Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Bila ada catatan harian. Kita coba catatan mingguan. Apa saja yang terjadi dalam sepekan. Semuanya, tentang kata. Words don’t mean, people mean. Kata-kata sama saja, manusia yang memberinya makna. Itu bukan kata saya, tapi Alfred Korzybski, seorang ahli semantik kelahiran Polandia berkebangsaan Amerika. Kata-kata netral, kitalah yang memberikan makna. Misalnya, di perpolitikan Indonesia. Kata netral seumpama cebong dan kampret, jadi punya makna yang berbeda. Demikian pula dengan banyak kata lainnya. Kita bisa menambahkannya. Setiap kelompok bisa punya kekhasannya. Kata ‘hilal’ bisa punya makna khusus tergantung komunitasnya.
Untungnya bagi mereka tinggal di Bali adalah penghasilan mereka yang dollar dan pengeluaran mereka yang rupiah. Mereka berlibur dan bekerja pada saat yang sama. Dan mereka bebas dari pajak di negeri kita. Turis, toh?
Ada hal menarik lainnya, masih tentang kata, pada peristiwa yang sama. Ada narasi politik di balik pilihan kata. Seperti kata Pemerintah Israel dan Otoritas Palestina yang digunakan media. Pada kata otoritas ada kesan pengakuan yang belum sepenuhnya pada kedaulatan negara. Pada kasus Bali, kata imigran dan ekspatriat. Bila ada orang dari negeri luar bekerja di Indonesia, mereka menyebut diri mereka ekspat. Bila ada orang luar datang ke negeri mereka (dan bekerja) di sana, mereka menyebutnya imigran. Menarik, bukan?
Kabar terakhir, Kirsten Gray dan kawannya, akan dideportasi Imigrasi Denpasar. Kesalahan dia mungkin satu, terlalu semangat untuk sharing di sosial media. Dia baru tahu kerasnya berhadapan dengan ‘kekuatan’ netizen Indonesia. Lesson learned.
Berita berikutnya, pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Amerika. Sejarah karena untuk pertama kalinya perempuan berkulit warna menjadi petinggi di sana. Istilah berwarna ini juga problematis. Mereka menyebutnya POC (People of Colour) atau WOC (Women of Colour). Seakan-akan orang kulit putih itu tidak punya warna! Padahal kulit mereka mungkin pinky atau bahkan orange. Yang terakhir dinisbatkan pada Donald Trump, misalnya. Pelantikan kemarin diharapkan membawa perubahan untuk Amerika.
Di Timur Tengah, tidak perlu menunggu lama. Perubahan itu segera terjadi. Dua bom bunuh diri meledak di tengah keramaian kota Baghdad. Doa dan belasungkawa kita. Negeri 1001 malam itu kembali diguncang prahara. Sebagian menganalisis, ini pertanda Amerika ingin menancapkan kembali pengaruhnya di sana. Semoga Tuhan menyelamatkan semua bangsa.
Doa kita juga untuk beragam musibah yang terjadi di negeri ini. Ulurkan tangan pada sesama saudara, bantu siapa pun yang bisa. Budayawan Sudjito Tedjo lebih memilih kata lain yang menurutnya lebih bermakna. Baginya, ini bukan bencana. Ia menyebutnya: sabda alam. Katanya, kata bencana kurang sopan pada alam. Alam hanya berproses mencari keseimbangan baru, kalau resapan dikurangi, pohon ditebangi. Pilihan kata itu juga membuat kita lebih arif pada perubahan alam di sekitar kita.
Kata juga bisa bermasalah karena penafsiran yang tak sama. Kata elitis dan rakyat yang digunakan komedian Pandji menuai kontroversi. Ada juga yang menilai itu upaya untuk eksistensi. Meski pembelaannya, ia hanya mengutip ahli.
Marilah kita tidak cepat mengambil kesimpulan diri. Bersegera berasumsi, bisa salah memahami arti. Kita selalu dapat melihatnya dari berbagai sisi. Marilah menjadi para penyintas sejati.
Ya, kata terakhir itu adalah penyintas. Doa kita bagi yang sakit, termasuk karena pandemi. Yang sembuh kita sematkan kata penyintas itu. Menurut saya, penyintas yang sesungguhnya, para survivor itu, selain mereka adalah juga para tenaga kesehatan dan pejuang keselamatan. Adalah juga saudara sekalian, yang disiplin menerapkan protokol kesehatan. Penyintas itu adalah yang melalui ujian pandemi ini dengan sebaik keadaan. Apresiasi kita pada mereka yang tidak menambah jumlah penderita. Doa kita bagi yang sakit di antara kita semua.
Siapa pun yang mengambil sisi baik dari cerita: Kirsten Gray, Baghdad dan Palestina, musibah alam atau sabda, merekalah para penyintas itu. Bagi mereka, kita angkat topi kita.
Tapi kami tak pakai topi? Masalah kata berikutnya. ***
@miftahrakhmat