Peristiwa di padang Karbala adalah fragmen yang mengabarkan pada kita salah satu sisi hitam dalam sejarah Islam. Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, penerus ajaran Nabi dan lambang kesucian, berhadapan dengan Yazid bin Muawiyah, penguasa tiran dan lambang kezaliman. Sudah digariskan hukum alam, kesucian dan kezaliman tidak bisa berjalan bergandengan.
Yazid adalah anak Muawiyah bin Abu Sufyan, tokoh pemberontak terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Abu Sufyan tokoh Quraisy yang masuk Islam setelah terdesak pada peristiwa penaklukan Mekah. Istri Abu Sufyan adalah Hindun, yang saking dendamnya, memakan jantung Sayyidina Hamzah, paman Nabi yang gugur pada perang Uhud.
Sebuah perang yang tidak seimbang terjadi di Karbala. Imam Husein bersama sekitar 70 pengikutnya berhadapan dengan sekira 30.000 tentara Yazid yang dikomandani Ubadilillah bin Ziyad. Anggota kafilah kecil itu satu per satu gugur dengan mengenaskan. Termasuk anak-anak kecil dan para wanita yang tidak berdaya.
Puncaknya, Imam Husein syahid dan kepalanya dipenggal lalu diarak ke istana Yazid bin Muawiyah. Banyak penduduk Irak meratapinya, karena mereka tahu persis siapa lelaki yang disebut Rasulullah sebagai pemuka para penghuni surga itu. Peristiwa terbunuhnya Imam Husein terjadi pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah. Tanggal tersebut dikenal dengan nama Hari Asyura. Lidah Jawa melafalkannya menjadi Suro.
Kaum Muslimin di beberapa negara, menyelenggarakan peringatan Asyura secara besar-besaran. Menjadi ritual wajib tahunan yang tidak bisa ditinggalkan. Mereka mengadakan semacam teater massal di tempat terbuka. Lalu kisah penderitaan Husein dibacakan, semua orang menangis. Kemudian mereka berarak, sambil meneriakkan kalimat, "Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala."
Di Indonesia
Di Indonesia, peringatan Asyura memang tidak seheboh di Irak atau Iran. Tapi bukan tidak ada sama sekali. Sejak dulu peringatan ini dilangsungkan, dan pada umumnya dengan suasana yang sederhana. Kebanyakan dari mereka tidak tahu persis seperti apa tragedi itu terjadi dan apa motif di belakangnya. Hanya kesadaran tradisilah yang memandu mereka untuk tetap menyelenggarakan peringatan Asyura.
Pada tahun 70-an, di beberapa tempat di Jawa Barat kegiatan ini masih berlangsung setiap tahun. Terutama di kampung-kampung. Pada tanggal 10 Muharam hampir setiap rumah memasak bubur merah dan putih yang disimpan terpisah. Bubur itu kemudian dikenal dengan bubur suro. Selanjutnya makanan itu dibawa ke masjid bersama dengan hahampangan (makanan ringan).
Di masjid telah berkumpul warga yang duduk bersila membentuk lingkaran. Orang yang dituakan atau imam masjid memimpin acara tersebut. Seorang wanita separuh baya membacakan salawat dilanjutkan dengan pembacaan pujian pada Rasulullah dari Kitab al-Barzanji. Dalam dialek Sunda bunyinya berubah menjadi "berjanji". Kitab ini dikarang oleh Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husein bin Abdul Karim yang lahir di Madinah tahun 1690 M.
Seusai "Barzanji" dibacakan, kemudian dilantunkan kisah hidup Imam Husein, perjuangannya menegakkan kadilan melawan kezaliman, berperang melawan penguasa Yazid Muawiyah, hingga syahidnya di Karbala. Tidak ada tangisan, tidak ada keharuan. Acara berlangsung datar-datar saja. Setelah pembacaan kisah selesai, jemaah pun menyantap hidangan. Anak-anak berebut mengambil mangkuk untuk bubur suro.
Sejumlah orang tua terkadang menjadikan Hari Asyura untuk menguatkan nama anaknya yang baru lahir. Biasanya orang tua membawa si bayi ke masjid, kemudian memperkenalkan namanya kepada hadirin. Dengan kata lain namanya dipatenkan. Karena itu, di masyarakat Sunda sering terdengar ungkapan, "Ngaran budak teh geus beunang ngabubur beureum ngabubur bodas." (Nama anak ini sudah dikuatkan dengan bubur merah dan bubur putih).
Dalam tradisi Jawa, biasanya peringatan Asyura dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis. Pada hari itu sering dilakukan pencucian benda-benda yang dianggap keramat, selain dilakukan pada 1 Muharam. Terdapat pula ritual khusus untuk menyambutnya.
Di beberapa tempat di luar Pulau Jawa, peringatan Hari Asyura jauh lebih meriah dan menjadi agenda pariwisata tahunan yang menyedot banyak pengunjung. Misalnya di Bengkulu ada upacara tradisional "Tabot" atau "Tabut". Di wilayah ini perayaan Asyura sudah diperingati lebih dari dua abad yang lalu. Tabut berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti "kotak kayu".
Menurut berbagai keterangan, tradisi Tabut dibawa ke Bengkulu oleh orang-orang Madras, India. Mereka adalah para pekerja yang membangun benteng Marlborought di Bengkulu,. Tradisi Tabut menggambarkan para pengikut Imam Husein bekerja keras mengumpulkan bagian-bagian jenazah pemimpin mereka, dan memakamkannya di Karbala. *** (Enton SS, pegiat pemberdayaan masyarakat)