Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

​Pulang... [Cerpen Miftah F. Rakhmat]

1/7/2020

0 Comments

 
Udara dingin, tapi itu biasa. Matahari bersinar secukupnya dan awan seputih kapas itu bergantian menutupinya. Yang berbeda adalah keheningan yang luar biasa. Terlalu lama, lebih dari setengah jam lamanya. Tak ada seorang pun berbicara. Bahkan tak ada gumam doa. Semua menunggu apa yang terjadi di bawah sana.
​

Aku tak berani melangkahkan kaki lebih jauh. Di hadapanku berkumpul keluarga yang berduka. Momen seperti ini adalah saat yang harus dihormati. Tidak boleh asal bicara. Terlarang sembarang berkata. Peristiwa duka cita, kembalinya seorang hamba pada Tuhannya, adalah saat-saat istimewa, ketika seluruh raga mematung di hadapan kebesaranNya, dan seluruh jiwa merebah pasrah pada garis ketentuanNya.

Setiap menghadiri pemakaman, aku dan yang hadir selalu diingatkan bahwa giliran satu di antara kami berikutnya. Malakal maut akan mengepakkan sayapnya dan menjemput seorang dari kami. Ajaib, biasanya aku merasa, giliran orang lainlah berikutnya, bukan aku. Setiap mengantar jenazah itu, aku selalu mengira, orang lain yang lebih dulu dijemput, bukan aku. Orang lain yang kuantarkan. Bukan mereka yang mengantarkanku. Kecuali sekarang ini.
​
Melihat bagaimana jasad itu diperlakukan, tiba-tiba muncul rasa iri dalam diriku. Haji Abdul Ridha menyebutnya 'ghibthah'. Iri yang baik. Iri karena rasa hormat. Seperti iri pada orang-orang yang bisa menghafal kitab suci dan kita ingin seperti mereka. Aku tahu iri bukan kata yang tepat. Tapi aku tak tahu kata lainnya.

Aku dengar keluarga memperlakukan almarhumah begitu terhormat. Setelah dimandikan dengan campuran kecil dari air kapur dan bidara, mereka mengkafani jenazah itu dengan kain seribu nama. Seribu nama Tuhan. Lalu doa terpanjat, tiada henti. Alangkah dihormatinya. Alangkah indahnya. Hari apalagi yang paling penting bagi manusia, kecuali hari terakhirnya.

Aku tak mengenal almarhumah. Begitu pula sepertinya Haji Abdul Ridha, guruku. Selain membina madrasah, ia juga bertugas atas satu kompleks pemakaman di depan halaman pusara seorang imam besar dalam Islam, Sayyidina Husain bin Ali radhiyallahu 'anhu, cucunda kinasih baginda Nabi Muhammad Saw. Imam Husain, begitu penduduk kota menyebutnya, gugur tahun 61 Hijriah ketika berjuang menyelamatkan agama yang sejati. Sejak itu, pusaranya menjadi tempat ziarah. Dan sebuah kota tumbuh di sekitarnya. Ada beberapa kompleks pemakaman di sekitar pusara Imam Husain itu. Dan Haji Abdul Ridha diamanati mengurus satu di antaranya. Orang antri, bahkan berebut mendaftarkan namanya untuk dapat dimakamkan di tempat itu. Aku pernah melihatnya sendiri. Tua, muda, bahkan anak yang masih belia, ingin menuliskan namanya. Tentu giliran diatur sang malakal maut, dan hanya dia dan Tuhan yang tahu kelak dijemput di mana, dimakamkan di mana. Tapi tercatat sebagai yang meminta saja, sudah jadi kebahagiaan tersendiri sepertinya.

Aku ikut Haji Abdul Ridha. Usai jenazah dikafani, ia dibawa ke halaman makam cucu Nabi itu. Di sana, menghadap kiblat, ia dishalatkan. Guruku pula yang jadi imamnya. Dan doa-doa diantarkan tiada henti. Tahlil, shalawat nabi, ziarah suci…semua mengalun menemani. Barulah setelah itu, jenazah diarak ke pemakaman. Sebuah lubang sudah disiapkan. Aku turut serta mengangkatnya. Konon, dapat banyak pahala. Aku tak terlalu peduli. Rasanya ingin berkhidmat, pada orang yang hendak kembali ke kampung akhirat.

