Allahumma shalli 'ala Muhammad wa Ali Muhammad
Di tengah terik mentari yang gersang, pada hari tarwiyah, sehari sebelum Arafah, seorang teladan suci dari keluarga Nabi Saw, al-Husain as meninggalkan peribadatan haji. Ia bergerak menuju Kufah, lebih dari 1750 km jauhnya, membelah sahara yang kering bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Apa yang ia lakukan? Mengapa ia meninggalkan peribadatan? Sejarah mencatat peristiwa teramat kelam. Keluarga itu dibantai di Padang Karbala, pada 10 Muharram 61H. Apa yang hendak ia perjuangkan? Mengapa seorang keturunan Rasulullah Saw, dikenal teramat salih dan jadi teladan, membawa anak-anak kecil, bayi dan perempuan…berlapar-lapar, menderita dan kehausan, untuk menjemput kematian, di tengah padang pasir yang membakar?
Menarik untuk melihat sejarah dan bagaimana kita bisa belajar darinya. Bukankah haji adalah puncak peribadatan? Bukankah haji adalah kesempurnaan rukun dalam pengamalan. Tapi mengapa ia ditinggalkan?
Imam Husain as tengah mengajari kita untuk melawan peribadatan tanpa penghayatan. Hayat bukan (hanya) dalam makna ‘meresapi’, tapi hayat sebagaimana artinya dalam bahasa Arab: kehidupan. Imam Husain as menunjukkan sebuah perlawanan terhadap ibadah yang tidak menyertakan kepedulian pada nasib kemanusiaan. Ibadah tanpa nilai kehidupan.
Bila ibadah kita ditujukan untuk pemuasan keinginan kita, di situ masih ada keakuan. Bila kita ingin nyaman, nikmat, tenang dan tanpa gangguan…di situ masih terselip keakuan. Bila kita ingin pelaksanaan sesuai cara yang kita harapkan, di situ tersembunyi keakuan. Alih-alih meluruhkan keakuan, ibadah pada Allah justru malah memupuk keakuan. Ironis bukan?
Maka bayangkan jamaah berjuta berkumpul, memuja dan bersyukur pada Tuhan, tapi tak ada saat mereka membincangkan nasib sesama. Tak ada gerakan untuk persatuan dan persaudaraan umat seagama. Tak ada ungkap keberpihakan pada yang teraniaya. Tak ada teriak penentangan pada kekuatan digdaya. Berhati-hatilah dari ibadah yang menumbuh suburkan keakuan. Karena ia menjauhkan kita dari Tuhan.
Sulit sekali mengatakan ini. Karena ibadah adalah kebaikan. Mereka yang shalat, rukuk dan sujud, tersungkur menangis dalam haru dan doa, adalah orang-orang yang baik. Orang-orang yang saleh. Tapi mungkin mereka berdiri dalam penentangan pada Tuhan, bila masih ada keakuan. “Innamaa uriidu an u’bad min haitsu uriid, laa min haitsu turiid. Sesungguhnya Aku ingin disembah dengan cara yang Aku inginkan bukan dengan cara yang kauinginkan.” Hadits qudsi yang dikutip dari Tafsir al-Qummi 1:42). Ya Allah, bagaimanakah cara yang Kaukehendaki itu? Adakah selama ini kami menyembahMu justru dengan cara dan jalan yang kami inginkan?
Bagaimanakah ibadah yang kita inginkan itu? Mungkin sebagian kita akan mengisinya dengan doa, dengan tersenyum pada sesama. Tapi ketika ada saudara kita yang dizalimi, kita bahkan tak berteriak berduka. Kita mungkin berkata, “Kita pecinta kedamaian.” Tapi kita tak menentang penindasan. Akankah kita berkata, “Tuhan, kami ini tak senang bermusuhan. Jadi, jangan Kauminta kami memerangi penganiayaan.”
Dan makhluk pertama yang mengajarkan keakuan itu adalah Iblis. Dosa Iblis bukan hanya takabbur. Kalimat yang diabadikan Al-Qur’an adalah “_ana khairun minhu_.” Aku lebih baik dari dia. Dosa Iblis _bukan hanya_ merasa lebih baik. Dosa pertama Iblis adalah mengucap kata “ana” di hadapan Tuhan. Tak boleh ada “aku” di hadapan Tuhan.
Masih dalam Tafsir al-Qummi itu, Iblis berkata: Tuhanku, sekiranya kau bebaskan aku dari bersujud pada Adam, aku akan beribadah kepadamu dengan cara yang tidak pernah dilakukan siapa pun semisalnya. _In a’faitanii minas sujud li Adam, la a’budaka ‘ibadata maa ‘abadaka ahadun qathtun mitslaha_. Allah Ta’ala menjawab: “Kalau kau tidak bersujud padanya, semua peribadatanmu itu takkan diterima.”
Perintah sujud untuk Adam adalah untuk meluruhkan keakuan. Iblis sudah ada sebelumnya. Ia jauh lebih tua. Adam baru muncul tiba-tiba. Seorang khalifah yang disiapkan Tuhan untuk dunia. Kemudian Iblis diharuskan untuk sujud pada Adam, seorang manusia? Bukankah sujud perlambang kepatuhan, ketaatan, penghormatan, kemuliaan, dan kepemimpinan? Iblis tak mau melakukannya.
