Al-Thabâthabâ'î tidak hanya dikenal dengan kavasitasnya sebagai seorang pakar teologi dari kalangan Syi`ah, atau—menurut ungkapan Quraish Shihab—sebagai seorang ulama besar Syi`ah kontemporer, tetapi juga dikenal sebagai seorang teosofis sekaligus pakar filsafat tradisional Persia abad ke-20 yang paling menonjol. Kavasitasnya itu memungkinkannya tidak saja dikenal di kalangan Syi`ah, tetapi juga di kalangan Sunni. Sehingga, sebagaimana dikatakan oleh—juga—Muthahharî, ia pada abad ini dikenal di seluruh Dunia Islam sebagai salah seorang tokoh intelektual dan spiritual bukan hanya dari Syiah, melainkan dari Islam secara keseluruhan.
Yang membedakan Al-Thabâthabâ'î dengan tokoh-tokoh Syi`ah sebelumnya, yakni keterbukaannya terhadap pendapat tokoh-tokoh Sunni, sebagaimana ia perlihatkan dalam salah satu karyanya, Al-Mîzân. Salah satu kitab sunni yang banyak dirujuk Al-Thabâthabâ'î dalam karyanya itu adalah Al-Durr Al-Mantsûr ditulis oleh Jalâl Al-Dîn Al-Suyûthî (849—911 H./1505). Kitab ini dipilih oleh Al-Thabâthabâ'î dari sekian kitab tafsir sunnî, barangkali, karena kitab ini di antara kitab tafsir bi al-ma`tsûr yang paling terkenal di dunia Sunni.
Perujukan silang terhadap karya-karya Sunni memang di satu sisi memperlihatkan keterbukaan Al-Thabâthabâ'î terhadap gagasan-gagasan lain di luar Syi`ah. Di samping Al-Durr Al-Mantsûr, Al-Ausî mencatat kitab-kitab tafsir Sunni lainnya yang dikutip Al-Thabâthabâ'î. Kitab-kitab itu adalah Jâmi` Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur'an karya Ibn Jarîr Al-Thabarî (224—310 H/839—922 M), Al-Mufradât fî Gharîb Al-Qur'ân karya Abû Al-Qâsim Al-Husain ibn Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Râghib Al-Ashfahânî (w. 502 H/1108 M), Anwâr Al-Tanzîl wa Asrâr Al-Ta'wîl karya Nâshir Al-Dîn `Abdullâh ibn `Umar Muhammad ibn `Alî Al-Baidhâwî (w. 691 H/1292 M), Irsyâd Al-`Aql Al-Salîm ilâ Mazâyâ Al-Qur'ân Al-Karîm (Tafsîr Abû Al-Su`ûd) karya Abû Al-Su`ûd Muhammad ibn Muhammad Al-`Imâdî (893—982 H/1487—1574 M), Rûh Al-Ma`ânî fî Tafsîr Al-Qur'ân karta Syihâb Al-Dîn Al-Sayyid Mahmûd Al-Alûsî (w. 1270 H/1853 M), dan Al-Jawâhir fî Tafsîr Al-Qur'ân karya Syaikh Thanthawî Jauharî.
