Judul yang diminta panitia kepada saya sebenarnya adalah moralitas dalam pandangan Muthahhari, namun karena sumber-sumber tentang tema itu tidak saya dapatkan hingga dekat hari, maka saya memutuskan untuk menulis tema lain yang lebih luas dengan judul seperti tertulis di atas, “Renungan-renungan filosofis Murtadha Muthahhari,” dengan fokus pada pandangan beliau tentang Tuhan, alam dan manusia. Menurut saya tema seperti ini justru sangat penting karena menciptakan sebuah paradigma yang lebih komprehensif, untuk melihat tema-tema spesifik lainnya, yang dibicarakan dalam seminar ini. Atas penyimpangan ini saya mohon maaf, tetapi pada waktu yang sama juga berharap akan memberikan lebih banyak manfaat kepada para peserta seminar ini, khususnya, dan pembaca makalah ini dimanapun berada dalam mengapresiasikan pemikiran pemikir Iran kontemporer ini.
SKETSA BIOGRAFIS
Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, sebuah kota kira-kira 120 KM dari Masyhad, ibukota propinsi Khurasan, pada tanggal 2 Februari 1920. setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Muthahhari pindak ke Masyhad, yang merupakan pusat belajar dan ziarah yang bergengsi, untuk meneruskan pendidikannya dengan guru-guru yang otoritatif dibidangnya. Pada tahun 1936 ia meninggalkan Masyhad untuk pergi ke Qum. Adapun faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi ke Qum meninggalkan Masyhad adalah wafatmya Mirza Mehdi Shahidi Ravazi, seorang guru yang terkenal filsafat Islam. Dan Muthahhari memang telah meperlihatkan bakat filsafatnya yang menonjol. Pada tahun 1937 Muthahhari baru betul-betul menetap dan tinggal di Qum di mana studi tentang filsafat, sekalipun tidak betul-betul diizinkan, tetapi paling tidak relatif lebih dimungkinkan.
Pada musim panas 1941, Muthahhari meninggalkan Qum yang panas untuk pergi ke Isfahan di mana ia mempelajari Nahj al-Balaghah dengan Hajj Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, sorang guru yang punya otoritas dari naskah Syi’ah yang terkenal ini. Untuk belajar ushul fiqh dengan Ayatullah Borujerdi yang pindah ke Qum tahun itu. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1945, Muthahhari mulai membaca sebuah naskah filosofis, yaitu Manzumah karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomeini.
Pada tahun 1946, ketika ia mulai mempelajari Kifayah al-Usul, sebuah kitab hikum, dari Akhund Khorasani dengan Ayatullah Khomeini, ia memulai komitmen seumur hidupnya untuk mempelajari Marxisme untuk kemudian dibantahnya. Tetapi menurut Hamid Dabashi, sumber-sumber yang dipakai Muthahhari untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumber-sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamplet-pamplet oleh kaum Maxis yang tergabung dalam partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab.
Pada tahun 1949 Muthahhari memulai studinya terhadap al-Asfar al-Arba’ahkarangan filosof Syi’ah abad ke enambelas/tujuhbelas dengan Ayatullah Khomeini. Teman sekelasnya antara lain Ayatullah Muntazhari, Hajj Aqa Reza Sadr, dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri.
Pada tahun 1950 Muthahhari konsentrasi lebih keras lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai mengikuti diskusi kamis Allamah Tabataba’i tentang “filsafat materealis.” Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-e Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik). Muthahhari kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap menerbitkannya (1953-1985). Disamping itu pada waktu ini ia mempelajari Ibn Sina dengan Allamah Tabtaba’i. Di antara teman kelasnya adalah Muntazeri dan Behesti
Pada tahun 1954 ia mulai mengajar di Tehran University, di Fakultas Teologi. Tetapi menjelang awal tahun 60-an dia terlibat secara aktif dalam organisasi masyarakat Religius Bulanan (Anjoman-e ye dini), dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah.
