Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Saya sering bertanya pada murid-murid saya, apa yang membuat manusia istimewa? Jawaban yang paling sering muncul adalah kemampuannya untuk berpikir, untuk menyelesaikan masalah. Saya menyingkatnya menjadi kemampuan memberikan makna. Dalam bahasa Ustadz Jalal yang kini menjadi tema tahunan di sekolah-sekolah Muthahhari: kemampuan manusia merangkai cerita.
Seperti kemarin, saya menonton sebuah film. Judulnya "The 33". Film yang dibintangi Antonio Banderas itu mengisahkan perjuangan 33 orang penambang yang terperangkap di bawah tanah, di sebuah tambang tembaga dan emas, di kedalaman hampir 800 meter. Mereka bertahan di tengah kegelapan, dalam keterbatasan bahan makanan, bergelut dengan keputusasaan dan ketidakpastian. Setelah 17 hari barulah tim penyelamat menemukan keberadaan mereka. Tanah yang tidak stabil itu masih harus digali hati-hati. Secara keseluruhan, mereka berada di kedalaman bumi selama 69 hari. Kisah mereka di penghujung 2010 itu telah mengilhami dunia akan sebuah kesabaran, "endurance and perseverance", sebuah pencapaian atas kekuatan jiwa menaklukkan cobaan. Inspiratif!
Dan kemudian, terpengaruh oleh film itu, saya mengetik kata The 33 di mesin pencari web. Tampak poster film dan cuplikannya. Ia mengarahkan saya pada kalimat ‘the Chillean Miners’, para penambang Chille. Saya pun telusuri. Ternyata, saya baru melihat satu sisi dari cerita. Kisah sukses itu tidak berakhir bahagia. Setelah jiwa saya diterbangkan naik untuk lebih semangat menghadapi tantangan, ia dibenamkan lagi kembali ke permukaan. Dari kabar yang beredar, 33 penambang itu kesulitan menjalani hidup setelahnya. Ada yang depresi, alkoholik, bahkan mencoba bunuh diri. Mereka tidak dapat mencari pekerjaan. Perusahaan tidak memberikan kompensasi. Pemerintah tak bisa selamanya menafkahi. Menurut Mario Sepulveda, yang dituakan di dalam tambang itu, “Orang melihat gambar bagaimana kami diselamatkan. Mereka kira, neraka sudah berlalu. Mereka keliru. Neraka baru saja dimulai.” Kehidupan mereka pasca penyelamatan itu tidak bertambah lebih baik. Mereka bahkan ditipu oleh pengacara yang membawa kisah mereka ke Hollywood.
Demikian satu sisi cerita yang lain. Hingga browsing saya membawa saya pada versi yang jauh berbeda. Versi para penggemar teori konspirasi. Menurut mereka, tragedi dan penyelamatan kecelakaan di tambang itu adalah sebuah sirkus media yang didesain sebagai ritual bagi para penganut freemansory, illuminati, dan organisasi-organisasi rahasia semisalnya. Mereka bermain dengan angka, mereka kemukakan lambang-lambang. Mereka sodorkan segudang pertanyaan: termasuk wajah-wajah para penambang yang tidak seperti berada di kegelapan setelah sekian lama itu.
Walhasil, cerita mana yang harus dipercaya? Sebuah peristiwa yang dekat saja menyimpan berbagai warna. Bagaimana halnya dengan sejarah yang membentuk keberadaan kita, makna hidup kita, jati diri kita? Seorang kawan meragukan kesahihan Perang Bubat. Katanya, itu buatan Belanda, untuk memecah belah Jawa dan Sunda. Tokoh Ken Arok dan Tunggul Ametung memang nyata, tapi tidak kisah penelikungan dan pembunuhannya. Itu dibuat Belanda untuk menghancurkan perlawanan raja-raja Nusantara, membuat cerita bahwa mereka adalah keturunan pengkhianat. Bahwa intrik politik adalah bagian tidak terpisahkan dari kakek moyang mereka, dan semisalnya. Dan kawan saya menyampaikan versi ini dengan dalil-dalil yang, menurut saya, sangat reasonable. Bisa diterima dan masuk akal.
Kemudian kita menerima cerita demi cerita dari tetua dan sesepuh kita. Tentang keluarga, tentang bangsa, tentang agama. Kita ‘marah’ manakala cerita itu digoyang. Kita berusaha mempertahankan versi cerita yang sudah kita punya. Kita tidak bisa terima, cerita yang sudah bertahun-tahun di kepala, kemudian kini dipertanyakan sesama. Kita berang.
Lalu, bagaimana kita menghadapinya? Di sini, Kitab suci mengingatkan kita: “Dan orang-orang yang menjauhi thagut (yaitu tidak menyembahnya) dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." (QS. Az-Zumar [39]: 17-18). Setiap kali kita mendengar sebuah kisah, ikutilah apa yang paling baik di antaranya. Yang paling baik menurut akal sehat kita, menurut fitrah yang telah Allah Ta’ala karuniakan pada kita; yang paling mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi sesama; yang paling mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala.
Kita tidak mungkin hidup tanpa membingkai cerita. Dalam senarai tulisan tentang pemaknaan terhadap ayat-ayat Kitab suci, kita akan bersua dengan berbagai cerita. Ikutilah yang paling baik di antaranya. Saudara pernah mendengar bahwa putra Nabi Adam as bertengkar karena berebut perempuan? Versi cerita (yang) saya (pilih) berbeda. Atau bahwa Samiri mengelabui Bani Israil dengan patung sapi yang mengeluarkan suara? Menurut versi yang lain, patung itu bicara, bukan sekadar mengeluarkan suara. Bagaimana dengan Nabi Yusuf as dan Siti Zulaikha, ketika akhirnya mereka menikah (sebagaimana doa yang dibaca di akhir pernikahan) tidakkah Nabi Yusuf as jauh lebih muda? Berapa beda usia Baginda Nabi Saw dengan Sayyidatina Khadijah sa? Bagaimana bila ternyata pengorbanan Nabi Ibrahim as tidak ditebus dengan domba? Kisah-kisah itu akan menyusun dan mengubah langkah hidup kita.
Sebagai penutup (sementara), saya berbincang singkat dengan ayah saya. Kami prihatin, istri seorang sosok teroris diburu-buru aparat keamanan. Ia harus lari keluar masuk hutan. Mengapa prihatin? Teroris itu telah tewas. Dan _menurut cerita yang mereka yakini_kini tengah berbulan madu dengan 72 bidadari di alam sana. Sementara istrinya pontang-panting menyelamatkan diri, suaminya dimanja 72 bidadari. Akankah di sana ia harus bertengkar dengan 72 bidadari itu untuk beroleh suaminya kembali? Lagi-lagi, tergantung versi cerita yang kita pilih untuk kita ikuti. Siap mengubah persepsi dari cerita yang selama ini dipahami? ***
@miftahrakhmat