Manusia pada zaman kuno menemukan penyakit yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman supranatural, kesurupan, atau hal-hal yang bersifat ilahi. Saat ini kita menyebut penyakit tersebut epilepsi. Orang-orang dari zaman kuno itu percaya bahwa penderita penyakit tersebut kemungkinan disebabkan oleh dua hal: diserang oleh setan dan jin, atau disentuh oleh tangan ilahi.
“Manusia harus mengetahui bahwa dari otak, dan hanya dari otak saja, lahir semua perasaan bahagia, kenikmatan, tawa dan canda; demikian juga perasaan duka, sakit, kesedihan, dan air mata… dan melalui organ yang sama, kita bisa menjadi gila dan lupa daratan, memiliki rasa takut dan kengerian yang mengganggu kita.”
Selama berabad-abad, mereka menyebut epilepsi sebagai penyakit suci, morbus divinus, morbus deificus (diciptakan oleh Tuhan), morbus coalestis (penyakit dari langit), morbus astralis (penyakit yang disebabkan oleh bintang), morbus lunaticus (penyakit yang disebabkan oleh bulan). Dan pada masa Pencerahan-lah epilepsi tidak dihubungkan lagi dengan dosa dan pelanggaran hukum, juga tidak berhubungan dengan karunia dan pemberian Tuhan. Setelah masa ini, dokter kemudian meneliti epilepsi sebagai gangguan otak. Untuk tujuan ini, psikiatri syaraf kemudian lahir sebagai satu cabang ilmu yang menggabungkan antara neurologi (ilmu tentang syaraf dan penyakit-penyakitnya) dan psikiatri (ilmu yang mempelajari tentang pikiran dan masalah-masalahnya). Mereka juga menemukan hubungan antara epilepsi dan agama. Beberapa psikiater bahkan bergerak lebih jauh dan membuat hipotesa bahwa tokoh-tokoh agama yang besar seperti Rasul Paul, Joan dari Arc, Theresa dari Avila (mereka bahkan menyebut Nabi kita Muhammad Saw), telah menderita penyakit yang disebut temporal-lobe epilepsy (TEL) atau epilepsi lobus temporer.
Tidak lama setelah itu, di akhir abad 19, para peneliti pengalaman religius mengidentifikasi orang-orang yang memiliki pengalaman ilahiah yang bukan disebabkan oleh epilepsi atau kerusakan otak. Lebih dari seratus tahun yang lalu, William James menjelaskan “Agama dan Neurologi” di dalam ceramah pertamanya di Glifford, yang kemudian diterbitkan dengan judul The Varieties of Religious Experience (buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Mizan tahun 2004 dengan judul Perjumpaan Dengan Tuhan, Ragam Pengalaman Religius Manusia, pent.). James menguji kondisi kognitif pikiran religius yang sehat. Beliau mengindikasikan bahwa daerah tertentu di otak mempunyai pengaruh di dalam pengalaman religius. Namun hal itu bukan berarti bahwa otak lah yang menciptakan agama. Juga bukan berarti bahwa pengalaman religius disebabkan oleh gangguan atau kerusakan pada otak. Karena teknologi untuk meneliti otak pada saat itu masih belum berkembang, James belum bisa mengembangkan neurologi yang berhubungan dengan pengalaman religius. Beberapa aspek dari pengalaman religius seperti yang dijelaskan oleh James, telah ditelusuri lebih jauh di berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, antropologi, dan sosiologi. Hanya saja, penelitian James di dalam neurologi tidak terlalu diperhatikan hingga tahun 1970.[5]
Pada tahun 1970, penelitian James di dalam neurologi yang berhubungan dengan pengalaman religius direspon dengan menarik oleh sebuah kelompok psikiater syaraf yang meneliti orang-orang yang mengalami obsesi religius yang hebat, yang sekali lagi, berasal dari pasien dengan TEL. Awal tahun 1980, Michael Persinger menulis dan menerbitkan artikel yang berhubungan dengan pengalaman religius dan aktifitas otak.[6] Belakangan, Persinger menulis buku tentang psikologi syaraf yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan religius. Beliau menunjukkan bahwa pengalaman religius disebabkan oleh ketidaknormalan elektris singkat di dalam lobus temporer. Setiap orang bisa merasakan pengalaman dengan Tuhan karena lobus temporer itu telah mengembangkan caranya sendiri untuk mencapai kondisi itu. Pengalaman dengan Tuhan pada dasarnya adalah artefak biologis pada otak. Persinger mengikuti mayoritas saintis yang berpendapat bahwa otak yang menciptakan Tuhan. Persinger bersikeras bahwa stimulus yang berbeda-beda di dalam setting pengalaman religius seperti musik, ayunan dan tarian, wewangian yang repetitif, dapat memantik kondisi lobus temporer yang pada akhirnya menciptakan pengalaman tentang Tuhan. Sayangnya, Persinger tidak memberikan bukti saintifik atas hipotesisnya. Beliau juga tidak menyediakan data empiris bahwa keyakinan terhadap Tuhan adalah “suatu virus kognitif” dan angan-angan.
