Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Allamah Thabarsi adalah seorang mufassir. Ia menulis kitab tafsir Majma’ al-Bayan. Konon, tafsir itu ditulis karena nazar yang ia lakukan. Satu saat, ia ditemukan tak bernafas, tak bergerak. Keluarganya mengira ia sudah meninggal dunia. Maka, jasad dimandikan, dishalatkan, dikafani dan dimakamkan. Setelah dikuburkan itulah, Allamah terbangun. Ia mengalami apa yang sering disebut orang dengan mati suri. Ia tahu apa yang terjadi. Dalam kegelapan kuburan, dalam keadaan terikat kain kafan ia berdoa pada Allah Ta’ala. Ia bernazar, sekiranya Allah Ta’ala mengeluarkannya dari kuburan, ia akan menulis tafsir Al-Qur’an.
Dan terjadilah. Seorang pencuri kain kafan membongkar kuburannya. Ia hendak mengambil kain yang masih baru itu. Begitu hendak melepaskan ikatan, tangan Allamah mencengkeramnya. Ia menjerit ketakutan. Allamah berusaha menenangkan dan mengajaknya bicara. Ia malah berteriak. Hingga akhirnya, Allamah dapat meyakinkannya. Ia ceritakan padanya apa yang terjadi.
Pencuri itu mengurai ikatan kafan. Ia membantu Allamah berdiri. Mengantarnya dalam bungkusan kain kafan itu kembali ke rumahnya. Keluarga terkejut melihatnya. Ungkap syukur pada Allah dan mengagungkan kebesaranNya. Allamah pun memberikan kain kafan dan sejumlah uang pada pencuri. Ia bertaubat. Peristiwa malam itu mengubah jalan hidupnya. Allamah pun menepati nazarnya. Ia menulis Majma’ al-Bayan (Riyadh al-‘Ulama, 2:358; Rawdhat al-Jannat, 5:362; Mustadrak al-Wasa’il 3:487).
Demikian kisah Allamah. Ia membaktikan sisa hidupnya dalam mengajarkan Al-Qur’an. Pada kultum di SMP Bahtera saya sampaikan pada anak-anak hadits, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan yang mengajarkannya” (HR. Bukhari 5028, Ibnu Majah 177). Allamah telah melakukan itu. Ia niatkan dari kegelapan kuburannya.
Dan saya ingin meneladani jejak langkahnya. Setidaknya, berharap beroleh terang dari kegelapan yang menyelimuti saya. Setiap Jum’at saya akan menulis hal berkaitan dengan Al-Qur’an. Saya sebut ia Risalah Jum’ah. Ini yang kedua. Ia bukan tafsir, melainkan segala hal yang ingin saya bagi dari apa yang saya pahami. Saya sudah tuliskan sebelumnya, sangat mungkin saya keliru. Dan saya berharap Saudara berkenan berbagi ilmu, meluruskan kesalahan saya, mengingatkan saya. Apa yang saya pahami ini bentuknya populer, tidak mendalam. Sebuah upaya seorang awam untuk lebih mendekatkan diri pada kitab suci. Berharap dengannya keberkahan cahayanya menyinari diri. Berkenan kiranya ada yang kurang pas dalam setiap tulisan ini, agar saya dikoreksi.
Saya mulai dengan keajaiban setiap kata yang dipilih dalam Al-Qur’an, keajaiban bahasa Arab. Menurut saya, bahasa Arab ‘dijaga’ Allah Swt untuk menjadi wasilah turunnya kitab suci. Ia mengalami evolusi berbahasa begitu rupa hingga sampai pada tingkat kesempurnaan tersendiri. Kesempurnaan yang hanya layak untuk menampung kitab suci. Mungkin senilai (atau mendekati) kesempurnaan perilaku Baginda Nabi Saw. Setiap ayat Al-Qur’an tercermin dalam setiap tutur dan langkah Baginda. Karenanya, pelajarilah Bahasa Arab. Dekatlah dengan Al-Qur’an. Mendekatinya, mendekatkan kita pada Baginda Nabi Saw.
Tetapi, ada juga kekhawatiran. Setiap nikmat besar tentu dibayangi oleh ujian yang besar pula. “Betapa banyak yang membaca Al-Qur’an dan Al-Qur’an melaknatnya” (HR. Anas bin Malik dalam Ihya Ulumuddin Imam Ghazali 1:274), atau hadits “Kebanyakan orang munafik umat ini adalah para pembaca Al-Qur’annya” (HR. Ahmad 4:151, 155; Thabrani, Baihaqi, dan Dailami). Hadits yang pertama meski diriwayatkan oleh Imam Ghazali diragukan kesahihannya oleh sebagian orang sekarang ini. Menariknya hadits yang kedua justru dishahihkan oleh Imam al-Albani, ahli hadits mutakhir dalam al-Silsilah al-Shahihah 2:386. Menurut saya, keduanya berkaitan. Bagaimana bisa?
Bayangkan, membaca Al-Qur’an tapi kok dilaknat? Membaca Al-Qur’an tapi disebut munafik, jenis yang paling banyak lagi. Bukankah membaca Al-Qur’an adalah pahala teramat besarnya? Ternyata mayoritas ‘penyakit’ kemunafikan yang diderita umat ini bukan dari berkata lalu berdusta, bukan dari berjanji lalu mengingkari, bukan dari amanat lalu berkhianat… benar semua itu ciri kemunafikan. Tetapi menurut Baginda Nabi Saw kebanyakan orang munafik itu justru adalah para pembaca Al-Qur’an.
