“Seorang ayah menulis surat untuk anaknya: Anakku sayang, kapan pun surat ini datang, ia datang pada saat yang tepat. Tak pernah ada kata terlambat. Kapan pun kau membacanya, ia ada pada waktu yang sempurna. Sungguh, semua yang hadir itu indah karena Sang Mahaindah yang telah menghadirkannya. Semua yang kaulihat sempurna, karena Sang Mahasempurna yang telah menciptakannya. |
Karena itu bersyukurlah, hingga kelu lisanmu menggumamkannya. Bersyukurlah hingga kau tak lagi tahu bagaimana menyampaikannya. Hindarilah menghakimi sesama, karena ia punya penciptanya. Jangan sampai menghujat, hanya karena kau tak sanggup berbuat.
Mengapa kau terlahir dari kami, karena kamilah ujianmu menempuh jalan. Mengapa kau hadir bagi kami, karena kaulah ujian kami menuju kesempurnaan. Mengapa kau punya sesuatu dan yang lain tidak? Mengapa yang lain tidak punya apa yang ada dalam dirimu...semua karena Sang Pencipta punya sentuhan khas bagi tiap jiwa. Karena semua kita dicintainya. Karena semua kita istimewa. Semua kita sempurna...”
Pengantar di atas dikutip dari buku terbaru saya, Risalah Anak Berlari. Ketika kuliah di Australia, saya mengambil major Professional Writing and Editing. Mungkin satu-satunya orang Indonesia. Bahkan saya jadi satu-satunya orang Asia non imigran di kelas saya. Jurusan ini kurang populer dibanding bisnis, informatika, atau perhotelan/perkulineran yang ramai diminati. Saya jadi—dalam istilah anak-anak muda sekarang--anti mainstream.
Kata yang tepat untuk itu sebenarnya adalah “non mainstream”. Istilah itu digunakan untuk penentang kemapanan atau untuk sesuatu yang berbeda. Pernah ke Yayasan Muthahhari, datang seorang peneliti Departemen Agama. Ia masuk dengan kikuk. Ia risih untuk bicara. Mengapa? Karena ia ditugaskan kantornya untuk meneliti—dalam bahasa dia—kelompok-kelompok keagamaan “non mainstream.”
Ia memulainya dengan meminta maaf. Padahal, ia belum berbuat apa-apa. Rasa kikuk itu pertanda bahwa fitrah kita sebenarnya adalah fitrah yang toleran, yang menghargai perbedaan, yang memandangnya sebagai kekayaan khazanah Tuhan. Manusia memang terlahir dari lingkungan yang tak sama, tetapi manakala kita mempertanyakan perbedaan itu, muncul rasa ketidaknyamanan, dorongan untuk menghargai pilihan yang telah diambil seseorang. Seperti yang dirasakan kawan peneliti dari—kini—Kementerian Agama itu.
“Pak, maaf, saya ditugaskan untuk meneliti kelompok-kelompok Islam non mainstream.” Ujarnya terlihat kikuk. Saya sudah paham maksudnya. Saya sudah biasa mendengarnya. Setiap tahun pendaftaran di Sekolah-sekolah Muthahhari, selalu saja ada yang bertanya tentang itu. Setelah seluruh penjelasan tentang sekolah, setelah seluruh pembicaraan tentang metode pembelajaran, keistimewaan dan keunikan, ada pertanyaan terakhir yang tersisa. Ritualnya, diawali dengan empat kata itu: “Maaf ya Pak, maaf...” dan kami selalu tersenyum menerimanya.
Saya berusaha mencairkan suasana, tapi pada saat yang sama, saya ingin menikmatinya. Saya bertanya, “Apa yang Bapak maksudkan non mainstream?”
“Yaa...kelompok Islam yang berbeda dengan kebanyakan...” masih perlahan jawabnya.
“Maksud Bapak dengan berbeda?” tanya saya mengejar.
“Yaa...ada yang diamalkan di sini yang tidak dilakukan di tempat yang lain.”
“Misalnya Pak?”
“Hmm...misalnya di sini ada majelis baca doa setiap bulan.”
“Lho Pak, bukankah itu bagus. Kami membaca Yasin dan doa-doa. Anak-anak SMA hanya membaca sebulan sekali, dari bakda Isya hingga kira-kira jam sepuluh. Anak-anak SMP seminggu sekali di waktu shalat Zhuhur berjamaah. Anak-anak SD malah belum ada acara doa bersama rutinan. Itu pun anak SMA masih memandangnya sebagai kewajiban. Di Tasik, ada pesantren, sebulan sekali anak-anaknya wiridan semalam suntuk.”