Muthahhari dicekal sebentar selama pemberontakan Ayatullah Khomeini pada bulan Juni 1963, dan majalah bulanan (The Mounthy Discdurse) dilarang. Pada tahun 1964 promosi Muthahhari di Tehran University ditolak. Pada tahun 1965 ia turut berjasa dalam mendirikan Hosseiniyyeh Ershad, yaitu sebuah organisasi religius yang didirikan secara pribadi (swasta yang diabdikan untuk kepentingan Syi’ah)
Antara bulan Juni 1963 dan bangkitnya gerakan revolusi pada tahun 1977-1979, Muthahhari terus mengadakan kontak dengan Ayatullah Khomeini, dan bahkan dalam kenyataannya ia menjadi satu-satunya wakil di Iran yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat karena pengasingan Ayatullah. Pada waktu yang bersamaan ia terus memberi kuliah dan menulis tentang berbagai isu-isu keagamaan dan sosial. Tapi pada bulan Mei tanggal 1, 1979 Muthahhari terbunuh hanya beberapa saat setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Diantara tulisan-tulisannya, selain Ushul-e Falsafah adalah Struktur Hak-Hak wanita dalam Islam (1966-1967), Manusia dan Nasibnya (1966), Layanan Timbal Balik antara Iran dan Islam (1967), Pertolongan Ghaib dalam Kehidupan Manusia (1969) dan lain-lain.[1]
FILSAFAT ISLAM DAN PERAN IDEOLOGISNYA
Telah kita singgung bahwa Muthahhari telah memperlihatkan kecenderungan yang kuat pada filsafat sejak dini dalam hidupnya. Tentu saja ketika kita bilang filsafat, yang dimaksud adalah filsafat Islam. Dan ketertarikan Muthahhari terhadap filsafat ternyata bukan hanya sekedar keranjingan pada pemikiran-pemikiran spekulatif, tetapi justru ia melihat filsafat sebagai senjata ideologi,” yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular yang tersebar cepat di Iran. Ini tentu mengingatkan kita pada situasi sama yang dihadapi al-Ghazali sepuluh abad yang lalu, ketika ia menemukan filsafat sebagai senjata ampuh ideologi (dalam hal ini agama Islam) untuk menangkal ide-ide filosofis. Bedanya sementara yang dihadapi oleh al-Ghazali adalah ide-ide filosofis para filosof Muslim (falasifah) yang dianggap tidak ortodoks,[2] yang dihadapi Muthahhari adalah ide-ide sekular Barat, khususnya Marxisme. Tapi semangatnya sama. Demikian penting peran filsafat sebagai senjata ideologi, sehingga Muthahhari berusaha menghidupkan kembali tradisi filosofis yang secara aman telah jinak, dan ia percaya filsafat merupakan “prioritas utama dalam skala makna (signifikansi) diantara semua cabang ilmu pengetahuan.[3]
Selain bicara tentang filsafat sebagai senjata ideologis yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular Barat, Muthahhri juga menyatakan dengan tegas bahwa filsafat bukanlah hak istimewa Barat. Dia mengatakan dan percaya bahwa “Yunani kuno (sebagai lambang filsafat Barat) memperoleh asal keberhasilannya yang utama dari Timur. Sarjan-sarjana besar dari belahan dunia tersebut berulangkali melancong ke Timur, belajar banyak dari sarjana-sarjan Timur, dan ketika mereka kembali, mereka menyebarkannya di negeri mereka.”[4]Pendapat ini barangkali mendapat dukungan dari sumber-sumber klasik Islam, seperti yang dinyatakan oleh al-Amiri dalam kitabnya al-Amad ‘ala al-Abad.[5]
Tentu dalam konteks kekinian, ia ingin menyatakan bahwa bukan hanya orang-orang Barat yang memiliki filsafat, tetapi juga umat Islam. Dalam kitabnya Ushul-e Falsafah, jelas terlihat usaha Muthahhari untuk menunjukkan keunggulan filsafat Islam atas filsafat Barat, yang disebutnya tidak realistik.
