Di tengah gejolak dunia modern saat ini, kebahagiaan hadir dengan bentuk dan wajah yang beragam. Ada orang-orang yang menganggap kesuksesan dalam berkarir sebagai suatu kebahagiaan, ada yang menganggap kebahagiaan ialah kesuksesan dalam studi, adalah sebuah kebahagiaan bila memiliki harta yang banyak, menjadi sebuah kebahagiaan bila memiliki keluarga yang harmonis, bahkan ada yang menyatakan sebagai suatu kebahagiaan bila dapat melewati hari-hari tanpa masalah. Aneka warna konsep kebahagian yang ingin dicapai oleh masing-masing orang sangat subyektif yang besar kemungkinan itu semua dilatarbelakangi oleh kondisi seseorang menyangkut latar sosial, budaya, agama, suasana hati dan jiwa, dan yang tak kalah penting juga adalah pendidikannya.
Namun, tidak sedikit mereka yang bergelimangan harta dan jabatan justru kehilangan makna kebahagiaan yang sedang dicari. Ternyata harta dan jabatan bukanlah sumber kebahagiaan, tetapi kerap kali menjadi sumber malapetaka yang menumpahkan darah dan nyawa. Sejarah umat manusia telah mengabarkan kepada khalayak kita bahwa prestise sosial yang begitu dibanggakan manusia dengan harta dan jabatannnya seringkali berakhir dengan berbagai tragedi mengenaskan. Kuasa harta dan jabatan membungkan nurani kemanusiaan, sehingga kebahagiaan yang ingin dicapai justru sirna.
Istilah bahagia atau kebahagiaan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh semua manusia karena merupakan tujuan hidupnya. Bagi para filsuf Barat khususnya para filsuf zaman klasik seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Epikuros berpandangan bahwa kebahagiaan merupakan suatu tingkat pencapaian tertinggi seseorang. Semua ilmu yang dikembangkan oleh para Filsuf pada akhirnya bertujuan untuk mencapai kebahagiaan jiwa (eudaimonia). Kebahagian dapat dicapai dengan perbuatan yang baik, hati yang tenang, dan tubuh yang sehat.
Sementara dalam pandangan al-Qur’an, paling tidak ada enam cara untuk memperoleh kebahagiaan hidup yaitu: Pertama, menanamkan keyakinan bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Kedua, bersyukur atas nikmat yang diberikan, ridha, sabar, dan tawakkal atas segala musibah. Ketiga, memaafkan orang lain jika melakukan kesalahan. Keempat, menjahui buruk sangka. Kelima, menjauhi kebiasaan marah-marah ketika menghadapi atau tertimpa sesuatu. Keenam, mengurangi keinginan yang bersifat duniawi dengan zuhud dan qona’ah.
Jalaluddin Rahmat—yang akrab dipanggil Kang Jalal—melalui buku, “Tafsir Kebahagiaan: Tafsir Al-Quran Menyikapi Kesulitan Hidup”, hadir mengumandangkan tafsir kebahagiaan di tengah kesulitan hidup manusia dalam menggapainya. Buku Tafsir kebahagiaan yang ditulisnya mencoba menggali kebahagiaan dari sumbernya yang sejati, bukan dari asesori kehidupan yang artifisial dan gamang. Dengan kembali kepada sumber asalnya, kebahagiaan bisa diraih dengan penuh keyakinan yang teguh, bukan dengan kegembiraan sesaat yang melenakan. Asesori kehidupan yang kerap dilalui manusia untuk mengais kebahagiaan seringkali hanya menampakkan kebahagiaan dengan wajahnya yang luar, wadag, dan penuh citra, sehingga yang lahir adalah kebahagiaan semu dan palsu. Tafsir kebahagiaan yang dikumandangkan Kang Jalal adalah tafsir yang kembali dalam ajaran agama.
Dalam buku ini, Kang Jalal membahas makna kebahagiaan lewat sudut pandang yang sangat unik dan kaya. Kang Jalal menunjukkan bahwa hanya rasa bahagia yang ada di dalam diri seseoranglah yang akan mengantarkan orang tersebut menjadi orang yang baik. “Ketika Anda bahagia, Anda membangun sumber daya intelektual dengan berpikir lebih kreatif, toleran dengan perbedaan, terbuka pada ide-ide baru, dan belajar lebih efektif,” tulis Kang Jalal. Menurut Kang Jalal lebih jauh, kebahagiaan juga membuka dan membangun sumber daya sosial. Ketika kita bahagia, kita akan tertarik untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar kita.
