Adapun logika induktif yang banyak dianut sarjana revisionis Barat melihat persoalan tadwin dari realitas empiris historis. Karena realitas empiris berubah-ubah maka gagasan, konsep, ide yang diabstraksikan juga berubah-ubah tergantung pada keluasan horison pemikiran dan kedalaman referensi yang dipakai. Oleh karena itu, para sarjana revisionis Barat pun tidak satu kata dalam masalah ini. Ada yang mengamini seratus persen kesimpulan sarjana tradisional Islam seperti Gregor Schoeler. Ada pula yang menolak tanpa atau dengan modifikasi seperti Joseph Schacht atau Michael Cook. Metode ini meski berbeda dengan metode deduktif, tapi berada dalam satu paradigma; paradigma das sein yang kesimpulannnya didasarkan pada apa yang telah terjadi. Bukan pada konsep ideal yang seharusnya terjadi (das sollen).
Oleh karena itu, metode induktif juga belum mampu menyingkap misteri hadis Nabi termasuk dalam problematika tadwin. Konklusinya masih mengambang dan tidak mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Dalam kajian Al-Muawiyat, argumentasi Schoeler sudah kita baca dengan metode abduktif. Agar tidak mengulangi apa yang sudah jelas, kita tidak mengujinya sekarang. Di sini hanya membahas argumentasi Michael Cook dalam The Opponents of Writing of Tradition in Early Islam.
Terkait problematika tadwin, tesis Michael Cook menarik untuk diinvestigasi lebih lanjut. Menurutnya bahwa tradisi lisan umat Islam adalah copy paste dari tradisi Yahudi. Termasuk metode sanad yang selalu dibanggakan oleh umat Islam, sejatinya adalah metode transmisi pengentahuan atau informasi yang lazim digunakan dalam peradaban lisan di mana pun berada.
Jadi, bukan hanya milik umat Islam saja, seperti yang selama ini diklaim oleh sarjana Islam tradisional. Tidak hanya di tanah Arab. Dalam peradaban Nusantara pun kita mengenal istilah tutur tinular. Dalam bahasa ilmu hadis, tutur tinular adalah transmisi hadis secara lisan, isnad hadis. Metode transmisi pengetahuan dari pini sepuh kepada anak cucu dan seterusnya. Bedanya, teori sanad dianggap sunah sebagai bagian dari agama. Sedangkan tutur tinular dianggap bid'ah sebagai folklore yang memproduksi takhayul (imajinasi). Padahal keduanya sama-sama berkisah tentang (takhayul) masa lalu yang penuh dengan misteri yang karenanya perlu diverifikasi.
Kita kembali ke tesis Cook. Teori peminjaman tradisi Yahudi yang Cook usung disandarkan pada riwayat Khalifah Umar bin Khaththab yang menolak menulis hadis karena tidak ingin seperti orang-orang Yahudi. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Khalifah Umar pada awal kekuasasannya berinisiatif untuk menghimpun hadis-hadis lisan. Setelah melakukan istikharah selama satu atau dua bulan, niat baik itu dibatalkannya dengan alasan agar tidak ada kitab tertulis yang menyaingi kitab Allah. Agar tidak seperti Mitsnah yang ada pada Bani Israil. Mistnah adalah tafsir para Rahib Yahudi terhadap ayat-ayat Taurat. Awalnya Mitsnah tidak ditulis. Hanya ditransmisikan secara lisan. Karena itu, disebut juga sebagai oral torah. Sama persis seperti hadis Nabi yang juga ditransmisikan secara lisan. Menurut pengakuan Khalifah Umar bahwa adanya Mitsnah membuat orang-orang Yahudi berpaling dari kitab Tuhan (Taurat). Beliau khawatir bila ada kitab lain selain kitabullah akan membuat umat Islam berpaling dari kitabullah, seperti yang menimpa Bani Israil.
