Lelucon Nasrudin harus kita terima dengan hati yang terbuka karena ia bersifat terbuka, ia mengundang banyak penafsiran, dan tak ada interpretasi yang paling benar. Karena sifatnya yang terbuka, kisah Nasrudin bukan hanya milik orang Turki, Arab, atau Iran. Ia milik seluruh umat manusia yang masih mempunyai hati nurani. Tidak boleh ada yang tersinggung. Nasrudin tidak mencemooh anda secara partikular ia menyindir manusia secara universal. Orang seperti Nasrudin ada dimana-mana. Ia bisa bernama Si Kabayan di Jawa Barat, Si Lebay malang di Sumatera Barat atau Bahlul di negara-negara timur tengah. Pesan mereka sama: tertawalah melihat ketololan-ketololan yang anda lakukan sebelum ditertawakan orang lain. “Mulla Nasrudin”, tulis Ablahi Mutlaq -nama ini berarti kebodohan mutlak, dalam ajaran Nasrudin, “Adalah penghulu para darwis dan perbendaharaan rahasia, manusia sempurna. Banyak orang berkata: Aku ingin belajar, tapi disini aku hanya menemukan kegilaan. Tetapi sekiranya mereka mencari kearifan yang dalam di tempat lain mereka tidak akan menemukan-nya.”
Pada saat-saat krisis seperti sekarang, marilah kita mencari kearifan yang dalam dari kegilaan Nasrudin. Bacalah sebagai hiburan ringan, tak lebih dari itu saya akan mengisahkan kepada anda kisah Nasrudin seperti diceritakan Idrisyah dalam The subtieties oy the inimitable Mulla Nasrudin.
“Jika tidak ada di antara kalian seorang yang dapat mengatakan sesuatu yang menghiburku”, teriak seorang raja yang tiranis dan kecapaian, ”aku akan memotong leher semua orang yang berada di istanaku”. Mulla Nasrudin segera menghadap”, Baginda, jangan potong kepalaku, hamba akan melaku-kan sesuatu”. “Apa yang dapat kamu lakukan?” “Hamba dapat mengajari keledai membaca dan menulis”. Raja berkata, ”Sebaiknya kamu mengerjakannya, jika tidak aku akan mengulitimu hidup-hidup”. “Hamba akan melakukannya“, kata Nasrudin, “tetapi perlu waktu sepuluh tahun”. “Tidak apa-apa”, kata raja, “Kamu punya waktu 10 tahun”.
Ketika pertemuan itu sudah selesai, para pembesar mengerumuni Nasrudin, “Mulla”, kata mereka, ”Betulkah anda dapat mengajar keledai membaca dan menulis”. “Tidak” kata Nasrudin, ”kalau begitu”, kata pembesar yang bijak”, “Anda hanya mendatangkan ketakutan dan kecemasan selama satu dasa warsa. Sebab, pada akhirnya anda akan dihukum mati. Ah betapa tololnya, lebih menyukai 10 tahun penderita-an dan memikirkan kematian ketimbang satu tebasan kilat pedang algojo”. “Anda lupa satu hal”, kata Mulla, “Raja kita sekarang berusia 75 tahun dan aku berusia 80 tahun. Lama sebelum waktu itu habis, unsur-unsur lain akan masuk ke dalam cerita”.
Berikut ini satu cerita Nasrudin lagi dari buku Idries Shah yang sama, tetapi berjudul The Exploits of the incomparable Mulla Nasrudin . Di seluruh negeri terjadi keresahan. Raja mengirim delegasi kebudayaan ke setiap desa untuk mententramkan rakyat. Kemanapun mereka datang, rakyat sangat terkesan. Dari mereka orang dapat belajar ilmu pengetahuan dan keahlian. Salah seorang di antara mereka pengarang, yang lainnya ulama, dan yang ketiga anggota keluarga kerajaan. Ada ahli hukum, prajurit, saudagar dan banyak lagi. Pada setiap tempat yang mereka datangi, mereka mengadakan pertemuan di ruang yang terbuka. Orang-orang berkumpul dan mengajukan pertanyaan.
Ketika sampai ke desa Nasrudin, pertemuan besar yang dikepalai oleh walikota, menyambut rombongan tersebut. Pertanyaan diajukan dan dijawab. Setiap orang terkesan atau setidak-tidaknya terpengaruh oleh kebesaran delegasi. Nasrudin datang terlambat. Sebagai tokoh lokal, ia didesak untuk duduk di depan. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” tanya Nasrudin.
Ketua rombongan tersenyum ramah, “Kami ini serombongan ahli, Kami datang ke sini untuk menjawab semua pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh rakyat sendiri. Dan Anda sendiri, maaf, siapakah Anda?”
“Oh, saya,” kata Nasrudin tanpa berpikir panjang. “Anda harus mempersilakan saya naik ke mimbar”. Ia naik menuju tempat para tamu penting. “Saya datang ke sini untuk menjawab pertanyaan yang tidak Anda ketahui jawabannya. Bisakah kita mulai dari hal-hal yang membingungkan Anda, wahai para ahli yang terkemuka?”
Saya mengakhiri tulisan ini setelah mendengarkan diskusi yang menarik dari para ahli dalam televisi tentang penerapan CBS di Indonesia. Saya tidak akan berpretensi bahwa kisah Mulla Nasrudin relevan dengan diskusi itu. Ia relevan dengan apa pun yang kita pikirkan.***
(Artikel ini pernah dimuat dalam media UMMAT, No. 33 Thn.III 9 Maret 1998/10 Zulkaidah 1418 H; dan dimuat kembali dalam Buletin Al-Tanwir, Nomor 111 Edisi 15 Maret 1998)