Kedua, kontribusi. Ada doa Nabi Ibrahim yang sangat indah, Tuhanku, anugerahkan kepadaku kearifan dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang beramal salih. Berikan kepadaku kesempatan untuk meninggalkan kenangan indah bagi generasi sesudahku, dan jadikanlah aku pewaris surga naim. Inti doa ini adalah bahwa kehadiran kita di dunia ini harus memberikan kontribusi. Dalam Surah Yaasin kita membaca bahwa di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan adalah Dia angkut manusia dari keturunannya ke dalam perahu yang makin lama makin padat.
Al-Quran berkisah bahwa kita adalah penumpang perahu yang dibawa pesiar mengelilingi alam semesta. Kita dibawa berputar mengelilingi matahari. Satu kali putaran berarti usia perjalanan kita genap setahun. Kita terus berputar, hingga suatu saaat kita dicoret sebagai penumpang perahu itu. Meski begitu, kata Tuhan, jangan sampai dicoret sebelum kamu melukiskan namamu di tembok perahu itu, agar generasi sesudahmu melihatnya, bahwa kamu pernah hadir dan melukiskan namamu dengan tinta emas. Artinya, dalam Islam, kita tidak boleh mati sebelum meninggalkan kenanngan indah bagi generasi sesudah kita. Dalam Qs Ar-Rahman disebutkan bahwa balasan bagi orang yang meninggalkan kenangan baik adalah ingatan yang baik dari orang-orang yang mengenangnya.
Ketiga, keterhubungan. Connectivism adalah keterkaitan manusia dengan Allah, ketakwaan, keimanan. Ada sebuah hadis yang sangat jarang disebut-sebut, padahal menurut saya hadis ini sangat penting, karena menyebutkan definisi atau ciri-ciri iman yang tak pernah dikemukakan secara umum. Hadis yang saya maksud adalah sebagai berikut: Orang yang beriman memiliki empat tanda. Pertama, wajah yang ramah, yang ceria. Kedua, lidah yang lemah lembut. Ketiga, hati yang penuh kasih sayang. Keempat adalah tangan yang selalu memberi, tangan yang pemurah. A bright face, a sweet tongue, a loving heart, a generous hand.
Jadi, orang yang mengaku Mukmin, namun menunjukkan wajah yang garang, lidah yang pedas, hati yang keras, dan tangan yang tidak dermawan, sebenarnya mereka belum Mukmin. Mereka Muslim, tapi belum Mukmin. Seperti disebutkan dalam Alquran, Janganlah kamu berkata kami sudah beriman, katakankan kami Islam, karena iman belum masuk ke dalam hatimu.
Jika ada orang yang berkata kasar, perkataannya ditujukan untuk memaki orang lain, dia mungkin muslim, tapi belum ada ciri lisaanun latifuun. Guru saya yang menyemangati saya waktu kecil itu pasti mukmin: wajahnya saat ceria melihat permainan saya, ucapannya lembut dan berbekas jauh di kedalaman hati saya.
Untuk mengakhiri bahasan kita ini, saya akan menyampaikan tentang sebuah bab tersendiri dalam Sahih Muslim tentang sampainya pahala kepada orang yang sudah meninggal. Mungkin Muslim mengetahui bahwa suatu saat, sepeninggalnya, ada sekelompok orang yang percaya kepada Sahih Muslim tapi tidak percaya tentang sampainya pahala kepada orang yang sudah mati. Karenanya, dia merasa perlu mencantumkannya dalam bab khusus.
Sabahat Nabi Muhammad Saw yang bernama Thalhah, adalah orang yang kaya raya. Ketika dia sedang berdagang ke Syiria, ibunya meninggal dunia. Dia datang menemui Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulullah, saya ingin mengungkapkan kasih sayang pada ibu saya yang sudah meninggal. Bagaimana caranya?” Rasulullah saaw menjawab, “Bersedekahlah kamu.”
Kemudian Thalhah menghadiahkan kebun di samping masjid Nabi. Diwakafkannya tanah itu kepada Rasulullah saaw, dan kemudian di zaman Umar bin Khatab tanah Thalhah digabungkan dengan masjid. Tiap tahun hingga kini, jutaan kaum Muslimin dari seluruh dunia salat di tempat yang dihadiahkan Thalhah kepada ibunya, dan mengalirkan pahala kepada ibunya. Sebuah persembahan kasih yang abadi, kenangan indah kepada ibu yang dicintainya.
Ketika membaca hadis ini, saya menangis teringat ibu saya. Rasanya, selama ibu saya hidup, belum ada kebaikan yang pernah saya lakukan. Karenanya, di atas tanah ibu saya, saya dirikan sekolah gratis untuk anak-anak yang tidak mampu. Saya berharap, pahala anak-anak yang menuntut ilmu itu akan turut mengalir bagi ibu saya. Saya berharap, nun jauh di alam barzakh, ibu saya tersenyum, mengucapkan terima kasih kepada anaknya, yang sering menyakitinya ketika dia masih hidup. Inilah tebusan atas kemalasan saya berbakti kepadanya saat dia masih hidup.
Itu pula yang dimaksud dengan meninggalkan kenangan indah bagi generasi sesudah kita. Nanti, ketika jenazah saya diantarkan ke pekuburan, di antara yang melayat—mungkin ada ratusan atau ribuan—anak-anak yang pernah memperoleh pendidikan gratis dari sekolah-sekolah yang saya dirikan. *** (tamat)
Artikel transkrip dari Eminent Lecture KH Jalaluddin Rakhmat di Universitas Pendidikan Indonesia, 26 Maret 2013.