Sebelum memasuki liang lahat, ia berhenti tiga kali. Diturunkan di pintu masuk pemakaman. Lalu doa kembali dipanjatkan. Lalu diangkat, dan diturunkan lagi, kira-kira di pertengahan. Lagi-lagi, seluruh doa itu. Tak sulit menaikturunkan keranda kayu persegi itu, karena kompleks pemakaman tak lebih dari sebuah halaman yang sangat besar. Permukaannya rata. Tak ada nisan mengemuka. Hanya sebaris nama yang tertera, di lantai yang diinjak para peziarah itu.

Jenazah diturunkan lagi. Kali ini, persis di bibir lahat pekuburan. Karena perempuan, ia ditidurkan terlebih dahulu sejajar dengan makam. Membentuk dua garis sama lurus. Bila laki-laki, ia akan dibaringkan di arah kaki makam, dan diturunkan dari arah itu.

Keluarga sudah berada di dasar makam. Tanah padang pasir tak sulit digali. Butiran debu coklat keemasan lembut terlihat. Tanah itu tak keras, tak juga lentur. Lembut. Indah sekali untuk mendekap jasad itu.

Jenazah sudah dibaringkan oleh keluarga. Kemudian Haji Abdul Ridha turun, dan yang lain naik ke atas. Dan, dimulailah hening itu. Kini hampir setengah jam lamanya. Tak ada yang berani mempertanyakan. Kami semua berdiri di atas makam, dan Haji Abdul Ridha masih di dalamnya. Keluarga terdekat, yang melihat jelas ke dalam, tiada yang berbuat apa pun. Aku pun terdiam. Hening yang mengusik penasaran, dengan ketenangan yang menenteramkan.

Akhirnya, Haji Abdul Ridha berdiri. Butir demi butir debu menutupi jenazah itu. Orang membantunya, tapi Haji mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa ia melakukannya seorang diri. Semua mematung sambil berdoa. Hingga akhir dan usai seluruh pemakaman, Haji tertegun dalam doa, lalu menangis teramat hebatnya. Tak ada pula yang berani bertanya kepadanya. Mata Haji terlihat sembab, kemudian terdengar ia berkata… "Mana anak ibu ini…Yang mana putranya…? Bawa…bawa ia padaku…" ia terlihat berusaha mengatur nafas, dan mengendalikan kata yang keluar dari lisannya.  Belum pernah aku melihat Haji seperti itu. Serius, dalam, seperti menyimpan sesuatu yang amat berat, tapi pada saat yang sama bercahaya.

Orang-orang menyarankan agar Haji beristirahat. "Tidak," katanya tegas kali ini. "Aku harus bertanya pada anaknya..." Seorang pemuda kemudian dibawa ke hadapan Haji. Kepadanya, Haji bertanya: "Ada apa antara ibumu dan Al-Husain?"

"Ada apakah gerangan, Haji?"
"Apakah ia pelantun cerita Al-Husain?"
"Bukan."
"Apakah ia penyelenggara majelis untuk Al-Husain?"
"Bukan."
"Apakah ia punya tempat singgah untuk para peziarah Al-Husain?"
"Tidak."
"Lalu, apa? Mustahil…pasti ia melakukan sesuatu untuk Al-Husain?"

"Ada, Haji. Dan kami sangat mengenalnya. Ada dua hal. Yang pertama, sejak kami kecil hingga sekarang, hingga akhir hayatnya. Tidaklah Ibuku mengawali harinya, kecuali di pagi hari ia berkata, 'Ya Husain Ya Husain'. Tidaklah ia memasuki petangnya kecuali ia berkata, 'Ya Husain Ya Husain'. Dan kedua, sejak kecil kami, kami hidup sederhana. Ibu menafkahi kami. Kami miskin. Tapi kami punya kebun kecil. Kami tanami mentimun, tomat dan sebagainya. Hasilnya kami gunakan menopang hidup kami. Enam hari dalam seminggu, kami makan hasil tanam kami. Kecuali hari yang ketujuh. Ibu tidak pernah mengambil hasil hari itu. Kami tidak pernah memakannya. Kami tidak makan hari itu, dan Ibu akan berkata, "Hasil hari ini, mari kita bagikan pada orang banyak. Dan kita antarkan pahalanya untuk Al-Husain. Begitu, Haji. Hingga datang hari ini…"

Haji kembali menangis, memegang tangan anak muda itu dan berkata, "Tahukah engkau, ketika aku turun untuk mendoakan ibumu, dan kubuka sedikit kafannya, untuk kutaburkan debu tanah ini, tiba-tiba seberkas sinar berkelebat… tanganku mendadak berat, dan kudengar suara berkata, "Haji Abdul Ridha… perempuan ini dalam jamuanku. Ia adalah tamuku..."