***
Tafsir Al-Mîzân, menurut Abû al-Qâsim Razzâqî, menduduki posisi penting karena kualitasnya yang istimewa, tidak hanya di antara buku-buku sejenis, tetapi juga di antara pelbagai jenis buku keislaman baik agama, ilmu, filsafat dan terlebih lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis sarjana Sunni maupun Syi’i. Penilaian senada diungkapkan Murtadhâ Muthahharî, salah seorang muridnya. Ia mengatakan bahwa Al-Mîzân adalah karya terbesar yang pernah ditulis orang sepanjang sejarah kejayaan Islam, dan diperlukan waktu hingga 60 atau 100 tahun sampai orang menyadari kebesarannya. Moojan Momen bahkan menyamakan tafsir ini sejajar dengan Tafsîr Al-Qummî karya Al-Qummî (w. 307 H/919 M), Tafsîr Al-`Ayyâsyî karya Al-`Ayyâsyî (w. 340 H/951 M), Al-Tibyân karya Al-Thûsî (w. 460 H/1868 M), dan Majma` Al-Bayân karya Al-Thabrasî (w. 548 H/1153 M). Keempat kitab di atas akan disinggung agak lebih panjang pada uraian selanjutnya tentang keterpengaruhan Al-Thabâthabâ'î olehnya. Al-Rûmî menilai bahwa tafsir ini merupakan karya paling penting di kalangan Syi`ah Dua Belas pada abad ke-14 karena berusaha menyorot Al-Qur'an dari berbagai persfektif, mulai filsafat, sastra, sejarah, riwayat, dan kemasyarakatan. Seandainya tidak terpengaruhi oleh ajaran Syi`ah, menurutnya, kitab tafsir ini merupakan yang terbaik di antara-antara tafsir yang ada, sebagaimana Al-Kasysyâf seandainya tidak terpengaruhi ajaran Mu`tazilah. Sementara itu, para sarjana dan kaum sufi lainnya juga meng-ungkapkan hal yang sama mengenai karya ini. Setiap upaya untuk membahas karya ini adalah seperti berusaha mewadahi Samudera Atlantik dalam sebuah cawan kecil.
Al-Mîzân disinyalir memiliki tipikalitas tersendiri, di antaranya mengkombinasikan khazanah tafsir klasik Syi`ah dengan khazanah kontemporer yang dimiliki Al-Thabâthabâ`î sendiri. Khazanah kontemporer yang dimaksud, sebagaimana diteliti Penerbit Al-Mîzân, adalah keterpengaruhannya oleh modernisasi tafsir yang dicanangkan Muhammad `Abduh.
***
Secara garis besar, wacana seputar tafsir batini yang dibicarakan Al-Thabâthabâ'î dapat dikelompokkan kepada dua bagian. Pertama seputar ontologi (hakekat)nya yang meliputi definisi, argumentasi, nisbahnya dengan makna lahir Al-Qur'an, syarat, dan ayat-ayat yang ditafsirkan secara batini. Kedua, seputar epistemologi (prosedur) tafsir batini yang menyangkut peranan takwil dan pemegang otoritas. Pembicaraan Al-Thabâthabâ'î tentang poin-poin di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam pandangan Al-Thabâthabâ'î, tafsir batini adalah pengungkapan makna yang berada di balik makna lahir Al-Qur'an, baik makna itu jumlahnya satu atau lebih; baik hubungannya dengan makna lahir dekat atau jauh. Untuk makna yang hubungannya jauh harus ada keterkaitan antara keduanya. Nampaknya model tafsir batini yang dikehendaki Al-Thabâthabâ'î mirip dengan dengan tafsîr isyârî dan tafsîr al-ramzî, bukan tafsir batini yang dilakukan kelompok Bâthiniyah. Dengan demikian, Al-Thabâthabâ'î mempunyai rumusan tersendiri tentang tafsir batini. Menurut Al-Thabâthabâ'î, kemestian menafsirkan Al-Qur'an secara batini bukan saja didukung argumentasi-argumentasi naqliah berupa ayat Al-Qur'an, hadits Nabi, dan ucapan para Imam (tiga landasan yang dapat dijadikan hujah dalam kacamata Al-Thabâthabâ'î), juga didukung argu-mentasi rasional.
Dalam pembacaan Al-Thabâthabâ'î, arti tersirat (batin) Al-Qur’an tidak menghilangkan atau mengurangi nilai arti tersurat (lahir)nya. Bahkan, ia bagaikan nyawa yang menghidupi badan. Hubungan makna antara keduanya di samping merupakan hubungan saling melengkapi juga merupakan hubungan fungsional. Tauhidlah yang menyatukan antara kedua dimensi makna tersebut. Pembacaannya ini sekaligus membedakannya dengan sebagian tokoh Syi`ah Ismâ`îliyyah dan tokoh tasawuf yang lebih mementingkan dimensi makna batin; juga dengan ahl al-zhawâhir yang hanya mengakui dimensi makna lahir Al-Qur'an.