“Mungkin, karena di sini memperingati Asyura?” Akhirnya ia mulai menukik ke pokok persoalan.
“Pak, Asyura bukan tradisi baru, juga bukan hanya kami. Di Sumatera Barat, di Bengkulu ramai diselenggarakan prosesi Tabut, tabot, tabuik untuk mengenang peristiwa itu. Orang Jawa memendekkannya dan menyebut bulan itu, bulan Suro. Di Sulawesi ada tradisinya, di Cirebon, Yogya dan sebagainya. Kami memperingati Asyura sebagai upaya kami untuk mencintai Rasulullah Saw. Sesuai semangat: berbahagialah dengan kebahagiaan saudaramu. Berdukalah dengan penderitaan saudaramu.”
Kawan peneliti ini kebingungan. Ia ingin menyampaikan kata ‘keramat’ itu. Sepertinya sudah ada di ujung lidahnya. Tapi ia masih kurang nyaman. Katanya kemudian, "Mungkin karena di sini shalatnya dijamak?”
“Nah kalau itu, bisa saya jawab Pak. Beredar isu macam-macam tentang sekolah-sekolah Muthahhari. Ada yang tanya bahwa anak-anak di Muthahhari shalatnya ketika rukuk, mereka lakukan sambil berputar. Ada lagi yang bilang, shalatnya bisa sambil minum. Ada juga yang mengatakan anak-anak Muthahhari tak shalat Ashar. Semua keliru. Semua isu. Datang saja ke Sekolah dan lihat sendiri kenyataannya, ketimbang mendengar kabar dari sini dan sana. Yang terakhir mungkin ada benarnya, untuk anak-anak SD dan SMP. Bukan karena mereka tidak shalat Ashar. Tapi karena mereka tidak shalat Ashar di sekolah. Mereka pulang jam dua siang. Sebelum waktu shalat Ashar. Hanya anak SMA yang shalat Ashar di Sekolah, dijamak dengan shalat Zhuhur. Itu pun hanya beberapa hari saja. Rabu dan Jumat mereka tetap shalat Zhuhur dan Jumatan dan mengakhirkan shalat Ashar. Dan itu dibolehkan. Dalilnya banyak. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim pun ada, ayatnya pun dipertanggungjawabkan... anak-anak belajar kekayaan pengamalan keberagamaan, Pak.” Jawab saya panjang.
Akhirnya...masih dalam suara yang pelan ia berkata, mengeluarkan kata yang dianggap berat itu. “Katanya di sini...minoritas...Syiah.” Disampaikanlah apa yang dimaksudkannya...Syiah dianggap non mainstream. Syiah dianggap berbeda dengan kebanyakan.
Saya tidak akan teruskan pembicaraan dengan kawan dari Kemenag itu. Saya akan bicara tentang Syiah saja. Tentang kawan peneliti itu, kami jadi berteman baik. Dia kini staf pengajar di sebuah Universitas di jalan Gatot Soebroto, Jakarta. Tahun lalu, ia datang lagi ke sekolah. Bulan lalu, ia undang saya seminar di kampusnya.
Saya akan lanjutkan bicara tentang Syiah saja. Tentang satu kata yang menggemparkan, menggentarkan, tentang satu kata yang dianggap menakutkan itu. Mengapa saya memilih kata-kata ‘gempar, gentar, dan takut.’? Karena konon, beredar isu kalau orang Syiah dibiarkan di Indonesia akan terjadi kerusakan, kesewenang-wenangan, bahkan yang mengerikan, akan terjadi perang saudara. Masya Allah wa na’udzu billah...
Di beberapa majelis pengajian, dibicarakan tentang Syiah. Diputarkan VCD lalu diperlihatkan hal-hal yang aneh-aneh, kemudian ditutup dengan kalimat, “Nah, hati-hati. Sekolah-sekolahnya ada di Bandung. Apa Ibu dan Bapak mau memasukkan anak ke sekolah seperti itu?” Di khutbah Jumat, Syiah digugat. Anak-anak yang mau mendaftar ke sekolah-sekolah kami ditakut-takuti. Bahkan ada pengajian di pusat pemerintahan yang juga menjelek-jelekkan sekolah-sekolah Muthahhari. Saya biasanya menjawab singkat (tapi jadi panjang kalau dituliskan).
