Hadist ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Turmudzi, Ibnu Hibban, Tafsir at-Thobari dan banyak kitab tafsir yang meriwayatkan hadist ini. Menurut Albani, hadist ini shahih.
Pelajaran yang dapat diambil dari hadist ini adalah bahwa Rasulullah Saw berbuka pada waktu berada dalam perjalanan dan menyuruh para sahabatnya berbuka. Saya tidak tahu bagaimana harus menafsirkan Ibu Saeni itu yang membuka rumah makannya untuk memberikan kesempatan kepada para musafir dan orang-orang yang tidak berpuasa tetap bisa makan pada waktu siang.
Dalam al-Qur'an setelah ayat-ayat tentang puasa, yang Allah Swt sebut setelah kewajiban puasa adalah hak orang untuk tidak berpuasa,
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍ ؕ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ؕ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ ؕ .....
(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.....
[QS. Al-Baqarah: Ayat 184]
Dan ayat ini diulang dua kali,
...وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ؕ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِکُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِکُمُ الْعُسْرَ ۖ ...
.... Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..... [QS. Al-Baqarah: Ayat 185]
Artinya di situ Allah SWT memberikan penghormatan. Bukan kepada yang berpuasa, tapi kepada orang-orang yang tidak berpuasa supaya mereka diberi hak untuk bisa berbuka pada waktu siang hari, di situ ada orang tua dan orang sakit.
Saya amat mengapresiasi komentar Menteri Agama pada puasa (Ramadhan) tahun yang lalu bahwa kita harus menghormati orang yang tidak berpuasa. Menteri memiliki keberanian untuk tidak mengikuti political correctness dalam menyampaikan pendapatnya, meskipun waktu itu Komisi VIII DPR menyerangnya habis-habisan.
Terakhir, izinkan saya menceritakan sebuah hadis. Suatu saat Nabi Muhammad saw melihat ada seorang perempuan yang sedang duduk bersama perempuan yang lain. Lalu, Nabi panggil perempuan itu. Nabi sediakan makanan bagi dia. “Makanlah kamu,” kata Nabi. Tapi perempuan itu berkata, “saya puasa.” Nabi Muhammad saw berkata, “kaifa takuuniina shaaimatan wa sababti jaariatan, bagaimana kamu dihitung puasa lalu kamu maki-maki tetanggamu.”
Bagaimana kita mau menghormati orang berpuasa dengan merampas hak orang yang tidak berpuasa, merampas hak orang miskin untuk mencari nafkah pada bulan puasa. Jadi kesimpulannya berbeda dengan yang lainnya, saya tetap akan membuka warung saya di bulan puasa.
[Penjelasan KH Jalaluddin Rakhmat dalam rapat komisi 8 DPR RI, bulan Juni 2016. Ditranskrip oleh Amrullah Arafat, Ijabiyyun dari Makassar]