Penyaksian ini sama dengan “ketertarikan ilahiah” (jadhbah) di kalangan kaum gnostik yang mengalihkan perhatian orang yang memusatkan dirinya kepada Tuhan semata, untuk berpaling ke alam transenden dan menghidupkan kecintaan kepada Tuhan di dalam hatinya. Karena ketertarikan ini, dia melupakan apapun yang lain. Seluruh keinginan dan harapannya yang beraneka macam hilang dari pikirannya. Ketertarikan ini membimbing manusia pada pemujaan dan pemujian Tuhan Yang Tak Nampak, yang dalam realitas justru lebih terang dan lebih jelas dibandingkan segala sesuatu yang bisa dicapai oleh indra penglihatan dan pendengaran. Ketertarikan batin seperti inilah yang sebenarnya dibawa oleh agama-agama di dunia, yakni agama-agama yang didasarkan pada pemujaan kepada Tuhan.[1]
‘Allamah Thabathaba’i, seorang filosof dan mufasir berpengaruh di kalangan mazhab ahlul bait, menjelaskan di dalam kutipan di atas apa yang kita defenisikan di kalangan akademisi saat ini sebagai “pengalaman mistis”, “pengalaman spiritual”, atau sederhananya “pengalaman religious”. Bagaimana kita bisa mencapai kebahagiaan spiritual ini? Menurut Thabathaba’i, Anda tidak mencapainya. Anda hanya membuka “sebuah alam realitas baru” yang sebelumnya terhijabi. Anda membangunkan hati Anda melalui penyempurnaan ruh, pensucian jiwa, atau setidaknya dengan penjernihan pikiran Anda. Anda berikhtiar untuk memalingkan perhatian Anda dari aktifitas dan kebutuhan sehari-hari kepada dorongan fitrah, yakni dorongan untuk mencari Realitas Tertinggi.
“(Tapi) Anda tidak perlu melakukan itu”, kata ahli syaraf, sekelompok orang yang menghabiskan hidupnya untuk mempelajadi masalah otak, yang secara teknis disebut sebagai sistem syaraf. “Anda bisa sampai pada pengalaman mistis seperti itu ketika otak Anda mengalami kerusakan!” Hal itu terjadi pada Dr Jill Bolte Taylor, seorang ahli anatomi syaraf, pada tanggal 10 Desember 1996. Salah satu pembuluh darah di dalam otaknya pecah dan dia mengalami stroke pada waktu itu. Dia menyebut kejadian itu “stroke saya yang mencerahkan” (my stroke of insight). Presentasinya yang hanya 18 menit membuat hadirin terkagum-kagum pada konferensi TED di Monterey, CA, tanggal 27 Pebruari 2008 ketika dia menceritakan kejadian itu dengan cara yang sangat teatrikal – tepatnya dengan gaya puitis.[2]
Di pagi hari ketika stroke itu terjadi, saya bangun dengan rasa sakit yang sangat menyiksa di belakang mata kiri saya. Rasa sakitnya itu aneh, menusuk, seperti halnya jika Anda mengigit es krim. Sakitnya mencengkeram lalu melepaskan saya. Sakitnya mencengkeram saya lagi, lalu melepaskan saya kembali. Sebenarnya saya jarang merasakan rasa sakit, makanya saya berpikir tidak ada masalah dan saya akan memulai aktifitas rutin saya lagi. Lalu saya bangkit dan melompat ke atas cardio glider saya, sebuah mesin untuk latihan pisik secara keseluruhan. Dan selanjutnya saya terperangkap dalam suatu keadaan yang benar-benar lain. Saya lalu sadar bahwa kedua tangan saya terlihat seperti kuku-kuku makhluk primitif yang mencengkeram bar pegangan cardio glider. Saya berpikir “ini benar-benar luar biasa”. Saya kemudian memandangi bagian bawah tubuh saya dan berpikir, “wow, saya adalah sesuatu yang nampak aneh”. Saat itulah kesadaran saya seolah-olah berpaling dari persepsi normal saya tentang realitas; saya adalah seseorang yang merasakan suatu pengalaman di atas sebuah mesin, berada di suatu ruang esoteris, dimana saya menyaksikan diri saya sendiri merasakan pengalaman ini…
Dan awalnya saya kaget menemukan diri saya sendiri berada di dalam suatu pikiran yang diam. Tetapi kemudian tiba-tiba saya tertarik oleh kekuatan energi di sekeliling saya. Dan karena saya tidak bisa lagi mengenali ciri-ciri tubuh saya sendiri, saya kemudian merasa sangat besar dan mengembang. Saya merasakan semua itu bersama dengan kekuatan energi tadi, dan betapa indahnya berada di tempat itu.
