Marilah kita lihat apa yang telah dilakukan Rasululah untuk mewujudkan revolusi menakjubkan ini. Yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah saw. ialah menanamkan di dalam hati pengikut-pengikutnya kalimah la ilaha illallah. Dia mengajarkan kepada mereka bahwa tidak ada tuhan selain Allah; bahwa selain Dia tidak patut disembah dan dipuja; bahwa semua manusia, betapa pun berkuasanya mereka, hanyalah sesuatu yang kecil dan hina di hadapan Allah. Selanjutnya Alquran mengingatkan mereka bahwa manusia termulia adalah manusia yang paling takwa.
Hal ini memberi kaum Muslimin-awal rasa harga diri, dan sepenuhnya menyirnakan rasa rendah diri mereka. Kaum Muslimin-awal percaya bahwa kemuliaan adalah milik Allah, Nabi-Nya, dan para mukmin. Begitu rasa rendah diri sirna, bersemayamlah di dalam hati mereka rasa harga diri yang konstruktif. Kita semua tahu dari sejarah Islam, bagaimana Ja’far bin Abi Thalib r.a. berdiri dengan gagah berani di hadapan kaisar Etiopia, dengan keyakinan mempertahankan kebenaran Islam. Dan ketika orang bertanya, mengapa kaum Muslimin tidak bersujud di hadapan Kaisar, dengan tegas Ja’far r.a. berkata, “Rasulullah telah melarang kami bersujud di hadapan siapa pun kecuali Allah.”
Kita tahu bagaimana kaum-kaum sederhana dari dusun-dusun terpencil di padang pasir memasuki Istana-istana megah Romawi dan Persia, menolak aturan-aturan keharusan bersujud di hadapan raja-raja manusia. Kita tahu dari sejarah, bagaimana Umar bin Khatthab r.a. menolak pakaian-pakaian raja yang diberikan kepadanya ketika ia memasuki Yerusalem sebagai seorang penakluk nan jaya. Kita dapat menyaksikan bahwa kaum Muslimin-awal tidak terpesona oleh kemegahan duniawi dari apa yang disebut kekaisaran-kekaisaran beradab.
Jika kaum Muslimin dewasa ini ingin mengambil alih peran sebagai penghulu dunia, maka mereka harus memperoleh kembali harga diri ini. Mereka harus mendapat kembali hakikat kalimah tauhid. Banyak dari kita sering tenggelam oleh apa yang kita anggap sebagai kebesaran negeri ini (Amerika—penyuntung), sedemikian terpesona, sehingga kita lupa bahwa kita adalah Muslimin, yang lebih unggul daripada mereka di hadapan Allah. Kadang-kadang kita berusaha menyembunyikan keimanan kita, seolah-olah Islam adalah sesuatu yang mengganggu. Kadang-kadang kita merendahkan assalamu’alaikum hanya karena kita takut dikenal sebagai Muslim. Hampir tidak ada dari kita yang ingin pergi kepada kaum tak beriman, menyerukan kebenaran Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya.
Berkenaan dengan itu, akan kami paparkan tindak kepahlawanan Ibnu Mas’ud r.a. sebagaimana dikisahkan dalam Adhwa’u ‘alal-Hijrah. Dia dikenal sebagai orang yang pertama membacakan Al-Quran kepada kaum kafir setelah Rasulullah saw,: Setelah kaum kafir di Makkah bermufakat melarang orang mendengarkan Al-Quran, para sahabat berkumpul di suatu tempat. Mereka membahas situasi dan berkesimpulan bahwa salah seorang di antara mereka harus membacakan Al-Quran di hadapan kerumunan para kafir dengan kesudian menanggung risiko disiksa. Abdullah bin Mas’ud bersedia melakukan hal itu. Sahabat-sahabat yang lain menolaknya dengan mengatakan: “Kami merasa khawatir tentang dirimu. Yang kami perlukan adalah seseorang yang didukung oleh keluarga-keluarganya yang berpengaruh sehingga mereka bisa mencegah kaum kafir itu dari menyiksanya.”
Sebagaimana sudah Anda ketahui, Abdullah bin Mas’ud adalah salah seorang yang tidak dikenal pada saat itu, seorang biasa. Namun, dia bersikeras melakukan tugas itu. Dia pergi ke pasar dan membaca Al-Quran keras-keras. Sebagaimana telah diduga sebelumnya, mereka menyiksanya. Dia kembali kepada saudara-saudaranya dengan wajah berlumuran darah.