Dari riwayat ini dan riwayat lainnnya yang akan bertele-tele bila saya sebut semuanya. Cook berkesimpulan bahwa menulis hadis adalah tradisi kaum oposisi. Sedangkan tidak menulis adalah politik resmi penguasa hingga dibatalkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kita investigasi argumentasi, dalil, dan teori Cook dengan metode abduktif. Logika abduktif fokus pada hipotesis, interpretasi, pengujian konsep, dan dalil yang ada.
Dengan metode ini kita akan menguji argumentasi Cook untuk kemudian membuat hipotesa baru. Teori Cook mengungkapkan sebuah fakta menarik tentang Khalifah Umar yang begitu fasih berbicara tentang tradisi lisan peradaban Yahudi. Dari mana Khalifah Umar mengetahui hal itu? Siapa informannya? Siapa yang mengajarinya? Beliau yang tidak paham hukum tayamum, yang itu merupakan pengetahuan paling elementer dalam tradisi Islam, ternyata begitu fasih berbicara tentang ajaran Yahudi yang tidak tertulis (Mitsnah)? Apakah politik larangan menulis hadis yang juga menjadi kebijakan khalifah sebelumnya murni inisiatifnya sendiri? Adakah pihak lain yang paham akan ajaran langit mengintervensi kebijakan penguasa waktu itu karena hal ini terkait otoritas agama? Dengan logika penemuan (logic of discovery) sebagai ruh metode abduktif, kajian Al-Muawiyat berhasil menemukan jawaban dari misteri tersebut yang mengarah pada kesimpulan bahwa Nabi tidak melarang penulisan hadis. Larangan penulisan adalah bagian dari upaya untuk menancapkan otoritas sahabat sebagai penafsir kitab suci dan rujukan dalam beragama. Yang melarang adalah penguasa dari elit Quraisy untuk kepentingan politik. Dengan demikian, berarti politik elit Quraisy berbeda dengan politik Nabi. Bila demikian berarti elit Quraisy tidak meneruskan ajaran Nabi dalam hal menulis hadis. Apakah dengan demikian berarti mereka bukan penerus Nabi yang sejati?
Di sinilah letak kekurangan metode induktif yang diusung sarjana revisionis Barat yang berparadigma das sein. Hanya berbasiskan pada fakta empiris historis yang dapat dilihat dan dibaca saja. Mereka tidak menemukan motif yang tersembunyi di balik teks yang menjadi kerja utama metode abduktif (the logic of discovery). Khalifah Umar memang penguasa saat melarang penulisan hadis waktu itu. Pertanyaannya, apakah kekhalifahan Umar berdasarkan nilai ideal (das sollen) yang ditunjukkan oleh teks-teks suci al-Kitab mapun al-Hadis? Investigasi secara menyeluruh terhadap semua dokumen sejarah akan mengarah pada jawaban yang negatif. Kelemahan argumentasi Cook dan sarjana revisionis lainnya, tidak membedakan antara kepemimpinan Nabi dengan para khalifah sesudahnya. Mereka melihatnya sebagai satu kesatuan utuh dalam babakan sejarah panjang umat Islam. Sehingga dalam masalah tadwin pun melihatnya sama bahwa Nabi melarang penulisan hadis, yang kemudian diikuti oleh Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khaththab. Padahal sebenarnya tidak. Nabi pernah menubuwatkan akan ada seorang penguasa segera sepeninggalnya melarang penulisan hadis. Ternyata penguasa itu adalah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Larangan ini bukanlah murni ide keduanya. Ada pembisik yang membisiki keduanya yang paham betul akan tradisi ajaran Ibrahim.
Dalam kajian al-Muawiyat, saya sebut siapa dia dan untuk tujuan apa politik larangan menulis hadis diberlakukan? Larangan menulis hadis menurut penelusuran Azami bukan dari Nabi, bahkan Nabi justru menganjurkan untuk menulis hadis. Nanti kita lihat dokumentasi sejarah yang mendukung argumentasi ini. ***
Dr. Muhammad Babul Ulum, M.Ag adalah pengasuh Kajian Ulum al-Hadis Revisionis di Lembaga Pengkajian Ilmu-ilmu Islam (LPII) Bandung.
rekonstruksi_tadwin_hadis_dengan_metode_abduktif_by_babul_ulum.pdf |