Kang Jalal dengan ringan dan enak menyampaikan petunjuk Al-Quran dalam memilih kebahagiaan. “Lewat tuntunan ayat-ayat Al-Quran, saya akan mengajak Anda menempatkan diri dalam sudut yang tepat agar realitas yang dihadapi dapat memberi kebahagiaan atau harapan tentang kebahagiaan,” tulis Kang Jalal dalam mengantarkan Tafsir Kebahagiaan. Yang dimaksud dengan “realitas yang dihadapi” adalah masa lalu dan masa depan. Lewat anugerah akal-pikiran, seseorang dapat mengingat masa lalu dan meraba masa depan. Masa lalu dapat menjadi romantika atau trauma, sementara masa depan dapat menjadi harapan atau kecemasan. Kedua macam realitas itu akan mempengaruhi masa kini: apakah orang itu bahagia atau menderita. Masa lalu dan masa depan adalah realitas yang objektif, sementara penilaian atas keduanya dapat menjadi subjektif.
Menurut Kang Jalal, “Dalam Al-Quran, di antara kata yang paling tepat menggambarkan kebahagiaan adalah aflaha”. “Aflaha adalah kata turunan dari akar kata falah. Kamus-kamus bahasa Arab klasik memerinci makna falah sebagai berikut: kemakmuran, keberhasiln, atau pencapaian apa yang kita inginkan atau kita cari; sesuatu yang dengannya kita berada dalam keadaan bahagia atau baik; terus-menerus dalam keadaan baik; menikmati ketenteraman, kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah; keabadian, kelestarian, terus-menerus, berkelanjutan,” lanjut Kang Jalal. Ingatkah kita bahwa setiap hari, paling tidak sepuluh kali, muazin di seluruh dunia Islam meneriakkan hayya ala al-falah, atau marilah meraih kebahagiaan?
Buku ini bukan buku baru. Ia terbit pertama kali pada April 2010 dan sudah dicetak ulang beberapa kali. Sebelum buku Tafsir Kebahagiaan ini terbit, Kang Jalal, pernah menerbitkan buku Meraih Kebahagiaan yang, mungkin, terbit sekitar 6 tahun sebelum Tafsir Kebahagiaan. Jika buku Meraih Kebahagiaan didasarkan pada, katakanlah, sains, maka Tafsir Kebahagiaan didasarkan pada Al-Quran. Dalam Meraih Kebahagiaan, Kang Jalal menawarkan konsep menarik “happiness is a choice”. Sementara dalam Tafsir Kebahagiaan Kang Jalal memberi cara meraih kebahagiaan sesuai petunjuk Al-Quran.
Bagi Kang Jalal sendiri, perincian makna kata falah tersebut merupakan komponen-komponen kebahagiaan. Kebahagiaan bukan hanya ketenteraman dan kenyamanan. “Kenyamanan atau kesenangan yang dialami oleh seseorang hanya satu saat tidak otomatis melahirkan kebahagiaan,” tegas Kang Jalal. Ketika kita telah berhasil mencapai keinginan kita, itu tidak berarti kita telah bahagia. Kesenangan dalam mencapai keinginan biasanya bersifat sementara. Satu syarat penting harus ditambahkan, yaitu kelestarian atau menetapnya keadaan perasaan itu di dalam diri kita. “Kata turunan selanjutnya dari aflaha adalah yuflihu, yuflinahi, tuflihu, tuflihani, yuflihna (semua kata ini tidak ada dalam Al-Quran), dan tuflihuna (disebut sebelas kali dalam Al-Quran dan selalu didahului dengan kata la’allakum. Makna la’allakum tuflihuna adalah ‘supaya kalian berbahagia’.”
Dalam upaya meraih kebahagiaan, sering kali kita keliru dalam membedakan mana kesenangan dan mana kebahagiaan. Hal ini mengakibatkan kita terjebak pada kesenangan yang tidak membawa pada kebahagiaan. Untuk itu kita harus dapat membedakan dengan baik antara kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan adalah aktifitas yang dapat diamati secara fisik pada otak manusia yang terjadi akibat dirangsangnya saraf “pusat kesenangan” atau “pleasure center”. Saraf yang dirangsang ini akan menghasilkan mekanisme hormonal, yaitu keluarnya suatu zat kimia dari neuron di otak yang mengakibatkan timbulnya rasa enak, senang, dan nikmat. Jadi, untuk memperoleh rasa senang, mudah saja caranya, yaitu dengan merangsang saraf pusat kesenangan ini, misalnya dengan obat-obatan tanpa perlu bekerja atau bersusah payah. Sayangnya hal ini tidak dapat bertahan lama.