Ya Allah, berilah hamba petunjuk. Bagaimana memahami keduanya. Mungkinkah karena orang membacanya tapi tidak mengambil pelajaran darinya? Mungkinkah karena orang merujuknya hanya untuk kepentingan dirinya? Mungkinkah karena mereka berusaha memahami tetapi tidak dengan mengambil jalan yang semestinya? Bimbing aku Ya Allah. Ajari aku pemahaman.
Menurut saya, kunci terbesar memahami Al-Qur’an itu adalah Bahasa Arab. Tidak mungkin sampai pada kemuliaan Al-Qur’an tanpa mengetahui bahasa yang dengan itu ia diturunkan. Maka belajarlah dari ia yang paling memahami Bahasa Arab. Bila dirunut dalam sejarah, setelah Baginda Nabi Saw, siapakah dia? Menarik menelusuri bahwa tidak setiap nabi diturunkan bersamanya kitab suci. Tetapi setiap kitab suci pasti mensyaratkan kehadiran seorang nabi. Sebagai pendampingnya, sebagai satu-satunya insan yang punya otoritas mutlak untuk menjelaskannya. Setelah Baginda Saw adakah pendamping itu? Adakah yang menjelaskan Al-Qur’an di antara sahabat Nabi Saw? Bukan hanya dalam ilmu, tetapi juga dalam hidup dan perilaku. Siapa afshah al-‘Arab setelah Nabi Saw? Siapa yang paling memahami setelah Baginda Nabi Saw?
Sebuah riwayat yang terkenal berbunyi berikut ini: "Yang paling penyayang di antara umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam agamanya adalah Umar, yang paling malu adalah Utsman, dan yang paling paham agama di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib". Hadits ini mutawatir, diriwayatkan dalam banyak kitab dengan derajat yang sahih. Rujuk misalnya Sunan Ibnu Majah 125, 155 yang disahihkan Al-Albani. Ibn Baz bahkan mentakhrijnya dalam Hasyiyah Bulugh al-Maram 564.
Dalam riwayat lain (HR. Bukhari 4121), dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khattab berkata “…Ali adalah yang paling paham agama di antara kami…” ketika diminta menjelaskan ayat, “Apa yang kami nasakh dari Al-Qur’an atau kami jadikan (manusia) lupa…” (QS. Al-Baqarah [2]:106).
Redaksi hadits-hadits di atas berbunyi ‘aqdhana’ dari kata 'qadhi’. Lagi-lagi, kita harus merujuk pada Bahasa Arab untuk makna yang paling pas. Qadhi artinya bijak, yang paling tahu hukum. Bagaimana mungkin seorang berhukum dengan hukum Islam kalau tidak mengetahui Al-Qur’an, kalau tidak mengetahui Sunnah dan ajaran Rasulullah Saw? Karenanya, yang paling tahu hukum Islam adalah yang paling paham agama Islam.
Sekarang, apa kaitannya dengan kemunafikan? Apakah bila kita belajar Al-Qur’an dan tidak mempelajarinya dari sahabat yang paling mengetahui hukum Al-Qur’an…adakah kita masuk dalam riwayat yang mengecam itu? Kita dilaknat dan jatuh dalam kemunafikan? Ya Allah, lindungi dan beri kami petunjuk. Apakah kaitannya dengan sahabat Ali bin Abi Thalib itu?
Dalam riwayat yang lain Baginda Nabi Saw bersabda: “Hai Ali, tidak akan mencintaimu kecuali orang beriman. Dan tidak akan membencimu kecuali orang munafik.” (HR. Imam Ahmad 2:648; HR. Muslim 113; dan masih banyak lagi) Begitu banyaknya hadits yang meriwayatkan yang sama dengan beragam redaksinya, sehingga kita dapat mengumpulkannya menjadi kitab tersendiri.
Kesimpulannya: sekadar sebuah teori. Dan disinilah kita bisa berdiskusi. Menurut saya, kita tidak bisa memahami Al-Qur’an tanpa belajar dari pemegang kuncinya. Ia yang paling paham tentang agama ini. Mencoba-coba memahaminya tanpa ilmu yang semestinya bisa jadi menjerumuskan kita pada kemalangan: dikutuk dan jatuh dalam kemunafikan. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari nasib yang demikian.
Sahabat Ali bin Abi Thalib ra adalah yang paling wajib dirujuk dalam berusaha memahami Al-Quran ini. Ia menyertai Baginda Nabi Saw sejak kecil. Mengikutinya bersemayam di gua hira. Mengimani Nabi sejak permulaan, hingga memperistri putri terkasih Rasulullah Saw. Pastilah ia banyak beroleh momen kehidupan berbincang dan belajar pada Rasulullah Saw. Pastilah Baginda Nabi Saw mengajarinya banyak ilmu. Bukankah tentang Ali juga Baginda bersabda, “Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya.” (Al-Hakim, Mustadrak al-Shahihain 3:126).
Ali bin Abi Thalib ra, satu di antara Khulafa al-Rasyidin umat Islam itu gugur syahid di mihrabnya, pada malam 21 bulan suci Ramadhan. Menariknya, pembunuhnya: Ibnu Muljam adalah seorang penghafal Al-Qur’an. Ia terkenal dengan bacaan Al-Qur’annya yang indah. Ia disebut sering shalat malam dan bekas sujud tampak di dahinya. Dan toh…ia jugalah yang membunuh sahabat Rasulullah Saw itu. Mengapa Al-Qur’an tidak berbekas di jiwanya? Mengapa hafalan dan bacaan kitab suci justru menjadikannya orang yang keras hati?
Ya Allah…bimbing kami selalu untuk memahami kitab suci. Dekatkan kami selalu kepadanya.
@miftahrakhmat