Dan sejauh ia menyangkut filsafat Islam, maka Muthahhari menunjuk dua tradisi besar yang ada di sana, yaitu Peripatetik, yang menurutnya lebih tepat disebut deduksionis, yang diwakili oleh Ibn Sina (w. 1037) dan Iluminasionis (Isyraqi) yang diwakili oleh Suhrawardi (w. 1191). Yang pertama lebih menekankan keutamaan wujud (ishalat alwujud) sedangkan yang lain lebih menekankan keutamaan esensi (ishal al-mahiyyah) atau yang mungkin lebih elegan kita sebut eksistensialisme dan esensialisme. Yang menarik adalah pernyataan Muthahhari yang menyatakan bahwa ketika kita membicarakan kedua aliran filsafat Islam ini, referensi yang harus dibuat bukanlah pada Plato atau Aristoteles, tetapi pada Islam sendiri.[6] Nampaknya ia menaruh curiga bahwa Plato dan Aristoteles yang disajikan dalm filsafat Islam jangan-jangan bukan sebagimana Plato dan Aristoteles yang sesungguhnya. Misalnya ia mepertanyakan istilah Peripatetik, yang merujuk pada filsafat Aristoteles, karena terakhir dikatakan mempunyai mengajar filsafat sambil berjalan. Tapi, tanya Muthahhari, apakah hal serupa juga tidak dilakukan Plato? Apakah, misalnya, metode yang digunakan Suhrawardi adalah sama dengan metode yang digunakan Plato?
Berbicara tentang metode filosofis atau ilmiah dalam Islam, Muthahhari membedakannya dengan begitu rapi tiga macam metode, yaitu, metode deduktif dari filsafat peripatetik. Metode ini dipakai oleh sebagian besar filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Nashir al-Thusi, Mir Damed, Ibn Rusyd dan lain-lain. Ciri khas metode ini adalah penyandarannya yang eksklusif pada deduksi dan demonstrasi rasional. Metode yang kedua disebut iluminasionis, yang dikatakn memiliki pengikut yang lebih sedikit. Metode ini dihidupkan kembali oleh Suhrawardi, Quthb al-Din Shirazi, Sahrazuni dan lain-lain. Metode ini didasarkan pada deduksi dan demonstrasi rasional dan juga pada upaya pensucian jiwa. Metode ketiga adalah yang disebut ‘irfani, yang menurutnya memiliki banyak pengikut seperti Bayazid al-Bisthami, al-Hallaj, Syibli, Junayd al-Baghdadi, Dzun Nun al-Mishri, Khwaja ‘Abdullah Ansara, Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi. Tapi wakil utamanya adalah Ibn Arabi. Yang menarik tentang metode pemikiran ini adalah penjelasannya yang gamblang tentang persamaan dan perbedan di antara ketiga metode tersebut, yang tidak saya dapatkan dari filosof yang lain. Dia mengatakan metode ‘irfani yang agak liar mempunyai satu persamaan dengan metode iluminasionis dan dua perbedaan dengannya. Yang sama adalah penyandaran mereka pada perbaikan, penghalusan (refinement) dan pensucian jiwa. Sedangkan perbedaan-perbedaannya adalah sebagai berikut : Kaum ‘arif sama sekali menolak deduksi; sementara kaum iluminasionis, mendukungnya dan menggunakan pemikiran dan pembersihan jiwa untuk saling membantu. Kaum iluminasionis, sebagaimana halnya para filosof yang lain, berusaha menemukan realitas (kebenaran) sedangkan kaum ‘arif mencoba mencapainya.[7]
TUHAN DAN KEESAANNYA
