
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Jumat ini saya jadwal khutbah. Karena sedang tertarik dengan daqaiq al-Qur’an, pembahasan saya terkait dengan itu. Daqaiq adalah presisi. Bagaimana dengan tepat dan sempurna, Al-Qur’an memilih satu kata tertentu dari yang lainnya. Kali ini, karena musim haji, saya membahas ayat-ayat (berkaitan dengan) haji.
Pertama, Surat Haji [22]:27, “Dan serulah manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Kedua, Surat Ali Imran [3]:97, “…haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi yang sanggup mengadakan perjalanan menujunya…”
Dan ketiga, Surat Ali Imran [3]: 96, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, adalah Baitullah di (lembah) Bakkah yang diberkati…”
Apa yang menarik dari ketiga ayat di atas, persamaan yang ada di antaranya? Khithab atau sasaran yang dirujuk sebagai ‘audiens’ firman Allah Swt. Allah Ta’ala dalam ayat-ayat tentang haji ini tidak menyeru umat Islam (saja), tidak menyeru kaum yang beriman (saja), sebagaimana Dia perintahkan kaum yang beriman untuk puasa dan shalawat. Dalam ayat haji ini, Allah Ta’ala menyeru umat manusia, al-naas. Lihat lagi ketiga ayat di atas. Adakah itu berarti kewajiban haji mengikat umat manusia seluruhnya? Bagaimanakah kita memahaminya?
Islam adalah agama yang istimewa. Islam punya kitab suci yang terpelihara. Jutaan orang menghafal dan menghafalkannya. Islam punya seruan adzan yang tak pernah berhenti berkumandang. Islam punya Ka’bah Baitullah yang jantungnya tidak pernah berhenti berdetak. Selalu ada yang tawaf dan beribadah di sekitarnya. Islam punya Rasulullah Saw yang menjadi pengikat silsilah sejak Nabi Adam as hingga manusia akhir zaman. Dan Islam punya haji. Ibadah setahun sekali yang memberikan dampak besar bagi kemanusiaan.
You see, segera setelah ayat yang berkisah untuk menyeru manusia berhaji, Allah Ta’ala dengan indah mengawali keberkahan yang dihadirkan oleh ibadah ini. “Agar mereka menyaksikan manfaat-manfaat (haji) bagi mereka…” barulah setelah itu, Allah Ta’ala berfirman dan memerinci ibadah haji, “…supaya merea menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan…hilangkan kotoran yang ada pada badan…sempurnakan nazar…dan tawaflah di sekitar Baitullah…” (QS. Hajj [22]: 27-29). Sebelum semua ritual haji, Allah Ta’ala tunjukan keberkahan haji dengan manfaat yang dihadirkannya. Untuk siapa? Bagi umat manusia seluruhnya.
Konon, haji menjadi satu di antara lima event penting bisnis dunia. Perekonomian yang berputar sekitar haji dapat mendatangkan manfaat bagi umat manusia. Selayaknya dari ibadah haji dipersembahkan kontribusi Islam bagi permasalahan dunia. Haji (dan perekonomiannya) dapat mengentaskan kemiskinan, mengenyangkan orang yang lapar, menolong mereka yang teraniaya, tertindas, terusir dari tanah kelahiran. Haji dapat membantu melahirkan generasi-generasi terdidik untuk masa depan umat manusia.
Ambil contoh saja Indonesia. Bila setoran pertama haji adalah 25 juta, lalu baru dapat berangkat 10 tahun kemudian, dan jumlah jamaah adalah 200.000 orang. Bayangkan banyaknya uang yang ‘mengendap’ selama sepuluh tahun itu. Belum lagi untuk urusan yang lainnya. Karena itulah sebagian negara mengusulkan agar haji dikelola bersama, agar manfaatnya dapat dirasakan dan kembali kepada negara-negara Islam itu. Menurut saya, ia harus lebih dari itu. Umat manusia dan dunia harus melihat manfaatnya.