Berdasarkan pembacaan terhadap karya tafsirnya, Al-Mîzân, Al-Thabâthabâ'î tidak menafsirkan seluruh ayat Al-Qur'an secara batini. Pembacaan itu memungkinkan untuk melihat merumuskan pandangan Al-Thabâthabâ'î tentang pengelompokan ayat yang harus dan urgen ditafsirkan secara batini. Kelompok-kelompok itu adalah ayat-ayat tentang kisah dan mutasyâbihât.
Al-Thabâthabâ'î tidak merumuskan sendiri syarat-syarat tafsir batini yang dapat diterima sebagaimana dirumuskan ulama lainnya. Namun, berpijak kepada penjelasan Al-Thabâthabâ'î, khususnya pada Bab IV, memungkinkan penelitian ini untuk merumuskan syarat-syarat tafsir batini yang dapat diterima menurut pandangannya sebagai berikut:
a. Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) Al-Qur'an.
b. Penafsiran itu diperkuat dalil syara` lain.
c. Makna batin tidak bertentangan dengan makna lahir Al-Qur'an.
d. Tidak mengacaukan pemahaman orang awam. Syarat ini dirumuskan dari pandangan Al-Thabâthabâ'î tentang perlunya menyampaikan penjelasan pesan Al-Qur'an kepada orang awam sesuai dengan tingkat pemahamannya.
Dari enam persyaratan yang telah diajukan para ulama selain Al-Thabâthabâ'î, satu di antaranya tidak masuk persyaratan yang dikemukakan Al-Thabâthabâ'î. Persyaratan itu adalah tafsir batini tidak melampaui konteks kata. Bukti lebih lanjut dari ini adalah pengakuannya terhadap tafsir batini dari para Imam yang materinya terkadang bertentangan dengan akal dan keluar dari konteks ayat.
2. Tentang perangkat untuk sampai kepada makna batin Al-Qur'an, Al-Thabâthabâ'î memunculkan konsep takwil. Bagi Al-Thabâthabâ'î, apa yang tepat dikatakan sebagai takwil atau penafsiran Al-Qur’an, tidaklah sekedar pengertian kata-kata secara harfiah, melainkan berkaitan dengan kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataan tertentu yang berada di luar batas pemahaman manusia biasa. Dari kebenaran dan kenyataan inilah lahir prinsip-prinsip ajaran dan perintah-perintah amaliah Al-Qur’an. Ia menegaskan bahwa takwil bukanlah pemahaman literal teks ayat, tetapi pemahaman di luar tekstualnya. Korelasinya dengan pesan ayat yang ingin disampaikan adalah seperti perumpamaan (al-matsâl) dengan yang diumpamakan (al-mumatstsal). Namun, Al-Thabâthabâ'î tidak memberikan gambaran yang terperinci bagaimana takwil dipraktekkan (mekanisme takwil), sebagaimana dikenal di kalangan pengikut Syi`ah Ismâ`îliyyah. Hanya saja ia pernah menyinggung bahwa makna batin dipahami hanya dengan kasyf atau penglihatan batin melalui praktek kehidupan kerohanian. Ini berarti takwil yang digunakan untuk membuka dimensi batin Al-Qur'an benar-benar mengesampingkan aspek akal (ra'yi atau nalar) seperti takwil yang dikenal di dunia filsafat dan teologi, tetapi lebih menekankan aspek intuitif-spiritual.
Karena tafsir batini bersifat eksklusif, maka dalam pandangan Al-Thabâthabâ'î, tidak semua orang dapat melakukannya. Hanya orang yang berpengetahuan tinggi, matang secara spiritual, dan dapat melakukan kasyf-lah yang memiliki otoritas. Ia lalu menunjuk Nabi beserta Ahlul Baitnya (para Imam), sebagai pemilik wilâyah, yang memilikinya. Pertimbangannya adalah bahwa Allah telah mengajarkan tanzîl (makna lahir) dan takwil (dimensi batin) kepada Nabi yang lalu mengajarkannya kepada para Imam. Pertimbangan lainnya adalah mereka terjaga dari dosa dan kesalahan (maksum/infallible). Untuk menjaga kemungkinan jeda dalam menafsirkan Al-Qur'an setelah keghaiban Imam ke-12, Al-Thabâthabâ'î lalu mendukung ajaran Syi`ah Dua Belas yang menyatakan bahwa selama dalam keadaan sembunyi, para ulama dapat melakukan kontak spiritual dengannya, yang karenanya mereka dapat ijin untuk menafsirkan Al-Qur'an.