Rhawn Joseph melanjutkan hipotesis Persinger dengan meletakkan fondasi pengalaman religius dan spiritual pada struktur sistem limbik (otak) – amygdala, hippocampus, dan lobus temporer inferior. Struktur otak ini yang juga berpengaruh pada seksualitas, rasa marah, dan perlakuan yang sadis. Joseph ingin mengatakan bahwa orang-orang religius cenderung kepada kekerasan, gangguan seksual, dan pembunuhan. Namun, Joseph mengakui anggapan yang masuk akal bahwa otak mungkin berkembang karena terdapat dunia spiritual dimana sistem limbik mungkin berhubungan dengan Tuhan, bahwa “pemancar Tuhan” ini (merujuk kepada sistem limbik) mungkin saja bertahan karena memiliki hubungan dengan realitas spiritual.[7]
Joseph telah dikritik karena penjelasannya yang reduksionistik. Ide yang cukup terkenal tentang lokalisasi otak – seperti halnya otak kanan dan otak kiri, atau fungsi-fungsi khusus pada bagian otak tertentu – menafikan fakta bahwa otak bekerja sebagai satu kesatuan, bukan sebagai modul-modul yang bebas dan tak berhubungan satu sama lain. Kritik ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Carol Albright, juga telah digunakan untuk “mengoreksi” asumsi Dr Jill Bolte Taylor. Ketika memisahkan otak kiri dan otak kanan, Taylor sedang menceritakan suatu metafora ketimbang memberikan bukti saintifik. Taylor tidak menjelaskan sains; dia sedang membaca puisi. Oleh karena itu, menurut Albright, sistem limbik bukanlah struktur “modul Tuhan” yang tunggal, atau “pemancar Tuhan”. Otak bekerja sebagai hasil dari interkoneksi yang kompleks dari area-area yang terdapat di otak. Karenanya, otak secara keseluruhan terlibat di dalam pengalaman religius atau pengalaman dengan Tuhan. Praktik-praktik keagamaan mungkin bisa mengontrol otak reptil dengan memberikan petunjuk di dalam sikap seksual dan kekerasan. Otak mamalia memberikan emosi dan daya ingat, serta membantu kita untuk membangun hubungan yang bermakna dengan Tuhan. Akhirnya, kita sampai pada bagian terpenting pada otak: korteks serebral. Inilah bagian otak yang memiliki daya pikir[8]:
Melingkupi dua bagian otak terdapat korteks serebral yang menyediakan apa yang sebagian besar orang anggap sebagai ciri khas manusia, termasuk bahasa. Korteks serebral juga adalah area dimana banyak informasi yang diproses di bagian-bagian otak yang lain, disatukan dan diolah sehingga kita bisa membuat keputusan dan penilaian. Pengalaman religius akan melibatkan semua area ini: pengalaman mistis, cinta dan kekerabatan, sistim limbik, berbagai jenis ritual, otak reptil, serta ketajaman dan pemahaman terhadap panggilan dari Tuhan, korteks serebral (misalnya, lobus frontal)..
Persinger, Joseph, Albright, telah mencoba untuk mengidentifikasi dimana letak “Titik Tuhan” di dalam otak sebagai fondasi neurotheology. Lebih spesifik, mereka telah memulai setengah bagian pertama neurotheology yang mencapai kesimpulan bahwa “otak yang menciptakan Tuhan”. Kembali ke Dr Jill Bolte Taylor, mereka telah mempelajari bagian pertama dari pencerahan Taylor tentang stroke. Mereka menemukan bahwa “alamat” pengalaman religius terdapat pada sisi kanan otak Anda. Hal itu juga menjadi kesimpulan dari “pencarian tak berujung akan pengetahuan tentang Tuhan” dari para ateis tulen, seperti yang direpresentasikan oleh Mathew Alper[9]:
Satu hal yang saat ini saya bisa katakan tentang kepastian empiris Tuhan adalah bahwa Tuhan itu hanyalah satu kata; yang sebagaimana semua kata, ia lahir dari dalam otak manusia. Hal ini berarti satu-satunya fakta yang saya miliki sekarang tentang sifat keberadaan Tuhan, tidak datang dari sesuatu yang saya pahami dari atas, dari “di luar sana”. Tetapi ia justru datang dari sesuatu yang lahir dari dalam. Lebih spesifik, dari hasil kerja organ pisik saya, otak – dan bukan hanya otak saya saja, tetapi dari semua otak dari hampir semua orang dari setiap budaya sampai masa awal kelahiran spesies saya.
Sampai disini bukanlah akhir pencarian ini. Bagian ini baru setengah perjalanan. Memang, ini adalah perjalanan panjang sejak dari zaman dahulu kala. “Untuk mengevaluasi latar belakang historis neurotheology, kita harus mempelajari sejarah beberapa ribu tahun yang lalu untuk melihat bagaimana tradisi religius telah mempertimbangkan adanya hubungan antara pikiran dan usaha seseorang untuk berinteraksi dengan beberapa realitas yang lebih tinggi,”[10] demikian tulis Andrew Newberg, salah seorang pendiri disiplin ilmu baru yang disebut neurotheology. Beliau masih menulis disiplin ilmu baru ini dalam tanda petik, sebagaimana yang beliau katakan ketika memberikan defenisi: “’Neurotehology’ adalah bidang studi dan riset yang unik yang mencoba untuk memahami hubungan, yang secara spesifik antara otak dan teologi, dan secara luas antara pikiran dan agama.”[11]
Terdapat dua jenis hubungan tersebut: bagian pertama adalah bagaimana otak menciptakan Tuhan, dan bagian kedua adalah bagaimana Tuhan menciptakan otak. Di dalam istilah kita sekarang: bagaimana otak membentuk pengalaman religius dan bagaimana pengalaman religius memiliki pengaruh terhadap otak. Andrew Newberg melaporkan bagian kedua dari studi tentang otak di dalam karya best-seller-nya, How God Changes Your Brain. *** (bersambung)