Sementara kebahagiaan adalah keadaan yang berlangsung lama, tidak sementara, yang berhubungan dengan penilaian pada kehidupan secara keseluruhan. Kegagalan dalam membedakan makna kesenangan dan kebahagiaan membuat kita sering kali terfokus pada pemenuhan kesenangan, bukan kebahagiaan itu sendiri. Tidak semua kesenangan membawa kebahagiaan. Sudah sering kita temukan fakta-fakta bahwa orang-orang yang secara umum dianggap bahagia, malah tidak merasa bahagia. Perbedaan selanjutnya adalah bahwa kesenangan berdimensi horizontal, sedangkan kebahagiaan berdimensi horizontal dan vertikal.
Menurut Al-Quran, obat terbaik untuk menyembuhkan sakit hati adalah tak membalas sakit hati, menahan diri untuk kemudian memaafkan. Dengan memaafkan hidup kita akan selalu bahagia, sebab memaafkan tidak lahir kecuali dari hati yang bahagia. Allah berfirma dalam surat al-Nahl, “Balaslah perbuatan mereka setimpal dengan apa yang mereka perbuat kepadamu. Namun, jika kau lebih memilih menahan diri, itu lebih baik”. Selanjutnya adalah menjahui buruk prasangka. Sebab secara psikologis buruk sangka akan menyebabkan berbagai penderitaan jiwa, yaitu marah, cemas, dan berbagai emosi negatif lainnya. Allah berfirman dalam surat al- Fath: 12, “Setan telah menghias prasangka itu di hati kalian. Kalian telah berprasangka buruk. Maka, jadilah kalian kaum yang menderita”. Menjahui kebiasaan marah-marah ketika menghadapi atau tertimpa sesuatu. Sebab marah atau emosi dapat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan pikiran, dan dapat menjadikan stress. Selain itu, marah yang berkepanjangan akan menimbulkan kebencian dan melahirkan dendam.
Dengan demikian hidup tak terasa bahagia dan akan menjadi penyakit. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi: 6, “Sekiranya mereka tidak memercayai Al-Quran, barangkali kau akan membunuh dirimu sendiri karena sedih, meratap, setelah mereka berpaling”. Dan, yang tak kalah penting ialah mengurangi keinginan yang bersifat duniawi dengan zuhud dan qona’ah. Karena terkadang banyak keinginan yang tidak realistis, sehingga menjadikan diri stress sebab tak semua keinginan dapat dicapai. Biasanya keinginan datang dari luar diri kita, maka buanglah keinginan-keinginan yang sebenarnya bukan keinginan anda. Tentukanlah keinginan anda sendiri dan kurangi keinginan anda. Sebab tidak ada cara yang paling mudah menghilangkan stress kecuali mengurangi keinginan untuk memiliki segala-galanya. Al-Quran dalam surat Thaha: 124 menggambarkan situasi stres dengan kalimat, “dadanya dijadikan sesak dan sempit, seperti orang yang terbang ke langit”. (hal. 9-12). Dengan melakukan petunjuk-petunjuk Al-Quran di atas, menurut Rahmat dapat mengetahui bagaimana memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Kang Jalal di dalam buku ini menyebutkan bahwa sesungguhnya tujuan hidup ini adalah kebahagiaan itu sendiri. Bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Di dalam buku yang sama, Kang jalal menjelaskan perintah Nabi tentang bagaimana menemukan kebahagiaan dalam kehidupan ini. “Ibda binafsik” Mulailah dari dirimu sendiri. Sebelum menyucikan orang lain, sucikanlah dirimu sendiri. Sebelum mencintai orang lain, cintailah diri Anda sendiri. Sebelum meminta maaf kepada orang lain, menjadi orang yang pemaaf. Bahagiakanlah diri Anda sendiri sebelum Anda membahagiakan orang lain.
Secara umum, buku ini mengajak Anda menjadikan Al-Quran sebagai penuntun hidup bahagia dan sukses dunia-akhirat. Tamsil yang disuguhkan Al-Quran benar-benar indah dan menarik: halilintar dapat menimbulkan ketakutan dan bisa pula melahirkan harapan. Musibah dan bencana bisa menumbuhkan kearifan, bisa pula melahirkan keputusasaan. Kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran bisa menjadi sumber bahagia. Pun bisa menjadi biang derita. Semua tergantung pada cara kita memandang dan menghadapi kenyataan hidup. Disertai ulasan dari hadis Nabi dan kisah-kisah menghibur, plus penemuan-penemuan mutakhir sains, Kang Jalal membantu Anda menempatkan diri dalam sudut yang tepat agar realitas yang Anda hadapi bisa memberikan harapan dan kebahagiaan.