3. Pembacaan teoritis Al-Thabâthabâ'î terhadap tafsir batini secara aflikatif dapat dilihat pada karya tafsirnya, Al-Mîzân. Di dalam karyanya itu dapat dilihat bahwa di samping mengemukakan tafsir batini berupa riwayat dari para Imam yang jumlahnya kurang lebih 200, ia juga memunculkan sendiri tafsir batini. Ini setidaknya mengukuhkan pendapatnya bahwa di luar lembaga Imâmah, seseorang yang berkompeten dapat saja menafsirkan Al-Qur'an di bawah bimbingan Imam Mahdi melalui kontak spiritual.
Ada empat metode yang Al-Thabâthabâ'î kemukakan ketika memetakan tafsir batini: (1) Menyebutkan sanadnya, tanpa disertai komentar; (2) Menyebutkan sanadnya, disertai komentar; Penyebutan sanad yang dilakukan Al-Thabâthabâ'î pun beragam, terkadang ia mengemukakannya secara lengkap, terkadang pula hanya menyebutkan satu atau dua orang perawi saja. Yang terakhir ini paling dominan. (3) Tidak menyebutkan sanad dan komentar; (4) Tidak menyebutkan sanad, tetapi disertai komentar. Bagian ini lebih banyak daripada bagian yang ketiga.
Tidak ada aturan jelas yang dirumuskan Al-Thabâthabâ'î dalam mengemukakan tafsir batini. Ketidakjelasan itu umpamanya terlihat ketika ia tidak konsisten dalam memunculkan riwayat tafsir batini. Di satu sisi ia tidak mau memunculkan tafsir batini yang isinya keluar dari konteks asbâb al-nuzûl, tetapi di beberapa tempat ternyata ia memunculkannya. Atau, di sisi lain ia mengomentari panjang sebuah riwayat tafsir batini, tetapi meninggalkan sebagian yang lain tanpa alasan yang jelas.
Hal itu justru membuat kesan bahwa ia yang terkenal dengan sikap kritis terhadap berbagai informasi ternyata mandul dalam mensikapi tafsir batini yang terkesan tidak rasional dan, seperti diakuinya sendiri, keluar dari konteks ayat. Ia memang memberikan komentar, meskipun tidak untuk setiap riwayat, tetapi komentarnya hanya sekedar mengingatkan para pembaca bahwa riwayat yang dikemukakannya adalah tafsir batini, atau al-jary (pemberlakuan), atau inthibâq (penerapan). Di luar itu, ia tidak berusaha menjelaskan isi riwayat lebih jauh, apalagi terhadap kualitasnya. Ia hanya berlindung di bawah kaidah umum yang diletakkan di jilid I dari 20 jilid tafsir yang ditulisnya, bahwa riwayat-riwayat itu berasal dari para Imam dan tidak akan diberi komentar lebar karena berada di luar konteks tujuan penulisan tafsir.
Sikap ketidak-kritisan Al-Thabâthabâ'î terhadap riwayat tafsir batini mempunyai keterkaitan erat dengan pandangannya tentang keistimewa-an (gharîzah) para Imam yang mampu menerapkan ayat pada obyek-obyek tertentu walaupun obyek tersebut keluar dari konteks asbâb al-nuzûl. I`tibar (pengambilan pelajaran) membantu mereka melakukan hal itu. Juga berkaitan erat dengan pandangannya tentang kemaksuman Imam. Wallahu a`lam.
Prof. Dr. ROSIHON ANWAR, M.Ag adalah Peminat Kajian-kajian Tafsir Syi`ah dan Dekan Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.