Para sahabat lainnya berkata, “Inilah yang kami khawatirkan.” Abdullah berkata, “Kaum kafir itu belum pernah sedemikian hina di mataku kecuali untuk hari ini. Jika kalian sudi, saya akan mengatakan hal yang sama kepada mereka besok.” “Tidak, Anda telah membacakan kepada mereka apa yang dibenci mereka.”
Pernyataan Abdullah itu dengan indah mencerminkan pengaruh tauhid dalam kehidupannya. Di dunia saat ini, ketika semua filsafat telah gagal membawakan kepada manusia kedamaian dan kebahagiaan, kita membutuhkan banyak Ibnu Mas’ud, yaitu orang-orang yang merasa tidak hanya bangga sebagai Muslim, tetapi juga bersedia menanggung risiko demi keimanan mereka.
Kita perlu mendapat kembali milik kita yang telah hilang: harga diri. Sekali Anda kehilangan hal itu, dengan mudah Anda tunduk kepada kemegahan kultur Barat. Sekali Anda mendapatkan hal itu, dengan mudah Anda mendeteksi kemerosotan peradaban ini.
“Kamu adalah sebaik-baik umat, yang telah dibangkitkan untuk umat manusia. Kamu serukan kebaikan, dan kamu cegah kerusakan; dan kamu beriman kepada Allah. Dan jika ahlul-kitab telah beriman, maka hal itu lebih baik bagi mereka. Sebagian dari mereka beriman, tetapi kebanyakan dari mereka adalah pelaku-pelaku keburukan (QS.Ali Imran[3]:110).
“Dan kemuliaan hanyalah bagi Allah, Nabi-Nya, dan mereka yang beriman” (Q.S.Al-Munafiqun [63]:8).
Adalah menarik untuk dicatat bahwa kata al-izzah (kemuliaan) juga disebutkan dalam Al-Quran sebagai salah satu watak Muslim dalam berhubungan dengan kaum kafir – maka kita perlu sekali menunjukkan izzah kita kepada kaum kafir. Di lain pihak, kita perlu menunjukkan kerendahan hati kita kepada saudara-saudara seiman:
“Wahai orang-orang beriman! Bila di antara kamu menolak agama ini, maka Allah akan mendatangkan kaum yang dicintai oleh Allah dan yang mencintai-Nya, mereka menunjukkan kerendahan hati terhadap para Mukmin, dan kemuliaan terhadap kaum kafir, bersungguh-bersungguh di jalan Allah, dan tidak takut akan kutukan orang-orang yang mengutuk” (QS.Al-Maidah [5]:54).
Penting pula untuk dicatat bahwa al-izzah yang patut kita benggakan bukanlah didasarkan atas kebangsaan dan harta. Allah mengaruniakan kemuliaan bukan kepada mereka yang terkaya, bukan pula kepada mereka yang lahir dalam bangsa tertentu. “Yang termulia di antar kamu ialah yang paling takwa.” Umat terbaik ialah umat yang menyerukan kebaikan dan melarang kemungkaran sementara mereka beriman kepada Allah. Anda adalah yang termulia, jika Anda beriman. Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Nabi-Nya, dan para mukmin.
Untuk mengakhiri khotbah pertama ini, baiklah saya ingatkan Anda dan diri saya bahwa untuk memperoleh kembali kegemilangan Islam, hendaknya kita raih kembali milik kita yang hilang: harga diri sebagai Muslim. Di dalam Islam tiada jalan untuk membanggakan ras, kebangsaan, kekayaan, atau pendidikan; di dalam Islam tiada jalan untuk memuliakan segala sesuatu di luar Islam. Mengemukakan identitas Anda sebagai Muslim, memperoleh kemuliaan dengan merendahkan diri di hadapan Allah, menunjukkan kemuliaan Islam di hadapan para kafir, haruslah menjadi kebanggaan kita. Tetapi, membanggakan ras, kekayaan, dan keintelekan Anda, merupakan al-kibr (kesombongan). Kepada yang pertama dijanjikan kemenangan; kepada yang kedua kehancuran.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa memiliki sedikit saja kesombongan di dalam hatinya, maka ia tidak akan masuk surga” (HR Ahmad dan Thabrani).***
SUMBER buku karya Jalaluddin Rakhmat, “Khotbah-khotbah di Amerika” (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993; halaman 9-15)