Tafsir kebahagiaan dalam buku ini hadir untuk menyapa manusia modern yang sibuk dengan rutinitas mekanistiknya. Tafsir yang membuka “jembatan emas” bagi pembaca dalam mengarungi samudra kebahagiaan yang tiada tepinya: kebahagiaan yang lahir dari samudera ilahi. Kebahagiaan demikian inilah sebenarnya yang menjadi kegelisahan berbagai komunitas modern yang terus menggali dan mencari sumber kebahagiaan tanpa henti.
Pararel dengan buku Tafsir Kebahagiaan, Kang Jalal juga menulis sebuah buku, “Psikologi Agama: Sebuah Pengantar.” Menurutnya, Psikologi memperlakukan agama bukan sebagai fenomena "langit" yang serba sakral dan transenden, seperti yang menjadi pendekatan teologi. Pendekatan psikologis ingin sepenuhnya membaca keberagamaan sebagai fenomena yang manusiawi dan menukik ke dalam proses-proses kejiwaan yang memengaruhi perilaku kita dalam beragama. Psikologi, karena itu, memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja, agama apa saja, dan di mana saja.
Tafsir Kebahagiaan dibuat Kang Jalal untuk membantu kita dalam menentukan sudut pandang yang tepat ketika kita ingin memberikan penilaian atas realitas yang terjadi. “Seperti seorang fotografer yang selalu mencari sudut bidikan yang tepat untuk mendapatkan gambar terbaiknya. Jika gambar hasil bidikan tidak seperti yang Anda harapkan, yang dapat Anda lakukan adalah mengambil sudut lain untuk memperoleh gambar yang lebih bagus. Sebab Anda sama sekali tidak dapat mengubah posisi gunung,” demikian jelas Kang Jalal.
Buku yang ditulis Kang Jalal ini terdiri atas 15 bab yang berisi tulisan-tulisan tak terlalu panjang. Buku ini sangat menarik dan menantang wawasan serta perilaku keagamaan kita selama ini. Sangat menarik karena di tangan Kang Jalal yang pakar komunikasi ini, tema yang kompleks tentang psikologi agama seakan tak pernah kehilangan relevansi dan pesonanya. Sebagai seorang penulis, Kang Jalal senantiasa berusaha untuk memberikan alternatif dan mengajak para pembacanya untuk memilih sendiri—sesuai kemampuan yang dimiliki—setelah memamahami dan menimbang sudut pandang yang diberikannya. Kang Jalal sangat banyak sekali meninggalkan warisan karya-karyanya. Mulai dari ilmu, pemikiran, hingga buku, utamanya buku-buku bertemakan keislaman. Cendekiawan yang satu ini adalah salah satu pemikir Muslim moderat yang ada di negara ini. Selain itu, dia merupakan seorang yang multi-pakar. Antara lain, pakar komunikasi, psikologi, filsafat, otak (neurologi), sufistik, dan sejarawan Islam.
Kang Jalal mengabdikan hidup dengan menjadi Dosen di Universitas Padjajaran Jawa Barat pada 1978 hingga 2014. Selepas itu, Jalaludin terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP). Dia menduduki kursi di Komisi VIII DPR RI. Bergabungnya dia di Komisi VII DPR, ternyata sudah menjadi keinginan Kang Jalal sejak lama. Sebab, dia mempunyai keinginan untuk dapat memperjuangkan terbentuknya undang-undang pelindungan agama.
Kang Jalal meninggal dunia di RS Santosa, Kota Bandung pada Senin 15 Februari 2021). Kang Jalal itu menjalani perawatan intensif di RS Santosa selama 12 hari. Ia mengeluhkan sesak nafas, seraya berjuang melawan diabetes yang diidapnya sejak lama. Baru kemudian diketahui, Kang Jalal terpapar virus Corona. Kepergian Kang Jalal menjadi duka mendalam bagi kita semua. Semasa hidupnya, Kang Jalal merupakan pribadi yang pintar, tetapi rendah hati.***
Sumber
https://www.facebook.com/groups/Islamilmiahindonesia/permalink/3201996346569499/