Ia sampaikan kepada Nabi apa yang dilakukan umatnya. Nabi pernah berpesan, agar umat memelihara dua pusaka yang ditinggalkannya: Kitabullah dan Keluarganya. Sekarang Al-Quran hanya tinggal bacaannya. Para ulama sewaan memutarbalikkan maknanya. Lalu di mana Keluarga Nabi, perahu Nabi Nuh, gemintang penunjuk jalan? Ali dikhianati bekas pengikutnya. Ketika ruku’, pedang menebas kepalanya dan darah membasahi janggutnya. Padahal di zaman Rasul, ketika ruku’ Ali menyerahkan sedekahnya.
Masib terngiang ucapan Rasulullah kepada Ali, “Hai Ali, tidak akan mencintaimu kecuali orang Mukmin, tidak akan membencimu kecuali orang munafik.” Ketika Ali berperang tanding dengan ‘Amr bin Abdul Wudd di Khandaq, Nabi meratakan dahi di atas tanah. “Ya Allah, Engkau sudah mengambil ‘Ubaidah pada Perang Badar dan Hamzah pada Perang Uhud. Janganlah Engkau mengambil ‘Ali. Jangan tinggalkan aku sendirian.” ‘Ali menang. Rasul memeluknya. Air mata deras membasahi pipinya. Kini putra ‘Ali, Al-Husayn, mendengarkan para khatib melaknat ‘Ali di mimbar-mimbar. ‘Ali, yang meruntuhkan Benteng Khaibar, yang memenangkan Perang Badar, yang tegak berdiri di Uhud ketika sahabat yang lain melarikan diri, sekarang dicaci maki. ‘Ali, suami putri Rasulullah saw., yang berkedudukan sama seperti Harun terhadap Musa, kini dianggap murtad dari agama. ‘Ali, yang tidur di ranjang Nabi ketika Nabi berangkat hijrah, yang mengantar hijrah keluarga Nabi dengan berjalan kaki ratusan kilometer hingga melepuh kedua telapak kakinya, kini dimusuhi kaum Muslim.
Al-Hasan, putra ‘Ali, bersedia berdamai asalkan Mu’awiyah menghentikan kecaman terhadap ayahnya. Ia dikhianati. Mu’awiyah melanggar janji. Bahkan, penghulu pemuda surga ini diserang di atas kendaraannya dan diracun oleh orang yang dekat dengannya. Para pecinta ‘Ali dikejar-kejar dan dianiaya. Lihatlah, Hujur bin Adi dan sahabat-sahabatnya dikubur hidup-hidup. Puluhan orang jamaah masjid dipotong tangannya karena tidak mau melaknat ‘Ali.
Lihatlah juga ‘Amr bin Al-Hamaq, yang didoakan Nabi supaya tetap muda. Dalam usia 80 tahun, tidak selembar uban pun tumbuh di kepalanya. Ia sangat mencintai ‘Ali. Ziyad bermaksud menangkapnya. Ia lolos. Ziyad menyandera Aminah istri ‘Amr dan memasungnya. Pasukan Ziyad mengejar dan terus mengejar. ‘Amr terjebak dalam gua. Kepalanya dipotong dan diarak sepanjang kota. Inilah kepala Mukmin yang pertama kali dikelilingkan. Ziyad melemparkan kepala itu ke pangkuan istrinya. Masya Allah, istri yang saleh, pengikut ‘Ali yang setia, meletakkan kepala itu di pangkuannya. Ia meletakkan tangannya di atas dahinya dan mengecup bibirnya yang dingin seraya berkata, “Kalian hilangkan dia sekian lama, kemudian kalian hadiahkan dia padaku sebagai pahlawan. Selamat datang wahai anugerah yang kusambut tanpa kebencian.”
Al-Husayn merintih di depan makam Rasulullah saw. Ia mengadukan semua kezaliman umat terhadap Ahlulbayt dan para pecintanya. Dengarkan Al-Husayn berkata kepada kakeknya, “Salam bagimu, ya Rasulullah. Inilah aku, Al-Husayn putra Fathimah. Kesayanganmu putra kesayanganmu, cucumu, dan pusaka yang engkau amanahkan kepada umatmu. Saksikanlah, ya Nabi Allah, mereka telah menghinaku, menyia-nyiakan aku, dan tidak menjagaku. Aku mengadu padamu, sampai aku bertemu denganmu.”