Berbicara secara filosofis tentang Tuhan, tentu saja tidak bisa menghindarkan pembicaraan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Nah bukti macam apa yang dikemukakan Murtadha Muthahhari. Inilah yang ingin saya coba bicarakan di awal bagian ini. Kita telah mengenal beberapa argumen yang diajukan para filosof Muslim sebelum Muthahhari tentang adanya Tuhan : seperti dalil al-hudust yang dikemukakan oleh al-Kindi, dalil al-imkan, oleh Ibn Sina dan dalil al-‘inayah seperti yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd. Dalil al-hudust, seperti yang telah saya diskusikan dalam salah satu buku saya, Menembus Batas Waktu,[8] mencoba mebuktikan adanya Tuhan dengan menunjukkan keterbatasan alam, baik dari sudut materi, gerak dan waktu. Dengan menunjukkan bahwa alam semesta itu terbatas, maka alam semesta mestilah baru (hadist), dan karena baru maka mestilah dicipta (muhdast) oleh seorang pencipta, dan itulah Tuhan. Adapun dalil al-imkan menyatakan bahwa alam ternyata bukanlah wajib al-wujud (wujud yang niscaya), karena ia pernah tidak ada, dan akan pada waktunya tiada, dan juga bukanlah mumtani’ ‘al-wujud(wujud yang mustahi), karena nyatanya alam semesta ada pada saat ini. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa alam ini adalah mumkin al-wujud (wujud yang mungkin). Ketika Ibn Sina menyimpulkan bahwa alam ini mungkin, maka pada dirinya alam itu hanyalah potensi. Dan seperti halnya semua potensi, potensi alam untuk ada tidak bisa teraktualkan dengan sendirinya. Agar potensi itu aktual maka kita membutuhkan agen yang telah aktual untuk mengaktualkan potensi alam untuk ada, atau mewujudi. Nah karena pada kenyataannya alam ini wujud, padahal sebagai potensi ia tidak bisa mewujudkan dirinya sendiri, maka mesti ada wujud lain yang telah aktual yang bertanggung jawab atas aktualisasi alam seperti sekarang ini. Inilah Tuhan, yang merupakan Wajib al-Wujud, atau Wujud yang senantiasa aktual. Adapun dalil al-‘inayah, yang juga dapat disamakan dengan “argument from design” menyatakan bahwa adanya keserasian, keteraturan dn rancangan yang nampak jelas pada manusia di alam ini, menunjukkan adanya sang perancang, yang bertanggung jawab atas keserasian dan keteraturan alam yang begitu mengagumkan.
Sebenarnya ada lagi argumen lain yang diajukan oleh filosof paska Ibn Rusyd, yaitu Mulla Shadra (w. 1641), yang disebut burhan al-shiddiqin; yang membuktikan wujud Tuhan, tidak dari wujud yang nisbi menuju wujud yang niscaya, tetapi dimulai justru dari wujud yang niscya terlebih dahulu. Mulla Shadra menyatakan bahwa Tuhan itu adalah wujud murni, maka kita tahu bahwa ia adalah sumber dari mana semua wujud lain berasal. Tetapi wujud murni ini tidak memerlukan bukti dari yang lain, melainkan dari dirinya sendiri, yang dikatakan self-evident. Dikatakan self-evident karena tidak ada kenyataan yang lebih jelas daripada wujud itu sendiri. Kita bisa mengenal yang lain, karena terlebih dahulu kita telah mengafirmasi wujud sebagi wujud. Jadi sebgai sumber dari segala wujud, maka keberadaan Tuhan adalah self-evident, terbukti dengan sendirinya. Nampaknya argumen terakhir yang disebut burhan al-shiddiqin ini dipandang oleh Muthahhari dan juga gurunnya, Allamah Tabataba’i, sebagai lebih kuat.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Muthahhari sendiri memiliki argumen yang berbeda dengan yang lainnya? Jawabannya ya, dn ia menyebutnya, bersama gurunya Allamah Tabataba’i, metode realistik atau realisme instinktif,[9] karena didasarkan pada fitrah manusia. Tabataba’i menyatakan, adanya fitrah pada diri manusia memunculkan kesadaran bahwa ia dan alam yang melingkupinya adalah wujud yang nyata, bukan khayalan. