Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Ada lagi yang khas di negeri ini. Jelang sahur, biasanya masyarakat dibantu dibangunkan. Ada dengan kentongan, ada bedug keliling, ada juga pengumuman dari masjid memberitahukan sudah pukul tiga dini hari. Di komplek rumah kami, ada almarhum Pak RW yang mengabarkan berapa menit lagi tersisa hingga waktu imsak. Dengan suara khasnya, Mbah—begitu kami memanggilnya—akan mengingatkan, “Imsak sepuluh menit lagi. Imsak lima menit lagi.” Dan ketika tiba waktunya imsak, “Imsak…Imsak…Imsaaak!”
Imsak artinya menahan diri. Berhati-hati sekitar sepuluh menit sebelum adzan Subuh. Sebetulnya, masih boleh makan dan minum setelah imsak. Yang tidak boleh itu setelah Subuh. Tapi demi kehati-hatian, diberilah waktu sepuluh menit itu. Ada baiknya juga. Memastikan benar-benar ketika Subuh sudah tidak lagi makan dan minum. Atau, waktu itu digunakan untuk bersiap shalat Subuh. Tradisi yang sangat baik. Sehingga, ada juga orang yang setelah adzan Maghrib tidak bersegera (ta’jil) berbuka. Katanya, “Sebagaimana sebelum Subuh berhati-hati dengan imsak, maka setelah Maghrib pun berhati-hati agar yakin sudah benar-benar masuk di waktunya.” Sah-sah saja. Lagi-lagi, bulan puasa mengajarkan pada kita penghormatan pada pendapat yang berbeda.
Seperti di waktu sahur itu. Kita diajarkan bahwa sahur adalah waktu penuh berkah. Tasahharuu fainna fis sahuuri barakah. (Bangun dan makan) sahurlah karena pada sahur itu ada keberkahan. Demikian hadits Baginda Nabi Saw. Menurut Al-Qur’an, di antara ciri orang bertakwa adalah, wa bil ashaari hum yastaghfiruun. Dan di waktu-waktu sahur mereka memohonkan ampunan (QS. Adz-Dzariyaat [51]:18). Sahur adalah waktu memohon ampun kepada Allah Swt. Sahur adalah waktu menangis.
Diriwayatkan ketika saudara-saudara Nabi Yusuf as meminta maaf kepada ayah mereka, Nabi Ya’qub as, mereka memohon agar Nabi Ya’qub as memohonkan ampunan Allah Ta’ala bagi mereka. Mereka minta agar Nabi Ya’qub beristighfar untuk mereka. Nabi Ya’qub as menjawab, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf [12]:98) Nabi Ya’qub as tidak dengan segera pada waktu diminta itu langsung beristighfar. Nabi Ya’qub akan memohonkan ampunan. Dalam Bahasa Arabnya kata ‘akan’ itu diartikan dari ‘saufa’ yang menunjukkan waktu akan datang yang (agak) jauh. Saufa astaghfiru. Adapun waktu akan datang yang segera adalah sa astaghfiru. Demikian di antara keistimewaan Bahasa Arab. Imam Ja’far Shadiq as, guru dari para imam mazhab besar menjelaskan makna ayat ini. Menurut beliau, Nabi Ya’qub as menunggu hingga waktu sahur pada dini hari Jumat untuk beristighfar kepada Allah Ta’ala bagi putra-putranya. Nabi Ya’qub as memilih waktu mustajab, sahur.
Dan inilah serba-serbi bulan suci di kita punya negeri. Di waktu sahur itu, bila kita putar televisi kita, maka yang akan hadir adalah acara-acara ringan, variety show. Ada kuis, ada sinetron, ada lawak dan musik. Tentu ada juga ceramah agama. Tidak jarang kombinasi dari semuanya. Penceramah mendendangkan juga beberapa bait syair. Ini khas negeri kita. Bahkan, pernah ada tarian khusus yang booming dan tercipta di waktu sahur ini. Alih-alih beristighfar, sahur menjadi waktu tertawa. Apakah ia masuk pada ayat berikut ini? Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu tertawa dan tidak menangis? (QS. Al-Najm [53]:60).
Salahkah, bukankah sahur waktu istighfar? Mari tidak berprasangka terlebih dahulu.
Sesungguhnya, ada amalan yang berat dalam timbangan. Ada amalan yang utama dilaksanakan. Amalan itu adalah memasukkan rasa bahagia pada sesama saudara. Idkhaalus suruur fii qalbil mu’min. Maka ragam acara variety show itu sesungguhnya (diniatkan) untuk mendatangkan bahagia (semoga). Mungkin ada banyak ujian tengah dihadapi. Mungkin persiapan hari raya membuat pikiran ke sana ke mari. Maka para penghibur tampil, untuk memberikan rasa bahagia. Biarlah istighfar di saat sahur itu bukan jadi hal yang dipertontonkan. Biarlah tangisan di waktu dini hari hanya bagi Tuhan diperuntukkan. Biarlah Allah Ta’ala saja yang tahu, sesal dan permohonan ampunan kita. Seluruh keluh kesah dan duka kita. Jadikanlah tangis kesedihan itu, milik kita seorang diri.
Sesungguhnya di antara ciri orang beriman kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, “Wujuuhuhum mabsuuthah, wa quluubuhum mahzuunah.” Wajah cerah ceria, sedang batin menyimpan duka.
Apa pun kesedihan kita, apa pun duka kita, seberat apa pun ujian kita, kepada sesama saudara yang kita tampakkan adalah wajah yang ceria, wajah yang bahagia. Bukan gerutuan, caci maki apalagi kata-kata yang tidak pantas di sosial media kita.
Demikian yang diajarkan sahur di acara televisi negeri kita. Serba-serbi bulan suci di kita punya negeri. Titip doa senantiasa untuk bangsa dan tanah air tercinta di waktu dini hari Saudara.
@miftahrakhmat