Paradoks itu karena kita tidak pernah tahu ‘keinginan’ Tuhan. Mana yang Tuhan inginkan, pergi atau tinggal? Membalas atau bersabar? Mendahulukan ibadahNya atau menolong sesama kita? Mana lebih berat, hak Tuhan atau hak sesama manusia?
Kepada mereka, cucunda Sang Nabi terakhir Saw itu berkata: “Barangsiapa di pundak kalian masih ada hak sesama manusia, kembali sekarang juga.”
Bayangkan. Enam bulan lebih perjalanan. Seumur hidup kesetiaan. Tanpa sedikit pun tanya. Di luar sana, pasukan musuh sudah mengepung. Mereka siap berperang. Tapi apa yang terjadi di tenda keluarga Nabi Saw dan para sahabat? Mereka (berusaha) melepaskan hak sesama manusia.
Di antara khazanah Mazhab Ahlul Bait as adalah senarai doa yang indah. Doa yang dibaca bersama. Doa yang dikenali siapa saja di antara mereka. Inilah mazhab yang doa-doa bersamanya dilantunkan para pengikutnya pada waktu yang bersamaan, di seluruh dunia.
Doa Kumail, satu di antaranya. Betapa indah kandungan munajat di dalamnya, menyampaikan permohonan ampunan kita pada Sang Maha Pencipta. Kerendahan diri, ketidakberartian di hadapan harapan akan maha kasih dan sayang Tuhan.
Menariknya, doa panjang itu tak sedikit pun berkisah tentang hak manusia. Semuanya doa antara hamba dengan Tuhannya. Dan tidak ada satu kalimat pun berkaitan penyelesaian hak manusia.
Apa artinya? Hak manusia hanya dapat diselesaikan dengan meminta kerelaannya. Bila ada yang kita ambil haknya, kita jatuhkan kehormatannya, kita gunjingkan, kita fitnah, semua akan harus kita mohonkan maaf dan rela mereka. Doa itu mengajarkan seakan-alan ampunan Allah Yang Mahaluas itu tetap mensyaratkan kerelaan dan maaf sesama manusia.
Mari bayangkan. Kita memaki seseorang di persimpangan jalan. Ia tidak mendengar kita. Tetapi Allah Ta’ala mendengarnya. Kita melihat perawakan orang dan kita komentari. Ia tidak mendengar kita. Tetapi Allah Ta’ala mendengarnya. Apalagi bila satu kaum yang kita sifati: Bangsa itu (dan kita menyebut nama) memang pemalas. Maka semua orang di bangsa itu akan menuntut hak kita. Itulah mengapa fitnah lebih berat (asyadd) tanggungannya dibandingkan pembunuhan.
Mari bayangkan lagi. Orang Syiah misalnya difitnah macam-macam. Punya Al-Quran beda, menista para sahabat, haji ke karbala, melegalkan zina dan semisalnya. Maka setiap orang Syiah sepanjang sejarah akan menuntut hak dari yang memfitnah itu. Setiap orang Syiah. Bayangkan besarnya akibat fitnah itu. Asyadd. Sayang, ia diterjemahkan menjadi (hanya) lebih kejam (dari pembunuhan).
Ketika sekelompok orang memainkan gadgetnya, kita berkata: ini sudah autis semua. Maka para penyandang autis akan menuntut hak atas kalimat yang keluar dari lisan kita. Bayangkan bila mereka tidak rela. Bayangkan bila mereka menuntut kita.
Ah, lisan ini. Terlalu berat hak manusia karenanya. Maka perjalanan ke Karbala tak dapat dimulai tanpa menunaikan hak sesama. Tapi untuk mengetahui kadarnya, kita harus memulainya dari Karbala. Paradoks bukan?
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. [Juz 17 | Al-Anbiya (21) | Ayat: 47].
Sebesar biji sawi pun, orang akan menuntut haknya di timbangan-timbangan keadilan, kelak di hari kiamat nanti. Maka manusia yang paling merugi, ia yang keluarga terdekatnya menuntut haknya.
Ampuni kami Tuhan. Dan pada siapapun, mohon kerelaan dan keikhlasan. Terutama kedua orangtua, istri, anak-anak dan keluarga. Mohon sebenar kerelaan.
Catatan 2, Arba’in Walk 2017, Najaf.
@miftahrakhmat