Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Ada keberkahan yang berangsur hilang. Ya, setelah bulan suci dilepaskan dengan kesempurnaan bilangannya. Setelah lebaran mengingatkan kita pada kesejatian kembali kita. Itulah mengapa, pada waktu hari raya, dianjurkan berdiri berlama-lama. Mematung di hadapan Tuhan dalam doa. Mengangkat tangan dalam shalat dan meminta. Itulah juga mengapa, Baginda Nabi Saw mencontohkan membaca surat Al-Ghasyiyah. Surat yang mengingatkan pada wajah-wajah yang ketakutan. Wajah-wajah yang penuh penyesalan. Karena amalan tak lebih dari debu yang beterbangan.
Hari-hari ini, kita bertamu. Pada hari seperti ini, kita menerima tamu. Saling kunjung, saling memberi. Saling jumpa silih berbagi. Sebagian tinggal di rumah kita, sehari atau dua. Bahkan mungkin seminggu lamanya. Sebagian datang setelah berita, sebagian lagi muncul tiba-tiba. Semua mengantarkan bahagia. Keberkahan yang masih juga diantarkan bulan suci Ramadhan, bahkan setelah berlalunya.
Ya, kehadiran tamu adalah berkah tak terkira. Sungguh, tak ternilai kadarnya. Mari berguru pada para teladan kekasih hati kita. Merekalah yang mengajarkan kita rahasia hidup bermakna di dunia, dan bekal teramat berharga untuk perjalanan panjang sesudahnya. Sungguh, kami bersyukur Ya Allah diantarkan mengenal mereka. Mari mulai dari Baginda Nabi Saw, Sang Pangeran kerajaan Tuhan di akhirat dan dunia.
“Jika Allah Ta’ala kehendaki kebaikan pada diri seorang hamba, Allah Ta’ala anugerahkan baginya hadiah.” Para sahabat berkata: apa hadiah itu Ya Rasulallah?
“(Kehadiran) Tamu. Ia datang membawa rezeki. Dan ia pulang membawa dosa tuan rumah pergi. Saya ingin mengutip bahasa Arab Baginda Nabi Saw, karena apa yang disampaikan Rasulullah Saw selalu indah: yanzilu birizqihi wa yartahilu bidzunûbi ahli baitih. (Al-Nuri, Mustadrak al-Wasa’il, 16:258).
Bayangkan. Setiap tamu yang datang mengantarkan rezeki Tuhan. Dan setiap mereka berlalu, dosa kita diampuni Tuhan. Terkadang, karena tidak mengetahui kadar itu, karena tidak didekatkan pada ajaran Baginda Saw, kita menganggapnya biasa saja. Padahal di dalamnya ada keberkahan tak terkira.
Seperti ketika kita mengunjungi orang yang sakit. Kita saling mendoakan. Benar bahwa mengunjungi mereka adalah kewajiban, tetapi Allah Ta’ala hadirkan pahala yang besar bersamanya. “Tidak henti-hentinya para malaikat mendoakan ampunan bagi orang yang mengunjungi saudaranya yang sakit, hingga ia pulang ke rumahnya.” Atau riwayat dari Rasulullah Saw, “Barang siapa mengunjungi yang sakit, ia diliputi rahmat Allah Swt…” Rasulullah Saw lalu memberi isyarat pada sekeliling beliau seakan-akan menunjukkan seluruh tubuh kita dianugerahi rahmat, “…dan kalau ia duduk di sampingnya (orang yang sakit), rahmat itu bersamanya. Hingga ia berdiri dan pulang ke tempatnya.” (Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar 79:94).
Tidakkah kita berharap ampunan Allah Ta’ala? Bukankah kita bergantung pada luasnya rahmatNya? Tapi mengapa tak bersegera, mengunjungi saudara kita yang sedang sakit. Bayangkan rahmat yang luas itu, bila kita merawat saudara, keluarga, orangtua kita yang terbaring tanpa daya. Kita wajib memohon doa pada mereka.
Demikian pula, kehadiran tamu. Kita tak tahu sesuatu itu berharga, hingga ia ditepiskan dari kita. Mari belajar dari tuan-tuan rumah di antara Najaf dan Karbala, yang memuliakan tamu mereka begitu rupa. Yang bahagia bila rumah mereka disinggahi, bila makanan mereka dinikmati, bila tubuh mereka diletihkan karena berkhidmat pada tamu yang berdatangan. Mereka pasti belajar dari para teladan suci mereka. Seperti Ali, Amirul Mu’minin ‘alaihis shalatu was salam.
