Saya senang bisa menuntaskan baca sebuah buku yang berasal dari disertasi. Sebuah karya ilmiah (akademik) yang ketat dalam unsur metodologi dan langkah operasional risetnya. Yakni buku "Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam" ditulis oleh Dr Mardety Mardinsyah. Buku ini terbit tahun 2018 dengan penerbit Bitread. Dan saya dapat buku ini sekira dua bulan lalu. Saya simpan dan pekan ini baru dibaca.
Dan ini buku ini termasuk yang menganjurkan memahami ayat suci Alquran dengan hermeneutika feminis untuk ayat tentang kepemimpinan perempuan, saksi, thalaq, poligami, dan waris. Penulisnya membatasi sekaligus mencontohkan penafsiran ala hermeneutika feminis ayat-ayat Alquran pada tema tersebut. Memang tema itulah yang sering dibincangkan para kalangan feminis terkait dengan agama Islam.
Ada lima bab yang disajikan. Pertama terkait latar belakang dan alasan riset serta kegunaan dari hermeneutika feminis. Kedua adalah model seorang penafsir modern yang menggunakan perspektif feminisme, yaitu Amina Wadud yang terkenal mempraktekkan dirinya sebagai khatib dan imam shalat jumat.
Ketiga tentang hermeneuntika dan Alquran yang di dalamnya disebutkan mufassir klasik cenderung mengabaikan "perasaan" perempuan dalam menerangkan ayat Alquran. Juga menyebutkan para mufassir banyak didominasi kaum lelaki sehingga perspektif gender dalam menafsirkan Alquran tidak muncul. Ini yang menjadikan disertasi dibuat untuk menunjukkan pola dan langkah dalam menafsirkan atau tawaran cara memahami Alquran dengan hermeneutika feminis. Bab empat masuk pada langkah praktis dan model hermeneutika yang dipakai.
Dengan merujuk pada Amina Wadud, Fazlur Rahman, dan Gadamer, penulis buku menyebutkan kajian gender bersifat tematik sehingga ayat Alquran mesti dicari yang terkait dengan tema-tema feminis. Selanjutnya melakukan kontekstualisasi historis dari ayat tersebut. Kemudian dipahami dengan utuh dari keseluruhan ayat yang hendak ditafsirkan dengan berpegang pada paradigma tauhid, yaitu menegaskan kesatuan ayat-ayat Alquran secara keseluruhan, menerangkan dinamika universal dan partikular, membangun pemahaman yang menunjukkan pembelaan pada kesetaraan gender.
Terakhir bab lima adalah penutup berupa simpulan dari isi buku. Saya kira bagian akhir ini enak dibaca untuk yang malas baca dari awal sampai bab empat. Hanya saja nanti konstruksi pemikiran disertasi ini tidak akan terbayang dibenak. Jika ingin tahu mendalam, ya mesti dibaca dari awal sampai akhir, baru nanti bisa dipahami konten buku ini. Tidak tebal hanya 184 halaman.
Setelah membaca buku "Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam", saya merasa terganggu dengan judulnya yang menyematkan kata Islam. Sebab saat dibaca tuntas dari awal sampai akhir halaman buku, yang bertebaran pada lembar demi lembar hanya berupa ayat Alquran dan hanya mengambil Amina Wadud sebagai model penafsir Alquran versi gender.
Kemudian hermeneutika untuk menafsirkan ayat Alquran dalam buku ini pun terkait dengan tafsir feminis, dalam hal ini tentu untuk mengungkap maksud dan pesan Alquran tentang ayat terkait gender. Menarik karena penulisnya memberi tabel perbedaan penerjemahan Alquran versi Kemenag dan feminis. Sangat beda dan tentu akan melahirkan penafsiran yang berlainan dari pemahaman yang umum. Dalam tafsir Alquran untuk khazanah modern memang tidak ada standar baku, tergantung perspektif sang penafsir (mufassir).
Saya merasa terganggu dengan judul yang memakai kata Islam. Mengapa tidak langsung gunakan kata Alquran atau penafsiran Alquran saja? Sebab uraian gender dalam buku ini pun terkait dengan penafsiran Alquran yang berujung pada penerapan untuk di masyarakat yang membela perempuan dan bersemangat gender.
Masalahnya, jika menggunakan kata Islam maka hadits-hadits atau riwayat Rasulullah Saw harusnya masuk dan diarahkan untuk diberi syarh dengan rasa feminis. Bukankah bangunan agama Islam secara sumber terdiri dari Alquran dan hadis? Dan keduanya pula yang menopang konstruksi pemikiran umat Islam. Maka akan sangat kaya khazanah kajian ilmiah dalam disertasi ini jika menyertakan sumber Islam satunya lagi.
Tapi, ya sudahlah. Toh disertasi ini sudah lolos ujian sidang para guru besar di Universitas Indonesia, sehingga bisa disebut karya ilmiah. Selamat dan terima kasih sudah berkenan berbagi pemikiran melalui buku. *** (Ahmad Sahidin)