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa keduanya merupakan wujud-wujud yang tak dapat berubah atau hancur. Kenyataan demikian mengharuskan wujud manusia dan alam bergantung pada sebuah wujud yang tetap. Keberadaan alam dan manusia bisa dipertahankan apabila masih terdapat hubungan dengan wujud yang tetap tersebut. Dengan demikian manusia harus mencari sebab dari setiap peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Akhirnya, berdasarkan pada kesadaran adanya wujud alam dan manusia yang nyata, bahwa mereka (alam dan manusia) haruslah memiliki satu sandaran yang merupakan sumber wujud dan sumber kekuasaan, serta pengetahuan yang tak terbatas. Dia-lah Tuhan, sumber dari segala wujud dan sistem yang ada padanya.[10]
Muthahhari sendiri memberikan garis argumen yang sama dengan gurunya Tabataba’i, tetapi dengan cara yang sedikit berbeda. Dia mengatakan bahwa ketika kita melihat alam sekitar melalui indera, maka kita akan dapati beberapa karakteristik dari alam tersebut, yaitu (1) Keterbatasan (limitation); (2) Perubahan (change); (3) Ketergantungan (dependency); (4) Membutuhkan yang lain (need) dan ke (5) Relalivitas.
Namun kekuatan nalar dan pemikiran manusia, berbeda dengan indera, tidak merasa puas dengan penampakan dari indera dan menyebabkan cahaya kalau dapat menembus di balik hijab wujud, dan menyatakan bahwa “wujud tidak bisa hanya terbatas pada fenomena yang terbatas, berubah-ubah, relatif dan kondisional begitu saja. Bangunan besar wujud yang kita lihat di hadapan kita sebagai keseluruhan tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu mesti ada di sana secara niscaya sebuah realitas yang tak terbatas, abadi, absolut, tak bersyarat dan berdiri sendiri yang hadir setiap saat dan waktu sebagai penopang bagi semua wujud. Kalau tidak maka semua bangunan wujud tidak bisa bertahan, atau bahkan tidak akan ada yang kita sebut benda tersebut. Yang ada hanyalah ketiadaan semata. Ini mengingatkan kita bahwa bangunan besar wujud ini membutuhkan Realitas, yang dengan-Nya alam bisa bertahan hidup. Namun ia sendiri adalah maha kaya (al_Ghani dalam pengertian suhrawardian), yakni tidak membutuhkan yang lain, tetapi segala yang lain justru membutuhkannya.
Selain bukti adanya Tuhan, Muthahhari juga, seperti filosof yang lain, berbicara tentang keesan (tauhid). Tentang konsep tawhid ini, saya diingatkan oleh pernyataan Muthahhari bahwa Syi’ah adalah penerus dari sekte teologi Mu’tazilah. Oleh karena itu, seperti yang akan kita lihat pandangan Muthahhari, sebagai filosof Syi’ah, memiliki kesamaan. Berbicara tentang tauhid, Muthahhari membedakan pada tiga level : Esensi (zat), sifat dan tindakan (af’al). Tauhid pada level esensi mengisyaratkan bahwa sang Realitas ini tidak mengizinkan dualitas atau keanehan apapun. Ia tidak memiliki padanan atau yang serupa dengan-Nya. Esensi wujud niscaya akan mengatasi semua pembicaraan tentang spesis dan varitas, karena itu semua merupakan karakteristik dari makhluk dan wujud-wujud yang mungkin. Jadi tauhid esensi ini berarti mengetahui esensi (Zat) Tuhan dalam keesaan dan keunikan-Nya.
