Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

Meninggalkan Peribadatan

11/9/2017

0 Comments

 
Menarik untuk melihat sejarah dan bagaimana kita bisa belajar darinya. Bukankah haji adalah puncak peribadatan? Bukankah haji adalah kesempurnaan rukun dalam pengamalan. Tapi mengapa ia ditinggalkan?
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa Ali Muhammad


Di tengah terik mentari yang gersang, pada hari tarwiyah, sehari sebelum Arafah, seorang teladan suci dari keluarga Nabi Saw, al-Husain as meninggalkan peribadatan haji. Ia bergerak menuju Kufah, lebih dari 1750 km jauhnya, membelah sahara yang kering bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya. 

Apa yang ia lakukan? Mengapa ia meninggalkan peribadatan? Sejarah mencatat peristiwa teramat kelam. Keluarga itu dibantai di Padang Karbala, pada 10 Muharram 61H. Apa yang hendak ia perjuangkan? Mengapa seorang keturunan Rasulullah Saw, dikenal teramat salih dan jadi teladan, membawa anak-anak kecil, bayi dan perempuan…berlapar-lapar, menderita dan kehausan, untuk menjemput kematian, di tengah padang pasir yang membakar?

Menarik untuk melihat sejarah dan bagaimana kita bisa belajar darinya. Bukankah haji adalah puncak peribadatan? Bukankah haji adalah kesempurnaan rukun dalam pengamalan. Tapi mengapa ia ditinggalkan?

Imam Husain as tengah mengajari kita untuk melawan peribadatan tanpa penghayatan. Hayat bukan (hanya) dalam makna ‘meresapi’, tapi hayat sebagaimana artinya dalam bahasa Arab: kehidupan. Imam Husain as menunjukkan sebuah perlawanan terhadap ibadah yang tidak menyertakan kepedulian pada nasib kemanusiaan. Ibadah tanpa nilai kehidupan.

Bila ibadah kita ditujukan untuk pemuasan keinginan kita, di situ masih ada keakuan. Bila kita ingin nyaman, nikmat, tenang dan tanpa gangguan…di situ masih terselip keakuan. Bila kita ingin pelaksanaan sesuai cara yang kita harapkan, di situ tersembunyi keakuan. Alih-alih meluruhkan keakuan, ibadah pada Allah justru malah memupuk keakuan. Ironis bukan?

Maka bayangkan jamaah berjuta berkumpul, memuja dan bersyukur pada Tuhan, tapi tak ada saat mereka membincangkan nasib sesama. Tak ada gerakan untuk persatuan dan persaudaraan umat seagama. Tak ada ungkap keberpihakan pada yang teraniaya. Tak ada teriak penentangan pada kekuatan digdaya. Berhati-hatilah dari ibadah yang menumbuh suburkan keakuan. Karena ia menjauhkan kita dari Tuhan.

Sulit sekali mengatakan ini. Karena ibadah adalah kebaikan. Mereka yang shalat, rukuk dan sujud, tersungkur menangis dalam haru dan doa, adalah orang-orang yang baik. Orang-orang yang saleh. Tapi mungkin mereka berdiri dalam penentangan pada Tuhan, bila masih ada keakuan. “Innamaa uriidu an u’bad min haitsu uriid, laa min haitsu turiid. Sesungguhnya Aku ingin disembah dengan cara yang Aku inginkan bukan dengan cara yang kauinginkan.” Hadits qudsi yang dikutip dari Tafsir al-Qummi 1:42). Ya Allah, bagaimanakah cara yang Kaukehendaki itu? Adakah selama ini kami menyembahMu justru dengan cara dan jalan yang kami inginkan?

Bagaimanakah ibadah yang kita inginkan itu? Mungkin sebagian kita akan mengisinya dengan doa, dengan tersenyum pada sesama. Tapi ketika ada saudara kita yang dizalimi, kita bahkan tak berteriak berduka. Kita mungkin berkata, “Kita pecinta kedamaian.” Tapi kita tak menentang penindasan. Akankah kita berkata, “Tuhan, kami ini tak senang bermusuhan. Jadi, jangan Kauminta kami memerangi penganiayaan.”

Dan makhluk pertama yang mengajarkan keakuan itu adalah Iblis. Dosa Iblis bukan hanya takabbur. Kalimat yang diabadikan Al-Qur’an adalah “_ana khairun minhu_.” Aku lebih baik dari dia. Dosa Iblis _bukan hanya_ merasa lebih baik. Dosa pertama Iblis adalah mengucap kata “ana” di hadapan Tuhan. Tak boleh ada “aku” di hadapan Tuhan.

Masih dalam Tafsir al-Qummi itu, Iblis berkata: Tuhanku, sekiranya kau bebaskan aku dari bersujud pada Adam, aku akan beribadah kepadamu dengan cara yang tidak pernah dilakukan siapa pun semisalnya. _In a’faitanii minas sujud li Adam, la a’budaka ‘ibadata maa ‘abadaka ahadun qathtun mitslaha_. Allah Ta’ala menjawab: “Kalau kau tidak bersujud padanya, semua peribadatanmu itu takkan diterima.”