Akhirnya, yang ia lakukan adalah mencoba untuk mengelabui keturunan Adam ‘alaihis salam itu, menyesatkannya dari jalan yang sebenarnya. Sungguh, di antara tipuan Iblis itu, kata Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah ketika ia menggoda manusia pada ibadah, _*agar melupakan*_ ibadah yang lebih utama. Shalat ibadah, tapi bila karena shalat kita lupa penderitaan sesama, kita jatuh pada godaan Iblis. Haji ibadah, tapi bila karena haji kita tidak peduli nasih sesama, kita jatuh pada godaan Iblis. “Barangsiapa bangun di pagi hari dan tidak peduli perkara Kaum Muslimin, ia bukan bagian dari mereka.” “Hilang iman orang yang tidur kekenyangan dan tetangganya kelaparan.” “Umat Islam bersaudara, bila satu menderita yang lain ikut berduka…” Tidakkah riwayat-riwayat itu mengingatkan kita? Betapa pun banyak ibadah yang dilakukan, ternyata itu bukan yang diinginkan Tuhan. Carilah Tuhan di tengah mereka yang hancur hatinya. _’Inda munkasiraati quluubihim_. Itu yang diinginkan Tuhan.
Maka al-Husain as meninggalkan Padang Arafah untuk menyatakan perang terhadap penindasan itu. Untuk peduli terhadap nasib sesama. Untuk menyelamatkan kemanusiaan dan apa yang tersisa dari nilai-nilai untuk umat manusia. Ia beribadah dengan cara yang diinginan Tuhan. “Ya Ummah, qad sya’aallahu an yarani maqtulan.” Ibu, katanya pada Ummu Salamah, Allah Ta’ala menghendaki untuk melihat aku terbunuh. ***
Mawla
Di sebuah persimpangan, di terik mentari yang membakar, di mata air bernama Khumm, jamaah haji pimpinan Baginda Nabi Saw berhenti. Baginda meminta para sahabat membuat mimbar dari pelana unta dan kuda. Tak pernah semisal itu terlihat sebelumnya. Lalu Baginda beristirahat cukup lama. Dikirimkan utusan memanggil yang telah berlalu. Baginda pun menunggu rombongan yang masih laju. Setelah berkumpul semuanya, Baginda berkhutbah teramat lamanya. Ia kemudian mengangkat tangan Ali, putra pamannya dan bersabda: Man kuntu mawlahu fa hadza ‘Aliyyun mawlahu. Barangsiapa menjadikan aku Mawlanya, hendaknya ia menjadikan Ali mawlanya juga. Setelah itu para sahabat mengucap selamat kepada Ali, tiga hari lamanya. Peristiwa ini dicatat dalam berbagai kitab sejarah.
Mawla setelah Allah Ta’ala dan RasulNya, bukanlah mawla sesuai keinginan kita. Taat pada Allah Ta’ala dan RasulNya bukanlah taat sesuai kepentingan kita. Peristiwa al-Khum itu perumpamaan puncak meluruhkan keakuan. Untuk pasrah sepenuhnya pada Tuhan. Untuk pasrah sepenuhnya pada Sang Utusan. Tanpa syarat. Tanpa pertanyaan. “...seperti nabiyyullah Ismail ‘alaihis salam yang patuh pada Imam Zamannya, tanpa sedikit pun keraguan. Leher ia bentangkan, (di bawah belati Sang Utusan) ia berkata: lakukan apa yang untuknya kau diperintahkan.”
Barulah setelah keakuan itu luruh, jalan menuju Tuhan terbentang penuh. Dan seperti Ali yang tak tinggal diam terhadap penindasan, begitulah orang yang menjadikannya mawla mesti berteladan. Seperti Ali, jangan pernah berhenti menolong orang yang tertindas. Jangan pernah berhenti menyertakan mereka dalam doa. Jangan pernah berhenti memperhatikan yang lemah di antara kita: apa pun agamanya, kelompoknya, suku dan bangsanya. Jangan pernah berhenti menggaungkan suara keadilannya.
Mari berbuat dan peduli. Mari doakan saudara kita di berbagai negeri. Rohingya, Kashmir, Palestina, Afghanistan, Bahrain, Yaman, Suriah, Nigeria…dan masih banyak lagi. Mari berbuat dan beraksi. Agar kita dapat meneladani Ali.
Banyak jalan keluar dari setiap masalah itu. Tak jarang, jalan yang kita pilih justru jalan yang memupuk keakuan. Mengapa? Karena kita tak punya kepemimpinan. Menyerahkan urusan pada Mawla adalah semata jalan menghancurkan keakuan, musuh sepanjang keabadian.
“…tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan pada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman pada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213)
Kita berselisih karena keakuan. Karena dengki di antara kita. Mari berdoa agar kehendak Allah Ta’ala kita terima dengan sukacita. Pasrah sepenuhnya. Mari berkhidmat pada sesama yang menderita. Pasti Mawla akan tersenyum bahagia. Dan dengan izin Allah Ta’ala, pembebas manusia dihadirkan di antara kita.
214. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. [Juz 2 | Al-Baqarah (2) | Ayat: 214]
Mereka melihatnya jauh. Kami melihatnya dekat.
Kami melihatnya dekat.
@miftahrakhmat
18 Dzulhijjah 1438 H