Satu hari, Imam terlihat murung. Wajahnya menyiratkan mendung. Para sahabat bertanya, “Gerangan apa yang merisaukanmu?” Imam menjawab, “Sudah tujuh hari berlalu, dan tak datang seorang pun tamu.” (Al-Dailami, Irsyad al-Qulub, 1:136).
Favorit saya dari kalimat singkat Imam Ali as tentang tamu adalah berikut ini. “Tiga hal aku cintai dari dunia: menjamu tamu, berpuasa di musim panas, dan pukulan pedang.” (Mustadrak al-Wasail, 16: 259) Pilihan kata saya amat jauh mewakili hak kalimat Imam yang indah. Dalam Bahasa Arabnya, Imam berkata: ith’amud dhaif, was shaumu bis shaif, wad dharbu bis sayf. Puitis. Luar biasa!
Mari maknai kalimat Imam Ali as itu. Menjamu tamu adalah tiga hal yang Imam cintai. Dan Imam sandingkan (kemuliaannya) dengan berpuasa di musim panas. Puasa di musim panas berlangsung lama. Terik matahari membuat lapar dan dahaga lebih terasa. Dan Imam menikmati setiap detiknya. Lalu, Imam sandingkan pula dengan hantaman pedang di tubuhnya. Imam tidak mengaduh. Ia justru bersyukur. Pukulan pedang itu karunia teramat indahnya.
Kita mungkin tak kuasa diuji dengan hantaman pedang. Kita mungkin terhuyung-huyung berpuasa di musim panas yang panjang. Imam hadirkan kesempatan ketiga yang tak kalah mulianya: menjamu dan berkhidmat pada tamu. Ya Allah, betapa meruginya kami selama ini.
Terlalu banyak adab dan keberkahan memuliakan tamu itu. Saya bayangkan ia bisa jadi risalah tersendiri. Ah, terlalu banyak keinginan menulis ini dan itu. Ajaran para teladan suci teramat berharga setiap halnya. Ada bagian berkaitan dengan tuan rumah, tamu, adab bertamu, adab melayani tamu…dan sebagainya.
Bagi tuan rumah bila tak cukup memuliakan tamunya, ia bisa dianggap menzaliminya. Menzalimi artinya tidak menunaikan haknya. Seperti pertanyaan seorang sahabat pada Imam Ja’far as tentang makna Al-Qur’an Surat al-Nisa: 148, “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya..” Imam menjelaskan, “Bila seorang tuan rumah tidak melayani tamunya dengan baik, ia telah menzaliminya.” (Allamah Hur ‘Amili, Al-Wasail, 13:289)
Tetapi bersama ancaman siksa yang berat, selalu tersedia anugerah yang penuh berkat. Baginda Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa memuliakan tamunya, seakan-akan ia memuliakan tujuhpuluh nabi. Barangsiapa mengeluarkan satu dirham untuk tamunya, seakan-akan sejuta dirham diinfakkannya di jalan Allah Swt.” (Al-Dailami, Irsyad al-Qulub, 138).
Dan bersama tergelincirnya fajar bulan Syawal, satu persatu tamu yang berdatangan kembali ke kampung halaman. Sedikit demi sedikit keberkahan itu ditepiskan. Kemuliaan berkhidmat pada para nabi, perlahan-lahan dijauhkan.
Mohon kami dimaafkan, bagi setiap tamu yang telah berkenan meringankan langkah kedatangan. Bagi mereka yang memberkati kami dengan rezeki yang diturunkan Tuhan. Bagi mereka yang berlalu dengan dosa kami dalam ampunan. Bagi perkhidmatan yang setara dengan puasa di terik matahari, dan tebasan pedang di jalan Ilahi. Bagi kemuliaan duduk dan bersanding dengan tujuhpuluh nabi. Maafkan kekurangan perkhidmatan kami. Maafkan ketidakmampuan kami melayani.
Selamat jalan. Selamat kembali ke kampung halaman. Terima kasih telah berkenan, memuliakan kami dalam perkhidmatan.
“Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam saja. Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.” (HR. Abu Hurairah, Shahih Muslim: 47)
Tak memuliakan tamu, hilang keimanan, lepas keselamatan di hari kemudian. Ampuni, ampuni.
Mohon (entah untuk kesekian kali), maafkan kami.
Dan kami takkan pernah berhenti, untuk memohon maaf itu.
Selamat jalan, selamat kembali ke kampung halaman.
@miftahrakmat dan Bu Admin sekeluarga