Ada pun tauhid pada level sifat berarti “mengetahui bahwa zat Tuhan dalam kesamaannya dengan sifat-sifat-Nya dan sifat-sifat-Nya dalam kesamaan mereka satu sama lain. Kalau Tawhid dzati berarti menolak adanya yang kedua atau yang setara, maka tawhid sifati berarti menolak adanya jenis keragaman dan kemajemukan (compoundedness) apapun dalam dzat Tuhan sendiri. Sekalipun esensi Tuhan disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan—seperti keindahan (jamal) dan keperkasaan (jalal)—tetapi tidak berarti bahwa Tuhan memiliki berbagai aspek yang objektif. Ini bagi saya mengingatkan doktrin teologis Mu’tazilah yang disebut nafi’ al-Sifat, di mana sifat-sifat Tuhan, tidak dipandang sebagai realitas independen yang ditambahkan kepada Dzat-Nya.
Yang terakhir adalah tawhid ilahi dalam hal tindakan (af’al). Tauwhid af’al berarti melihat dan mengetahui bahwa alam semesta dengan semua sistem, norma, sebab dan akibatnya, tidak lain daripada tindakan-tindakan atau karya-karya Tuhan yang muncul dari kehendak-Nya. Tentu ini bukan pendapat tipikal para filosof Muslim, seperti al-Farabi dan Ibn Sina yang menolak ciptaan sebagai hasil dari kehendak Tuhan, tetapi lebih mirip dengan kebanyakan para teolog, baik Sunni maupun Syii’ah. Jadi, sebagaimana Ia tidak punya mitra dalam esensinya, demikian juga Ia tidak punya mitra dalam agensi. Setiap agen (pelaku) dan sebab, memperoleh realitas, wujud, pengaruhnya dan agensinya dari Tuhan. Karena itu semua kekuatan, semua daya ada melalui diri-Nya.
ALAM SEMESTA
Alam semesta merupakan ciptaan Tuhan, yang diciptakan melalui kehendak Tuhan. Ia menolak pandangan dari apa yang disebut sebagai “Negative Theology” yang menurutnya tidak punya gambaran yang jelas tentang Tuhan, yang disebutnya “the Unknown Cause.” Menurutnya Islam merujuk dengan jelas Tuhannya yang berdiri sebagai Pencipta. Pendapat Mutahhari yang menarik adalah tentang kesatuan alam. Karena Tuhan adalah satu dalam esensi, sifat dan agensinya, maka alam semesta sebagai karyanya juga menikmati kesatuannya yang organik. Mutahhari mengatakan bahwa dalam anotasi pada Prinsip Filsafat jilid 5 ia telah menunjukkan bagaimana alam itu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan tanpa menimbulkan kegoncangan secara keseluruhan. Juga ditunjukkan di sana bagaimana hilangnya satu bagian dari alam akan sama dengan hilangnya keseluruhan. Bahkan lebih dramatis lagi, ia mengatakan betapa hilangnya “kejahatan-kejahatan” dari alam ini akan berarti hilangnya semua yang ada di alam raya ini. Bahkan ia menyatakan bahwa filosof seperti Hegel juga mengakui prinsip kesatuan organik dari alam semesta ini. Hubungan organik ini sering diumpamakan oleh Mutahhari dengan hubungan antara anggota badan dengan badannya itu sendiri. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa ia menolak penjelasan kaum Materialis yang menurut hematnya hanya bisa menggambarkan hubungan tersebut secara mekanik, bukan organik. Tetapi para teosofer (‘urafa’) dan pemikir-pemikir kuno sering menggambarkan dunia sebagai “Manusia Besar” dan manusia sebagai “Dunia kecil.” Jadi para teosofer dan bukan para filosof (falasifa) yang lebih dekat pada pandangan dunia organik. Tentu saja kalau kita kaitkan dengan perkembangan fisika baru yang lebih melihat alam sebagai hubungan-hubungan yang saling terkait, maka pandangan Mutahhari tentang kesatuan organik ini lebih maju dibanding dengan para filosof yang berpandangan dunia mekanistik.