Pertama, sekolah-sekolah Muthahhari itu punya pembinanya, ada atasan dan pengawasnya. Siapa? Orangtua-orangtua kami di Dinas Pendidikan. Bukankah ada pengawas yang rutin berkunjung? Ada pengawas Pendidikan Agama Islam yang rajin memantau. Ada akreditasi dan supervisi untuk menilai kinerja kami. Sekiranya ada yang aneh tentang Sekolah kami, mungkinkah Dinas membiarkannya tanpa mengawasi? Masyarakat juga tak heboh dengan kami, padalah sudah lebih dari duapuluh tahun kami hadir berbakti. SMA berdiri tahun 1992, bahkan dapat prestasi beberapa kali jadi Sekolah model, termasuk jadi Sekolah Percontohan untuk Pengembangan Budi Pekerti tingkat Nasional tahun 2003. Bagaimana mungkin sekolah aneh diangkat jadi sekolah model untuk pengembangan akhlak? Anak-anak SMA sudah begitu banyak berprestasi, mulai kompetisi dalam negeri hingga jadi duta budaya Indonesia di luar negeri. SMP Muthahhari di Rancaekek berdiri tahun 1997, gratis sejak dulu sebagai sumbangsih untuk masyarakat sekitar, dan menghasilkan anak-anak yang lulus 100 persen setiap pelaksanaan ujian nasional. Dinas Pendidikan setempat bahkan sering rapat di sekolah kami. SD Muthahhari yang di Bandung baru meluluskan dua angkatan, tapi sudah diakreditasi dan dapat ujian mandiri. Gedung dan tanah sudah milik sendiri. Akreditasi perdana, nilai kami 95 (dari 100), prestasi tersendiri. Anak-anak kami tersebar di berbagai sekolah swasta dan negeri. Ada juga yang lanjut ke luar negeri, dengan segudang prestasi. SMP Bahtera yang baru berdiri empat tahun lalu, juga kini sudah diakreditasi. Peringkat A pula. Dan kini mulai mencicil prestasi.
Nah, bagaimana mungkin semua torehan prestasi itu terjadi tanpa bimbingan dan dukungan dari sesepuh kami di Dinas Pendidikan, dari Ibu dan Bapak pengawas, dari Ibu dan Bapak Kepala Sekolah, Kepala Gugus, Rayon, Sub Rayon dan sebagainya. Ini prestasi dan kerja keras bersama. Menafikan Sekolah-sekolah Muthahhari artinya mempertanyakan kesungguhan dan dedikasi para pendidik, juga mempertanyakan supervisi yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini.
Jawaban itu sebenarnya cukup, tapi kadang-kadang masih dirasa kurang. Masih saja tersisa pertanyaan: Kalau Syiah sendiri bagaimana? Maka perlulah saya menjelaskan yang kedua.
Syiah itu mazhab kedua terbesar dalam Islam. Menurut wikipedia, sekitar 20 persen umat Islam dunia bermazhab Syiah. Di Timur Tengah sendiri ada 40-an persen pengikutnya, tersebar di semua negara sejak Saudi hingga Iran. Mereka rukun bersaudara. Orang Syiah shalat lima kali sehari, puasa di bulan suci, membayar zakat, dan berhaji ke Baitullah. Tidak pernah ada larangan bagi orang Syiah untuk berhaji ke tanah suci. Di Madinah dan Makkah, kita akan bersua dengan mereka. Selesai perkara. Kalau masih belum cukup juga, Iran sebagai negara mayoritas Syiah terbesar di dunia, mendaftarkan nama resmi negaranya pasca referendum 1979 di Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai: Republik Islam Iran. Kalau Iran—yang mayoritas Syiah itu—bukan Islam, tidakkah mestinya negara-negara Islam protes pada dunia, karena nama Islam sudah ‘dicatut’ oleh yang bukan penganutnya?
Saya sudah tutup buku perkara mazhab ini. Bagi saya, Sunni dan Syiah adalah dua khazanah Islam, dua sayap umat yang sama-sama saling menguatkan. Untuk itulah saya menulis buku Kidung Angklung, sebuah upaya untuk merekatkan persaudaraan di antara sesama. Untuk mengenal lebih baik lagi. Seperti kata Duta Besar Indonesia di Iran, “Tak kenal memang tak akan sayang.”
Sayangnya, sepertinya ada pihak-pihak yang tak ingin Indonesia maju, tak ingin Indonesia berkembang. Kata Dr. Herbert Feith, dosen ayah saya waktu di Australia, “Tak ada yang dapat membawa bangsa (Indonesia) ini besar, selain umat Islamnya. Dan tak ada yang dapat membuat bangsa ini lemah kecuali umat Islamnya juga. Yaitu kalau mereka berselisih di antara sesama.”