Dan keheningan itu kini lebih mencekam. Udara dingin berubah hangat. Tapi aku menggigil gemetaran. Aku merasa sendirian. Aku merasa kesepian. ***

@miftahrakhmat
0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.”
    ​
    ​ 
    (HR Al-Hakim dan Al-Thabrani)
    ​


    Picture

    Tema

    All
    Abu Nawas
    Adam
    Agama
    Ahlulbait
    Akal
    Akhlak
    Albirr
    Al-Husayn
    Ali Bin Abi Thalib
    Ali Bin Abu Thalib
    Al-Mizan
    Alquran
    Anak
    Arafah
    Arbain Walk
    Asep Salahudin
    Asyura
    Babul
    Bahasa
    Bahjah
    Bahlul
    Bangsa
    Barzakh
    Berkah
    Bicara
    Bidadari
    Bubur Suro
    Bukhari
    Buku
    Bulan Suci
    Cerita
    Cinta
    Covid 19
    Covid-19
    Depresi
    Doa
    Dogma
    Dosa
    Dua Belas Imam
    Dunia
    Emas
    Empati
    Epistemologi
    Fatwa
    Fidyah
    Fikih
    Filsafat
    Gaya Menulis
    Gender
    Gereja
    Ghuraba
    Globalisasi
    Guru
    Hadis
    Haji
    Happy Birthday
    Hari Anak Nasional
    Hasan
    Hasan Bashri
    Hermeneutika
    Hitler
    Husain
    Ibadah
    Identitas Arab Itu Ilusi
    Ideologi
    Idul Fitri
    Ihsan
    IJABI
    Ilmu
    Ilmu Kalam
    Imam
    Imam Ali
    Imam Ali Zainal Abidin
    Imam Husain
    Imam Mahdi
    Iman
    Imsak
    Indonesia
    Islam
    Islam Ilmiah
    Islam Madani
    Isra Mikraj
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Jihad
    Jiwa
    Jumat
    Kafir
    Kajian
    Kaki
    Kang Jalal
    Karbala
    Keadilan
    Kebahagiaan
    Kebangkitan Nasional
    Keluarga
    Kemanusiaan
    Kematian
    Kesehatan
    Khadijah
    Khalifah
    Khotbah Nabi
    Khutbah
    Kisah Sufi
    Kitab
    Kitab Sulaim
    Konflik
    Kurban Kolektif
    Lembah Abu Thalib
    Madrasah
    Makanan
    Malaikat
    Manasik
    Manusia
    Maqtal
    Marhaban
    Marjaiyyah
    Marxisme
    Masjid
    Mawla
    Mazhab
    Media
    Miftah
    Mohammad Hussain Fadhullah
    Mubaligh
    Muhammad Babul Ulum
    Muharram
    Mujtahid
    Mukmin
    Munggahan
    Murid
    Muslim
    Muslimin
    Musuh
    Muthahhari
    Myanmar
    Nabi
    Najaf
    Negara
    Neurotheology
    Nikah
    Nilai Islam
    Nusantara
    Orangtua
    Otak
    Palestina
    Pancasila
    Pandemi
    Pendidikan
    Penyintas
    Perampok
    Pernikahan
    Pesantren
    Politik
    Post Truth
    Pseudosufisme
    Puasa
    Pulang
    Racun
    Rakhnie
    Ramadhan
    Rasulullah
    Revisionis
    Rezeki
    Rindu
    Rumah
    Rumah Tangga
    Sahabat
    Sahur
    Saqifah
    Sastra
    Saudara
    Sayyidah Aminah
    Sayyidah Fatimah
    Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah
    Sejarah
    Sekolah
    Shahibah
    Shalat
    Shalawat
    Sidang Itsbat
    Silaturahmi
    Silsilah
    Sosial
    Spiritual
    Suami
    Suci
    Sufi
    Sunnah
    Sunni
    Surga
    Syahadah
    Syawal
    Syiah
    Tafsir
    Tajil
    Takfirisme
    Taklid
    Tanah
    Tarawih
    Tasawuf
    Tauhid
    Tsaqalayn
    Tuhan
    Ukhuwah
    Ulama
    Umat
    Umrah
    Waliyyul Amri
    Wasiat
    Wiladah
    Yatim
    Zawjah
    Ziarah

    Arsip

    January 2023
    December 2022
    November 2022
    July 2022
    June 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    September 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    May 2020
    March 2020
    January 2020
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    September 2018
    July 2018
    May 2018
    February 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.