Perintah sujud untuk Adam adalah untuk meluruhkan keakuan. Iblis sudah ada sebelumnya. Ia jauh lebih tua. Adam baru muncul tiba-tiba. Seorang khalifah yang disiapkan Tuhan untuk dunia. Kemudian Iblis diharuskan untuk sujud pada Adam, seorang manusia? Bukankah sujud perlambang kepatuhan, ketaatan, penghormatan, kemuliaan, dan kepemimpinan? Iblis tak mau melakukannya.

Akhirnya, yang ia lakukan adalah mencoba untuk mengelabui keturunan Adam ‘alaihis salam itu, menyesatkannya dari jalan yang sebenarnya. Sungguh, di antara tipuan Iblis itu, kata Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah ketika ia menggoda manusia pada ibadah, _*agar melupakan*_ ibadah yang lebih utama. Shalat ibadah, tapi bila karena shalat kita lupa penderitaan sesama, kita jatuh pada godaan Iblis. Haji ibadah, tapi bila karena haji kita tidak peduli nasih sesama, kita jatuh pada godaan Iblis. “Barangsiapa bangun di pagi hari dan tidak peduli perkara Kaum Muslimin, ia bukan bagian dari mereka.” “Hilang iman orang yang tidur kekenyangan dan tetangganya kelaparan.” “Umat Islam bersaudara, bila satu menderita yang lain ikut berduka…” Tidakkah riwayat-riwayat itu mengingatkan kita? Betapa pun banyak ibadah yang dilakukan, ternyata itu bukan yang diinginkan Tuhan. Carilah Tuhan di tengah mereka yang hancur hatinya. _’Inda munkasiraati quluubihim_. Itu yang diinginkan Tuhan.

Maka al-Husain as meninggalkan Padang Arafah untuk menyatakan perang terhadap penindasan itu. Untuk peduli terhadap nasib sesama. Untuk menyelamatkan kemanusiaan dan apa yang tersisa dari nilai-nilai untuk umat manusia. Ia beribadah dengan cara yang diinginan Tuhan. “Ya Ummah, qad sya’aallahu an yarani maqtulan.” Ibu, katanya pada Ummu Salamah, Allah Ta’ala menghendaki untuk melihat aku terbunuh. ***

Mawla
Di sebuah persimpangan, di terik mentari yang membakar, di mata air bernama Khumm, jamaah haji pimpinan Baginda Nabi Saw berhenti. Baginda meminta para sahabat membuat mimbar dari pelana unta dan kuda. Tak pernah semisal itu terlihat sebelumnya. Lalu Baginda beristirahat cukup lama. Dikirimkan utusan memanggil yang telah berlalu. Baginda pun menunggu rombongan yang masih laju. Setelah berkumpul semuanya, Baginda berkhutbah teramat lamanya. Ia kemudian mengangkat tangan Ali, putra pamannya dan bersabda: Man kuntu mawlahu fa hadza ‘Aliyyun mawlahu. Barangsiapa menjadikan aku Mawlanya, hendaknya ia menjadikan Ali mawlanya juga. Setelah itu para sahabat mengucap selamat kepada Ali, tiga hari lamanya. Peristiwa ini dicatat dalam berbagai kitab sejarah.

Mawla setelah Allah Ta’ala dan RasulNya, bukanlah mawla sesuai keinginan kita. Taat pada Allah Ta’ala dan RasulNya bukanlah taat sesuai kepentingan kita. Peristiwa al-Khum itu perumpamaan puncak meluruhkan keakuan. Untuk pasrah sepenuhnya pada Tuhan. Untuk pasrah sepenuhnya pada Sang Utusan. Tanpa syarat. Tanpa pertanyaan. “...seperti nabiyyullah Ismail ‘alaihis salam yang patuh pada Imam Zamannya, tanpa sedikit pun keraguan. Leher ia bentangkan, (di bawah belati Sang Utusan) ia berkata: lakukan apa yang untuknya kau diperintahkan.”

Barulah setelah keakuan itu luruh, jalan menuju Tuhan terbentang penuh. Dan seperti Ali yang tak tinggal diam terhadap penindasan, begitulah orang yang menjadikannya mawla mesti berteladan. Seperti Ali, jangan pernah berhenti menolong orang yang tertindas. Jangan pernah berhenti menyertakan mereka dalam doa. Jangan pernah berhenti memperhatikan yang lemah di antara kita: apa pun agamanya, kelompoknya, suku dan bangsanya. Jangan pernah berhenti menggaungkan suara keadilannya.

Mari berbuat dan peduli. Mari doakan saudara kita di berbagai negeri. Rohingya, Kashmir, Palestina, Afghanistan, Bahrain, Yaman, Suriah, Nigeria…dan masih banyak lagi. Mari berbuat dan beraksi. Agar kita dapat meneladani Ali. 

Banyak jalan keluar dari setiap masalah itu. Tak jarang, jalan yang kita pilih justru jalan yang memupuk keakuan. Mengapa? Karena kita tak punya kepemimpinan. Menyerahkan urusan pada Mawla adalah semata jalan menghancurkan keakuan, musuh sepanjang keabadian. 