Bayangkan 2 juta jemaah haji mengambil haji tamattu’. Dengan haji ini, mereka diharuskan menyembelih seekor kambing di Mina. Katakanlah mereka menyembelih, meski dikelola dan terpusat…lalu ke mana sebaran daging sembelihan itu? Adakah selama ini berita bahwa ia mengenyangkan mereka yang kelaparan. Mengapa tidak dikirim ke negeri-negeri konflik. Jadikan keberkahan haji bersuara untuk kemaslahatan umat manusia.
Ambil juga contoh melempar jumrah di Mina. Selama dua atau tiga hari, jemaah haji mabit di Mina. Artinya, mereka harus berada di area Mina dan tidak boleh keluar dari batas-batas yang sudah ditentukan. Ibadah mereka hanya melempar saja. Usai melempar, apa yang dilakukan? Selain shalat lima waktu, istirahat. Di sinilah Ali Syariat berteriak. Baginya, Mina (dan haji) adalah sebuah konferensi akbar. Sebuah temu agung umat Islam di seluruh dunia. Sedianya mereka saling mengenal satu sama lain, berinteraksi, bersosialisasi, berkontribusi. Sedianya, mereka saling bercerita tentang kiprah, tentang musibah, tentang prestasi, tentang penderitaan yang dialami. Sesama muslim mengetahui nasib saudaranya. Palestina, Bahrain, Yaman, Suriah, Kashmir dan sesama saudara di tanah air. Bukankah Baginda Nabi Saw bersabda, “Barang siapa bangun di pagi hari dan tidak mempedulikan nasib sesama saudaranya kaum Muslimin, ia bukan bagian dari kaum Muslimin.” Haji adalah sarana saling memberi tahu dan setelahnya saling membantu.
Maka dunia akan melihat manfaat haji itu. Itulah—barangkali—mengapa ia diseru dan dituju untuk umat manusia seluruhnya, bukan untuk umat Islam saja. Dunia harus melihat pada ibadah haji dan manfaat yang dihadirkannya.
Dalam satu perjalanan ke tanah suci, saya bertemu rombongan pemuda Palestina. Wajah mereka ceria, tak terlihat datang dari tanah yang tengah menderita. “Dari Indonesia?” Sapa mereka melihat saya. Saya mengangguk. Mereka memeluk saya. Bahagia. Kata mereka, “Kami senang bertemu Anda. Tahukah kau, setiap hari guru kami bercerita tentang negerimu. Bangsa kami pasti merdeka. Kalau tidak pada generasi kami, generasi anak-anak kami. Kalau tidak mereka, generasi cucu kami. Kami pasti merdeka. Kata guru kami, belajarlah dari saudaramu orang Indonesia. Mereka dijajah 350 tahun lamanya.”
Antara haru dan malu saya menjabat tangan mereka. Haru karena mereka belajar dari tabahnya bangsa kita menghadapi penjajahan. Malu karena kita membutuhkan waktu selama itu. Kita keliru. Menurut Sejarahwan Prof. Taufik Abdullah, tidak benar kita dijajah selama itu. Pertama, ia dihitung dari pertama kali VOC mendarat di Banten. Apa masuk akal—menurut beliau—pertama datang langsung menjajah? Dan kedua, ia menafikan sejarah perjuangan dan perlawanan panjang raja-raja Nusantara melawan penjajahan. Saya malu, karena ternyata sejarah yang belum pasti seperti ini pun, sampai juga pada saudara kita di Palestina. Kita diingatkan oleh mereka. Tugas kita untuk meluruskannya bila keliru. Dan inilah satu di antara manfaat pertemuan seperti haji itu.
Sudah…sudah, jangan bayangkan biaya haji yang mengendap pada dana abadi umat itu. Jangan bayangkan bila perekonomian yang dihasilkan ibadah haji dapat membangun masjid dan madrasah, dapat mendirikan rumah sakit dan membiayainya, dapat menjadi sebuah gerakan yang memberikan kontribusi teramat besar bagi umat manusia.
Maka berbahagialah siapa saja yang berangkat dan pulang dari haji…karena ia melihat ibadahnya menghadirkan kemaslahatan bagi dunia. Aduhai, alangkah indahnya. Alangkah indahnya.
@miftahrakhmat