Pandangan lain yang menarik dari Mutahhari tentang alam semesta ini adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa dunia terdiri dari gabungan antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Kata gaib dapat diartikan sebagai yang tersembunyi. Yang tersembunyi pada gilirannya dibagi lagi ke dalam dua bagian ghaib yang relatif dan ghaib yang absolut. Ghaib yang relatif adalah benda-benda yang tersembunyi karena terhalang oleh jarak, baik ruang maupun waktu. Sedangkan ghaib yang absolutu merujuk kepada Tuhan, yakni esensi Tuhan. Yang menarik adalah ketika Mutahhari menggambarkan hubungan antara yang nampak dan yang ghaib. Ia mengatakan ketika kita bicara tentang dunia fisik yang nampak sebagai memiliki batas, maka tidak berarti bahwa dunia ghaib berada di luar batas tersebut. Karena kalau begitu dua ghaib berarti juga punya tatanan ruang sebagaimana dunia fisik. Oleh karena itu, menurutnya hubungan itu paling mungkin digambarkan sebagaimana hubungan antara figur dan bayangannya dalam cermin.[11] Tentu saja ini mengingatkan kita pada deskripsi Ibn ‘Arabi yang menggambarkan bahwa dunia ini adalah refleksi dari wajah Tuhan yang Esa.
Satu hal lagi yang menarik dari renungan Mutahhari tentang alam semesta ini adalah pandangannya bahwa alam semesta berkembang secara vertikal, jadi semacam gerak evolutif. Tentu saja telah ada pemikir Muslim yang mendukung teori evolusi, seperti Jalal al-Din Rumi (w. 1273) dan Mulla Shadra (w. 1641) dengan teori “trans-substantial Movement.” Bahkan Mutahhari menambahkan bahwa teori evolusi tidak mesti bertentangan dengan ajaran agama. Apa yang menyebabkan teori evolusi mengarah pada ateisme di Barat, itu, menurutnya, karena konsep mereka tentang “the Unknown cause,” yang dikenal dalam the negative theology dan akibat dari pemikiran Yahudi yang mensyaratkan adanya titik permulaan dalam penciptaan. Tetapi saya curiga jangan-jangan Mutahhari tidak mengerti betul apa yang dimaksud dengan negative theology, karena sepengetahuan saya, negative theology diterapkan kepada Tuhan dalam level Zat-nya, yang memang tidak mungkin kita pahami kecuali melalui jalan negatif, atau dalam bahasa Latinya via-negative.
MANUSIA
Manusia tentu saja merupakan hasil evolusi yang terakhir, dan karena itu sebagai makhluk ia memiliki karakter atau sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan dan makhluk-makhluk yang lebih rendah lagi. Sekalipun hewan dikatakan memiliki kesadaran dan nafsu, namun kesadaran hewan tentang dunia fisik, hanyalah merupakan kesadaran inderawi, dan tidak bisa menjangkau ke kedalaman dan antar-hubungan batin antara benda-benda. Juga kesadaran hewani hanyalah pada objek-objek yang bersifat individual dan partikular, dan tidak bisa menjangkau yang bersifat universal dan general. Tetapi kesadaran manusia bisa mencapai apa-apa yang tidak bisa dijangkau oleh kesadaran hewani tadi. Kesadaran manusia tidak tetap terpenjara dalam batas lokal dan ruang, tidak juga ia terbelenggu pada waktu tertentu; kesadaran manusia justru bisa melakukan pengembaraan menembus ruang dan waktu.[12]Tetapi selain itu, yang betul-betul menjadi ciri yang membedakan manusia dengan hewan adalah ilmu dan iman. Inilah perbedaan utama manusia dari hewan. Oleh karena itu sains dan iman merupakan dua hal yang harus diperoleh dan dikembangkan manusia untuk mengekspresikan kemanusiaannya.
Manusia menikmati kemuliaan dan keagungan yang khusus di antara makhluk-makhluk yang lain dan memiliki peran khusus, sebagai wakil Tuhan dan misi yang khusus, sebagai pengelola alam. Namun manusia, dengan kebebasan memilihnya, bertanggung jawab atas evolusi dan pertumbuhan dan pendidikannya dan atas perbaikan masyarakatnya. Alam semesta, merupakan sekolah bagi manusia, dan Tuhan akan memberi pahala setiap diri manusia sesuai dengan niat baiknya dan usahanya yang lurus. Manusia juga dikatakan mempunyai peran kausal dalam dan pengaruh terhadap tindakan-tindakannya. Ia bahkan lebih berpengaruh dalam membentuk nasibnyanya sendiri ketimbang yang lain.
