Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Saya sudah menduga, cepat atau lambat sekolah akan diizinkan tatap muka. Banyak faktor, di antaranya, dugaan saya, karena pesantren juga sudah memulainya. Dan toh, meski ditemukan beberapa kasus positif di Pesantren, tak ada arahan untuk menutup kegiatan pesantren seluruhnya. Demikian ini agak berbeda dengan keterangan Pemerintah untuk sekolah umum.
Apa yang disampaikan Mas Menteri waktu itu? Di antaranya, tahun ajaran baru tetap dimulai pertengahan Juli 2020. Sekolah hanya boleh tatap muka bila daerah (belum ditentukan tingkat kecamatan atau kota/kabupaten) sudah ditetapkan sebagai zona hijau. Dan, Sekolah Dasar baru boleh masuk dua bulan setelah Sekolah Menengah. Itu pun dengan catatan, tidak ada kasus baru ditemukan. Ada pembicaraan tentang anggaran, tapi minim sekali evaluasi tentang kegiatan pembelajaran. Berkembang juga dinamika tentang pembelajaran jarak jauh yang mungkin diperpanjang. Setidaknya, hingga awal semester depan.
Dan, baru tiga minggu tahun ajaran baru berjalan, sudah hadir pengumuman berikutnya. Lagi-lagi bersifat penyampaian. Kali ini, Pak Mendagri ikut bergabung. Ada lima menteri yang menghasilkan kebijakan SKB empat kementerian. Hasilnya, sekolah boleh tatap muka jika sudah zona kuning (sebelumnya hijau). Sekolah Dasar boleh masuk bersamaan dengan Sekolah Menengah (sebelumnya dua bulan setelahnya). Dan, orangtua tetap boleh mengizinkan anak tidak berangkat ke sekolah.
Apa yang saya tangkap? Seakan-akan, Pemerintah, Kemendikbud dalam hal ini, minim kajian. Dalam tiga minggu terjadi perubahan kebijakan. Dalam pemaparan tidak disebutkan jenis studi yang dilakukan. Para pakar pendidikan merasa tidak diajak bicara. KPAI bersuara, PGRI, hingga Komisi DPR RI. Mengapa mereka seperti terkejut? Tidakkah mereka dimintai masukan untuk itu? Minimal, ketika sekolah tengah bergiat mempersiapakan bentuk terbaik untuk Pembelajaran Jarak Jauh yang diharapkan dari kebijakan sebelumnya.
Berikut beberapa catatan saya. Pertama, Pak Presiden menyampaikan keprihatinan karena kurangnya aura krisis di tengah masyarakat. Lalu, meminta agar Sekolah diizinkan tatap muka?
Kedua, Mas Menteri menyampaikan keluhan orangtua tentang pembelajaran jarak jauh ini. Kemendikbud sudah sangat tepat dengan kebijakan kurikulum darurat. Artinya, itu jawaban untuk ‘kerepotan’ orangtua. Meski hanya terjadi di beberapa perkotaan, siapkah orangtua ‘menukar’ kerepotan mereka dengan resiko penularan? Benar, begitu banyak evaluasi PJJ. Mari rumuskan solusinya. Mencari tikus tidak harus dengan membakar lumbungnya.
Ketiga, Sekolah diizinkan tatap muka. Berbeda dengan pesantren yang anak santrinya pulang ke pondok, bagaimana Sekolah dan Orangtua menjamin anak-anak akan pulang langsung ke rumah. Bagaimana dapat dipastikan mereka tidak berkumpul dulu, bermain dulu, berkerumun yang memungkinkan penurunan aura krisis tadi?
Keempat, orangtua boleh tidak mengizinkan anaknya ke sekolah. Dengan kapasitas tatap muka yang 50 persen, maka skenario yang mesti disiapkan sekolah adalah: mempersiapkan dua pembelajaran tatap muka, atau satu tatap muka dan satu layanan bagi anak yang tetap di rumah. Double shift untuk para guru. Lalu, kebijakan 50 persen dari jumlah anak, bagaimana bila di beberapa sekolah negeri, ada lebih dari 50 peserta didik. Maka kategori 50 persen tetap berpotensi membentuk kerumunan anak lebih dari 20 orang.
Kelima, saya selalu berharap krisis adalah kesempatan yang dihadirkan alam untuk memaksa perubahan. Dengan krisis ini, guru-guru bergerak ke arah digitalisasi pembelajaran. Mereka dituntut untuk mencari beragam pendekatan. Setelah kebijakan Pemerintah yang pertama, sekolah-sekolah berupaya untuk berinovasi. Guru-guru belajar kembali. Mereka memperkaya kemampuan diri. Mereka mengasah kemampuan berteknologi. Semangatnya sudah ada. Kondisi mengantarkan pada perubahan. Bukankah itu yang ditunggu selama ini dari Mas Menteri yang mewakili generasi milenial. Mas Menteri ‘dibantu’ alam untuk lebih cepat mengantarkan perubahan itu.
Mungkin ini tulisan saya yang kesekian, mengomentari dinamika pendidikan. Kiranya, dalam menumbuhkan aura krisis yang diharapkan Pak Presiden, alangkah baiknya bila kita mengurangi polemik dalam perbincangan. Ajaklah serta para stakeholder pendidikan. Bincangkan bersama. Raih keputusan bersama. Terkesan, dengan banyaknya komentar, seakan-akan kebijakan yang dihasilkan minim kajian. Mudah-mudahan saya salah.
Tentu, kami para guru sangat rindu bertemu kembali dengan anak-anak. Tentu, tak ada yang dapat menggantikan kebersamaan dan kehangatan di ruangan kelas. Bila saja, penyampaian kebijakan itu disertai paparan akan kajiannya, didiskusikan bersama dengan masyarakat, dan disosialisasikan secara bertahap pada para orangtua, bukan tidak mungkin kita dapat bersiap mengambil resiko untuk tatap muka itu, dengan kesadaran bersama. Dengan keputusan bersama. Adakah itu terlalu berlebihan untuk meminta? ***
@miftahrakhmat