumber bacaan. Kang Jalal memang menekuni ilmu komunikasi dan psikologi tetapi dia juga menguasai ilmu-ilmu Islam secara komprehensif.
Saya akan review juga segera buku jenis ini yang diolah dengan argumen-argumen Islam, yaitu “Tafsir Kebahagiaan: Pesan-pesan Al-Quran Menyikapi Kesulitan Hidup” (2010). ***
Sumber https://www.facebook.com/groups/Islamilmiahindonesia/permalink/3195934133842387/