Apa hubungannya dengan Muthahhari? Sekolah-sekolah Muthahhari begitu gencar ‘diserang’ isu itu. Apa pasal? Karena kami memilih untuk jadi jembatan. Untuk mempertemukan ragam keilmuan Islam yang kaya itu. Di Sekolah tidak diajarkan Syiah. Silakan cek kurikulumnya. Silakan tanya murid-murid, orangtua, dan guru-gurunya. Tapi yang kami ajarkan toleransi, penghormatan pada perbedaan, dan sikap untuk menghargai pendapat yang lain. Kalaupun ada yang dekat dengan keSyiahan itu adalah kecintaan kepada Rasulullah Saw dan keluarganya. Dan itu bukan milik orang Syiah. Keluarga Nabi adalah khazanah kemuliaan kaum Muslimin. Siapa pun boleh berguru kepada mereka. Siapa pun dapat menjadikan mereka teladan. Kata Imam Syafi’i, guru besar Mazhab Sunni Syafi’i di dunia, “Kalaulah disebut dosa, mencintai keluarga Nabi. Maka itulah satu-satunya dosa, yang takkan kuminta untuk diampuni.” Masya Allah!
Lalu mengapa judul tulisan ini mediocrity? Nah, ini latar belakangnya. Medioker—begitu di-Indonesiakan—artinya “rata-rata, pertengahan, kebanyakan, biasa-biasa saja...dan semisalnya.” Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkannya jadi bahasa kita. Secara singkat, kita ingin membuat orang lain sama dengan kita, atau kita sama dengan mereka. Kita belum terbiasa memposisikan setiap jiwa istimewa. Dalam keberagamaan, kita ingin orang lain sependapat dengan kita. Dalam pendidikan, kita ingin anak-anak samadengan teman-temannya yang lain. Untuk itulah dibuat standar kompetensi (yang sebetulnya minimal) menjadi capaian (yang dikonsepkan maksimal). Kita akan selalu membandingkan anak-anak kita dengan gelombang besar teman-temannya yang lainnya. Untuk itu dibuat rata-rata. Setengah anak-anak dibahagiakan (karena berada di atasnya), setengahnya lagi dikecewakan (karena pasti di bawahnya). Alih-alih memusatkan diri pada kelebihan, kita ingin anak-anak menyusul kekurangan mereka dari rata-rata teman-temannya.
Rata-rata itu mediocrity. Orang kebanyakan. Nah, Sekolah harus meyakini satu konsep filosofis dalam Islam yang saya pelajari dari Allamah Thabathaba’i penulis tafsir Mizan yang terkenal itu, yaitu “al-katsaratu fil wahdah, wa al-wahdatu fil katsrah.” Satu dalam jamak, dan jamak dalam satu. Yang kedua itu, bhinneka tunggal ika, kita warisi dari para pendahulu kita: berbeda-beda tetapi satu juga.
Sekolah harus dapat menonjolkan potensi, minat, dan bakat istimewa yang sudah Tuhan titipkan secara khusus dalam setiap jiwa. Tanda kasih dan cinta Tuhan. Istimewa artinya berbeda, unik, khas, tanpa memandangnya lebih baik dari yang lainnya. Di sisi lain, seluruh sentuhan khas dalam tiap jiwa itu juga dibingkai oleh kebersamaan yang rata-rata. Apa itu? Penghargaan, apresiasi pada setiap perbedaan itu. Kita boleh berbeda, tapi kita sama dalam memaknai perbedaan itu. Kita boleh tak sama, tapi kita sama dalam menghormati sentuhan Tuhan dalam setiap jiwa itu.
Mediocrity yang kedua adalah pada tataran nilai. Kita boleh dan wajib sama dalam memandang nilai-nilai luhur yang universal, tapi kita juga berbeda dalam melejitkan setiap nilai itu menuju puncak kesempurnaan setinggi-tingginya. Maksud saya, kita semua menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, persaudaraan, persatuan, penghormatan, kejujuran, keterbukaan, dan nilai-nilai lainnya. Tapi bagaimana menerapkannya adalah proses yang tak mengenal tepi. Di antara prinsip itu adalah perjuangan menjaga nurani dan kesadaran yang tak tercermarkan. Mengutip Pramoedya Anata Toer, “Berbuat adil, harus sejak dalam pikiran.”
Saya percaya keluarga besar Muthahhari akan menjadi agen-agen perubahan itu, yang adil sejak dalam pikiran. Mereka akan menjadi garda terdepan dalam upaya mempertahankan kesatuan, persatuan, dan persaudaraan. Sendi-sendi bangsa besar ini akan rubuh, manakala kita begitu rentan didera isu yang sebenarnya rapuh. ***
Miftah F. Rakhmat, Ketua Yayasan Muthahhari Bandung