Kemudian ia shalat beberapa raka’at. Ba’da shalat, ia berdoa, “Ya Allah, inilah kubur Nabi-Mu, Muhammad saw. Aku anak dari putri Nabi-Mu. Telah terjadi padaku peristiwa yang sudah Engkau ketahui. Ya Allah, aku mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku bermohon pada-Mu, wahai Pemiliki Keagungan dan Kemuliaan, dengan hak kubur ini dan penghuninya. Pilihkan bagiku urusan yang Engkau ridhai, yang diridhai Rasul-Mu, yang diridhai kaum Mukmin.” Ia menangis terus sampai menjelang waktu subuh. Ia meletakkan kepalanya di atas pusara Rasul sampai tertidur. Tiba-tiba ia melihat Nabi yang mulia datang, dikawal para malaikat di sebelah kiri dan kanan, di depan dan di belakang. Nabi merapatkan Al-Husayn ke dadanya dan mencium di antara kedua matanya, “Husayn, sayangku. Seakan telah kulihat tubuhmu bersimbah darah, terbantai di Karbala, di tengah-tengah umatku. Waktu itu, engkau kehausan dan tidak diberi minum; engkau dahaga dan tidak dipuaskan. Padahal mereka mengharapkan syafaatku. Tidak! Mereka sama sekali tidak akan mendapatkan syafaatku. Mereka tidak akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. Mereka binasa di sisi Allah. Kekasihku, Husayn, ayahmu, ibumu dan saudaramu, menitipkan salam padaku dan merindukanmu. Bagimulah derajat tinggi di surga yang tak tercapai kecuali dengan kesyahidan.”
Pada makam Rasul, Al-Husayn berjanji untuk menegakkan kembali Islam Muhammadiy – Islam yang diajarkan Muhammad saw. Islam yang menentang kezaliman, Islam yang melawan penindasan, Islam kaum mustadh’afin. Esoknya, ia menghimpun keluarganya, berangkat menuju Kufah. Kepergiannya mengguncangkan hati banyak sahabat Nabi.
Ummu Salamah, ummul mu’minin, istri Rasulullah saw., mengantarkannya dengan linangan air mata. Ummu Salamah terkenang saat ia bersama Rasulullah. Dengarkan cerita Ummu Salamah: Pada suatu malam Rasulullah saw. berbaring untuk tidur, kemudian bangun dalam keadaan resah. Ia berbaring, tidur lagi, dan bangun kembali resah seperti semula. Kemudian ia tidur lagi dan bangun. Pada tangannya ada segenggam tanah merah. Ia mencium tanah itu. Aku bertanya, “Tanah apakah ini, ya Rasulullah?” Rasul menjawab: “Baru saja Jibril memberitakan kepadaku bahwa Al-Husayn akan terbunuh di Irak. Inilah tanah tempat darahnya tumpah.” (Mustadrak Al-Shahihain). Kemudian ia memberikan tanah itu kepadaku seraya berkata: “Tanah ini berasal dari bumi tempat Al-Husayn terbunuh. Kalau tanah ini nanti berubah menjadi darah, ketahuilah Al-Husayn sudah terbunuh.” Lalu aku menyimpan tanah itu di dalam botol. Aku berkata bahwa hari ketika tanah berubah menjadi darah adalah hari yang dahsyat.
Dengarkan pula cerita Ummu Fadhl bin Al-Harits: Aku menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: “Ya Rasulullah, malam ini aku melihat mimpi yang jelek.” “Mimpi apakah itu?” Tanya Rasulullah. “Mengerikan sekali,” kataku. “Apakah itu?” sekali lagi Rasul saw bertanya. Aku menjawab: “Aku melihat sepotong tubuhmu dikerat dan diletakkan pada pangkuanku.” Kata Rasulullah saw: “Engkau bermimpi baik. Fathimah akan melahirkan anak, insya Allah. Ia akan dibaringkan pada pangkuanmu. Fathimah melahirkan Al-Husayn dan aku meletakkannya pada pangkuanku.” Ketika aku menyerahkan bayi itu kepada pangkuan Rasulullah, aku melihat air mata Rasulullah mengalir deras. Aku berkata: “Ya Nabi Allah, demi ayah dan ibuku, apa yang terjadi?” Rasul menjawab: “Baru saja Jibril datang dan mengabarkan kepadaku bahwa anakku ini akan terbunuh.” “Anak ini?”, tanyaku. “Benar”, kata Rasulullah. Rasulullah pun memberikan tanah merah kepadaku (Mustadrak Al-Shahihain).***
(KH Dr Jalaluddin Rakhmat adalah Ketua Dewan Syura IJABI)