“…tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan pada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman pada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213)

Kita berselisih karena keakuan. Karena dengki di antara kita. Mari berdoa agar kehendak Allah Ta’ala kita terima dengan sukacita. Pasrah sepenuhnya. Mari berkhidmat pada sesama yang menderita. Pasti Mawla akan tersenyum bahagia. Dan dengan izin Allah Ta’ala, pembebas manusia dihadirkan di antara kita. 

214. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. [Juz 2 | Al-Baqarah (2) | Ayat: 214]

Mereka melihatnya jauh. Kami melihatnya dekat.
Kami melihatnya dekat. 

@miftahrakhmat
18 Dzulhijjah 1438 H
0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.”
    ​
    ​ 
    (HR Al-Hakim dan Al-Thabrani)
    ​


    Picture

    Tema

    All
    Abu Nawas
    Adam
    Agama
    Ahlulbait
    Akal
    Akhlak
    Albirr
    Al-Husayn
    Ali Bin Abi Thalib
    Ali Bin Abu Thalib
    Al-Mizan
    Alquran
    Amal
    Anak
    Arafah
    Arbain Walk
    Asep Salahudin
    Asyura
    Babul
    Bahasa
    Bahjah
    Bahlul
    Bangsa
    Barzakh
    Berkah
    Bicara
    Bidadari
    Bubur Suro
    Bukhari
    Buku
    Bulan Suci
    Cerita
    Cinta
    Covid 19
    Covid-19
    Depresi
    Doa
    Dogma
    Dosa
    Dua Belas Imam
    Dunia
    Emas
    Empati
    Epistemologi
    Fatwa
    Fidyah
    Fikih
    Filsafat
    Fitrah
    Gaya Menulis
    Gender
    Gereja
    Ghuraba
    Globalisasi
    Guru
    Hadiah
    Hadis
    Haji
    Happy Birthday
    Hari Anak Nasional
    Hasan
    Hasan Bashri
    Hermeneutika
    Hitler
    Husain
    Ibadah
    Identitas Arab Itu Ilusi
    Ideologi
    Idul Fitri
    Ihsan
    IJABI
    Ilmu
    Ilmu Kalam
    Imam
    Imam Ali
    Imam Ali Zainal Abidin
    Imam Husain
    Imam Mahdi
    Iman
    Imsak
    Indonesia
    Islam
    Islam Ilmiah
    Islam Madani
    Isra Mikraj
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Jihad
    Jiwa
    Jumat
    Kafir
    Kajian
    Kaki
    Kang Jalal
    Karbala
    Keadilan
    Kebahagiaan
    Kebangkitan Nasional
    Keluarga
    Kemanusiaan
    Kematian
    Kesehatan
    Khadijah
    Khalifah
    Khotbah Nabi
    Khutbah
    Kisah Sufi
    Kitab
    Kitab Sulaim
    Konflik
    Kurban Kolektif
    Lembah Abu Thalib
    Madrasah
    Makanan
    Malaikat
    Manasik
    Manusia
    Maqtal
    Marhaban
    Marjaiyyah
    Marxisme
    Masjid
    Mawla
    Mazhab
    Media
    Miftah
    Mohammad Hussain Fadhullah
    Mubaligh
    Muhammad Babul Ulum
    Muharram
    Mujtahid
    Mukmin
    Munggahan
    Murid
    Muslim
    Muslimin
    Musuh
    Muthahhari
    Myanmar
    Nabi
    Najaf
    Nano Warno
    Negara
    Neurotheology
    Nikah
    Nilai Islam
    Nusantara
    Orangtua
    Otak
    Palestina
    Pancasila
    Pandemi
    Pendidikan
    Penyintas
    Perampok
    Pernikahan
    Pesantren
    Politik
    Post Truth
    Pseudosufisme
    Puasa
    Pulang
    Qanaah
    Racun
    Rakhnie
    Ramadhan
    Rasulullah
    Revisionis
    Rezeki
    Rindu
    Rumah
    Rumah Tangga
    Sahabat
    Sahur
    Saqifah
    Sastra
    Saudara
    Sayyidah Aminah
    Sayyidah Fatimah
    Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah
    Sejarah
    Sekolah
    Shahibah
    Shalat
    Shalawat
    Sidang Itsbat
    Silaturahmi
    Silsilah
    Sosial
    Spiritual
    Suami
    Suci
    Sufi
    Sunnah
    Sunni
    Surga
    Syahadah
    Syawal
    Syiah
    Tafsir
    Tajil
    Takfirisme
    Taklid
    Tanah
    Tarawih
    Tasawuf
    Tauhid
    Tsaqalayn
    Tuhan
    Ukhuwah
    Ulama
    Umat
    Umrah
    Waktu
    Waliyyul Amri
    Wasiat
    Wiladah
    Yatim
    Zawjah
    Ziarah

    Arsip

    April 2024
    March 2024
    November 2023
    October 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    July 2022
    June 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    September 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    May 2020
    March 2020
    January 2020
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    September 2018
    July 2018
    May 2018
    February 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.