Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Bahasa selalu menarik perhatian saya. Satu kata bisa menimbulkan ragam makna. Sebuah konflik besar bisa jadi berasal dari pemahaman terhadap kata yang sederhana. Perang dunia bisa dipicu oleh penggunaan kata yang tidak pada tempatnya. Ambil contoh, kata ‘kafir’. Bagaimana ia telah digunakan dalam berbagai sengketa sepanjang sejarah. Dunia tak pernah sama tanpa kehadiran kata-kata.
Itulah barangkali yang diajarkan pada manusia. Tuhan Yang Mahakasih pada pembukaan surat yang mengabadikan namaNya yang penuh kasih berfirman: Sang Pengasih, yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya al-bayan. (QS. Al-Rahman [55]:1-4) Terjemahan Indonesia memaknai al-bayan dengan ‘pandai berbicara’. Saya menggemari tafsir Al-Qur’an. Saya senang membaca penjelasan tentang kitab suci. Menurut saya, samudera di dalamnya tak terhingga. Semakin mengkaji seperti melihat alam semesta ini. Makin luas, makin tak berarti, makin kecil memahami diri. Semakin tahu, semakin banyak yang tidak diketahui.
Di antara hal yang dibahas dalam ‘ulum al-Qur’an adalah daqaiq al-Qur’an, presisi Al-Qur’an. Mengapa satu kata didahulukan di atas yang lainnya? Mengapa digunakan kata itu dan bukan yang lainnya? Mengapa satu ayat diturunkan sebelum yang lainnya? Mengapa huruf semisal alif laam mim ada 14 jumlahnya? Mengapa penggunaannya ada 14 juga? Bila disusun menjadi kalimat, apa yang terbaca? Mengapa Al-Qur’an turun dalam Bahasa Arab? Mengapa dan mengapa? Dari ayat Surat al-Rahman itu, mengapa Allah Ta’ala mengajarkan Al-Qur’an (dulu), lalu (baru) menciptakan manusia? Mengapa penciptaan manusia tidak didahulukan dari penyebutan Al-Qur’an?
Menurut saya, tak ada yang kebetulan. Sebagai mukjizat, setiap huruf Al-Qur’an menyimpan rahasia kehidupan. Demikian pula urutannya. Benarlah kita sebagai makhluk yang berada dalam kerugian. Berlalu sekian tahun dari usia, dan tidak bertambah keberkahan dari pemahaman terhadap kitab suci yang diturunkan.
Saya berencana menuliskan beberapa hal terkait dengan apa yang saya pelajari. Ada banyak ‘pekerjaan’ saya yang tertunda, termasuk di antaranya menyelesaikan beberapa buku. Tetapi bagian dari ‘menuliskan’ Al-Qur’an ini seperti menggantung di kepala. Saya tidak bisa lanjut pada pekerjaan berikutnya sebelum menuangkan loncatan-loncatan pikiran tentang Al-Qur’an itu dalam kata-kata, dalam tulisan, dalam sebuah sistematika penyusunan. Itulah bahasa. Al-Bayan. Ia berkah teramat besarnya. Dan seperti kebanyakan berkah, ia juga bisa menyimpan potensi musibah yang tak kalah besarnya. Ia bisa memberikan jawaban, tetapi juga bisa membuka lebih banyak lagi pertanyaan. Bagi yang ingin ketenangan dalam pikiran, membaca tulisan saya tidak akan membantu penyelesaian.
Kemarin, saya menulis serangkaian pesan singkat di twitter. Intinya mana yang lebih baik: berdzikir atau belajar. Saya jawab belajar. Mengapa? Karena dzikir bermanfaat untuk diri sendiri, sedangkan belajar (dan ilmu) bermanfaat untuk orang banyak. Bukankah Baginda Nabi Saw satu saat masuk ke masjid. Di sana ada dua majelis: yang satu membaca Al-Quran dan yang lainnya belajar. Ke mana Baginda Saw akan bergabung? Beliau bersabda: “Alangkah baiknya kedua hal ini. Sungguh, aku diutus sebagai seorang guru.” Dan Baginda Saw pun bergabung bersama majelis ilmu. (HR. Ibnu Majah 229)
Ibadah memang mendatangkan pahala, setidaknya untuk pelakunya. Belajar mendatangkan pahala atas keberkahan ilmu yang dihasilkannya. Keduanya tidak luput dari ujian. Ujian ibadah adalah perasaan sudah diterima, merasa diri lebih baik dari yang lain, dan tidak nyaman bila melihat orang lain berbeda dalam pengamalan (karena egonya akan mempertanyakan adakah seluruh kerja keras yang selama ini dilakukannya sia-sia). Sedangkan ujian ilmu adalah perbedaan dalam pendapat, dalam keyakinan.
Saya memilih yang kedua itu. Saya sudah belajar untuk toleransi pada mereka yang berbeda pengamalan. Bagi saya, saudara mau sedekap di pusar, di bawahnya, atau di dada, silakan. Saudara mau tidak sedekap pun, silakan. Bagi setiap orang ada argumentasi yang dijadikannya dalil kepercayaan. Saudara mau Subuh dengan qunut, silakan. Mau tidak qunut, silakan. Mau qunut setiap shalat, silakan. Tuhan tidak melihat lahir, melainkan batin yang tersimpan. Sepanjang itu semua didasarkan nash yang dibenarkan, yang dapat dipertanggungjawabkan. Kini, saya belajar untuk bersiap menempuh ujian di jalan ilmu itu: perbedaan pendapat dan pikiran. Ini ujian yang jauh lebih riuh rendah dibandingkan yang lainnya. Dalam menyampaikannya, kita akan harus menggunakan kata-kata, bahasa. Di sinilah awal silang sengketa. Boleh jadi yang kita sampaikan diterima secara substansi, tetapi cara kita menyampaikannya menyakiti lawan bicara. Yang pertama dipelajari melalui ilmu, yang kedua melalui akhlak dan budi pekerti. Keduanya tak terpisahkan.
Kini, kata-kata (dan bahasa) itu naik pada tingkat berikutnya. Melalui layar sosial media, ia tersimpan lebih lama dalam memori otak kita. Kita tidak mendengarnya lagi melalui telinga. Kita melihatnya melalui mata. Ia langsung menohok sumber kesadaran kita. Kita terusik oleh apa yang kita baca. Mata sungguh adalah jendela jiwa.
Bismillah. Saya berniat untuk melanjutkan Kelas Tafsir dan memulainya dari alif ba ta yang pertama. Saya coba untuk menuliskan setiap pemahaman yang saya terima. Berbaginya dengan saudara. Saya (belajar untuk) siap bila ada yang pendapat yang berbeda. Sekiranya ada manfaat yang saudara terima dari tulisan saya, saya hanya berharap saudara melakukan satu hal saja: perbanyaklah membaca kitab suci. Dan jangan pernah satu hari pun berlalu dan kita tidak membacanya.
Sungguh, bahasa yang kita ucapkan sering menjadi sumber derita. Mengapa tidak mengisi jiwa dengan ‘bahasa’ yang diturunkan sebagai petunjukNya?
@miftahrakhmat