Sebagai pemikir Syi’ah yang sering diidentikkan dengan Mu’tazilah, Mutahhari menolak bahwa manusia telah ditentukan nasibnya secara deterministik. Kepercayaan Syi’ah pada prinsip keadilan, dalam pandangan Mutahhari berarti bahwa Syi’ah mengakui prinsip kebebasan manusia, pertanggung-jawaban manusia dan kreativitasnya. Takdir Tuhan telah menciptakan sistem dan telah memunculkan serangkaian norma dan hukum. Karena itu, kapan saja manusia mencari sesuatu yang diinginkannya, ia harus mencarinya lewat sistem dan norma-norma tadi, jadi rizki, sekalipun berasal dari pusaka ilahi, tetapi harus dicarai melalui sistem dan norma tertentu, dan bukan dengan begitu saja diberikan secara pilih kasih.
PENUTUP
Demikianlah telah saya sajikan beberapa renungan Murtadha Mutahhari yang menurut saya cukup menarik, sekalipun di sana sini masih terlihat adanya problem inkonsistensi. Tetapi terlepas dari itu semua, dan sekalipun dikatakan oleh Hamid Dabashi, bahwa dibanding dengan rekan yang lainnya seperti Jalal al-Din Asytiyani dan Ha’eri Yazdi adalah kelas kedua, dan dalam pemikirannya sering dijumpai penyederhanaan-penyederhanaan, tetapi menurut saya renungan-renungan filosofisnya tersebut, tetapi bisa menjadi bahan pemikiran dan renungan dan bahan studi filsafat pada masa mendatang.
Pada akhirnya, kita bersyukur bahwa umat Islam kontemporer telah dikarunia orang-orang besar seperti Murtadha Mutahhari yang bukan hanya telah menyumbangkan pikirannya, tetapi juga darah dan daging untuk kepentingan Islam, agamanya yang sangat ia cintai.***
Pondok Petir, 7 Mei 2004.
Makalah ini disampaikan pada seminar Internasional “Pemikiran Murtadha Muthahhari”, 8 Mei 2004 di Jakarta.
Footnote:
[1] Sumber informasi biografis ini sebagai besar diambil dari buku Hamid Dabashi, Theology of Discontemt: the Idological Foundation of The Islamic Revolution in Iran (New York & London: New York University Press, 1993), h. 148-150.
[2] Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, ed. 2 (New York: Columbia University Press, 1983), h. 222-223.
[3] Lihat Hamid dabashi, The Theology of Discontent, h. 151.
[4] Ibid.
[5]Al-Amiri, misalnya mengatakan bahwa Pitagoras belajar metafisika dati sahabat-sahabat Nabi Sulaiman, dan Empedokles belajar dengan Lukman al-hakim E. K. Rowson (ed.), A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiri’s Kitan al-Amad ala al-Abad (New Haven: American Oriental Society, 1988), h. 71-71.
[6] Murtaza Mutahhari, Fundamentals of islamic Thought: God, Man and the Universe, translated by R. Campbell (Berkeley: Mizan Press, 1985), h. 146.
[7] Mutahhari, The Fundamentas of Islamic Thought, h. 153.
[8] Lihat Mulyadhi kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan 2002) terutama bab kelima.
[9] Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat ‘Allamah Thabathaba’i(Jakarta: Teraju, 2004), h. 89.
[10] Mutahhari, The Fundamentals, h. 85.
[11] Mutahhari, The Fundamentals, h. 117.
[12] Ibid, h. 26.
SUMBER https://icasjakarta.wordpress.com/2010/02/22/renungan-renungan-filosofis-murtadha-mutahhari/