Dan tiba-tiba saja sisi kiri saya kembali normal dan mengatakan kepada saya, “hei, kita dapat masalah, kita dapat masalah, kita harus mencari bantuan”. Rasanya seperti, ya, ya, benar saya sedang dapat masalah, tetapi saya langsung kembali hanyut ke alam sadar dan saya dengan indahnya menyebut tempat ini sebagai Tanah La La. Disana benar-benar indah. Bayangkanlah bagaimana rasanya benar-benar terputus dari otak Anda lalu terhubung dengan dunia eksternal. Dan disinilah saya, di ruang dimana semua beban pikiran yang berhubungan dengan apapun yang saya lakukan, yang berhubungan dengan kerjaan saya, hilang semuanya. Saya merasakan badan saya lebih ringan. Dan bayangkanlah semua hubungan di dunia eksternal dan apa saja yang menjadi sumber beban yang berhubungan dengan itu semua, akan lenyap. Saya merasakan kedamaian. Bayangkanlah bagaimana rasanya kehilangan beban emosional yang sudah mendera selama 37 tahun! Saya merasa bahagia. Rasa bahagia itu indah – dan kemudian sisi kiri saya kembali normal dan mengatakan, “hei, kamu harus benar-benar serius, kita memerlukan bantuan”. Dan saya bepikir, “saya harus mendapatkan bantuan, saya harus fokus”. Maka saya kemudian keluar dari kamar mandi dan secara mekanis kemudian mengenakan pakaian. Selanjutnya saya berjalan di sekitar apartemen saya. Dan saya berpikir, “saya harus pergi ke tempat kerja, saya harus pergi ke tempat kerja, bisakah saya menyetir mobil? Bisakah saya menyetir mobil?”
Tetapi saya menyadari, “saya masih hidup! Saya masih hidup dan saya mencapai Nirwana. Dan jika saya sudah mencapai Nirwana sementara saya masih hidup, maka itu berarti semua orang yang masih hidup bisa mencapai Nirwana.” Saya menggambarkan suatu dunia yang diisi dengan orang-orang yang rupawan, tenang, penuh kasih sayang, dan cinta; yang mengetahui bahwa mereka bisa sampai ke tempat ini kapan saja. Mereka bisa memilih sesuai keinginan untuk melangkah ke sisi kirinya dan menemukan kedamaian ini. Saya lalu menyadari betapa pengalaman ini bisa menjadi karunia luar biasa, bagaimana stroke yang mencerahkan ini bisa menjadi cara kita memilih bagaimana menjalani hidup. Dan itulah yang memotivasi saya untuk bisa pulih kembali.”
Apa yang dipresentasikan oleh Dr Taylor sebagai “dunia yang diliputi orang-orang rupawan, tenang, penuh kasih sayang, dan perasaan cinta”, sama dengan yang dijelaskan oleh ‘Allamah Thabathaba’i sebagai “keindahan realitas abadi”. Anda memiliki dua alam realitas: dunia pisik dari keterputusan, keberagaman dan keterpisahan; dan alam spiritual dari keterhubungan, kemanunggalan dan penyatuan. Keduanya adalah bagian-bagian yang membentuk Anda seutuhnya. Anda sekarang hidup di alam yang pertama, tetapi Anda memiliki di dalam diri Anda “dorongan batin” untuk menemukan alam yang kedua. Andrew Newberg, seorang ahli syaraf terkenal menjelaskan, “setelah sembuh total, Dr Taylor mengatakan bahwa dia dapat dengan mudah berpindah dari dan ke sisi saintifik dan transenden otaknya. Pengalaman Dr Taylor ini mendukung pendapat bahwa kita semua memiliki kemampuan batin untuk mencapai dua bagian istimewa dari diri kita ini – sebuah pendapat yang didukung oleh riset kita tentang otak di Universitas Pennsylvania.[3]
‘Allamah Thabathaba’i memasukkan diskusi tentang pengalaman religius sebagai bagian dari penjelasannya tentang teologi Islam, menyebutnya sebagai salah satu dari tiga metode pemikiran keagamaan. Beliau menyebut pengalaman keagamaan tersebut sebagai “metode ketiga dari intuisi intelektual atau penyingkapan mistis”. Andrew Newberg mempelajari bagian-bagian otak sebagai dasar bagi adanya pengalaman religius dan kemudian melahirkan ilmu neurotheology. Saya tidak akan membahas masalah pertama dan menyerahkannya kepada pengkaji yang sudah akrab dengan subjek kajian mistisisme Islam. Tulisan ini akan lebih fokus kepada bagian kedua dalam pembahasan yang sederhana, dengan tujuan untuk memperkenalkan neurotheology kepada pemikir-pemikir Islam.
Daripada menyimpan kecemasan dan kecurigaan kepada neurotheology sebagai penodaan terhadap agama yang kita anut, akan lebih baik jika kita bisa melihatnya sebagai argumen pendukung terhadap pemahaman kita tentang pengalaman keagamaan. Pertama-tama, saya akan memberikan penelitian ringkas tentang perkembangan neurotheology, dengan lebih berfokus pada isu-isu tentang pengalaman religius berbasis otak. Dengan kata lain, kita akan melihat bagaimana para saintis mencoba menjawab pertanyaan: apakah otak yang menciptakan Tuhan? Selanjutnya, saya akan menjelaskan pertanyaan kedua: apakah Tuhan yang menciptakan otak? *** (bersambung)