Kini, orang mencari pembenaran atas apa yang sudah diyakininya. Atas pendapat kelompoknya. Atas kesenangan turutan dirinya. Inilah yang disebut dengan post truth. Konon, istilah ini ramai jelang Pilpres di US 🇺🇸. Berdampak pula pada politik di negeri kita 🇮🇩. Maka informasi yang kita cari adalah informasi yang makin memperkuat pendapat pertama kita, pilihan pertama kita. Opsi likes dan retweet di sosial media mempertegasnya. Apalagi algoritma pemrogramannya disusun untuk keperluan komersial seperti iklan dan sebagainya 🤔. Maka kita akan memperoleh iklan yang memang sudah diarahkan sesuai dengan kebiasaan dan ketertarikan kita. Begitu pula laman berita, pilihan video…manusia digiring mempersubur kesukaannya, memperturut keinginannya, mempertuhankan hawa nafsunya 🗿. Di sinilah puasa berperan membimbing kita mengendalikannya.
Ambil contoh, tragedi Mohammed Salah, pemain sepakbola ⚽ yang menjadi trending topic beberapa hari ini. Mo Salah, begitu ia kerap dipanggil, meski saya tak begitu senang nama Baginda Saw disingkat. Di tempat kita ia jadi Mat, atau Amat, atau Mamat. Serba-serbi kita punya negeri. Bahkan dalam daftar absen cenderung disingkat, cukup ‘M’ saja. Ada juga pejabat yang tidak menyertakan nama penuh berkah itu dalam tulisan namanya. Ah, ampuni kami Ya Rasulallah. 😭🙏🏼😭
Tentang Mo Salah, pembenaran ini terjadi. Bahkan ada yang menggunakannya untuk kepentingan politik jangka pendek. Menjadikannya sebagai komoditas untuk membenarkan perilaku kelompoknya ☝🏼. Bagaimana bila diketahui ternyata Mohammed Salah berlawanan dengan apa yang ia kira. Tak masalah, pembenaran berikutnya akan dilakukan.
Di Final Liga Champions Eropa yang lalu, Mohammed Salah terjatuh. Kalimat saya pun menyiratkan post-truth itu. Kata yang pro, bukan terjatuh tapi ‘dijatuhkan’. Kapten tim lawan menariknya ke bawah dan menggunakan momentum laju dan berat tubuh untuk menghempaskannya. Kata yang kontra, Ramos—nama kapten itu—tidak menarik, melainkan ‘ditarik’. Demikianlah, alih-alih mencari kebenaran, kita melakukan pembenaran. Post-Truth. 🏹
Di sinilah puasa membimbing kita. Sungguh, tarikan pertama jiwa memang pada godaan pembenaran itu. Pada hembus keakuan yang tak henti ditiupkan Iblis dan balatentaranya di urat nadi kita. “…karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan…” (QS. Yusuf [12]:53). Seakan insting alami manusia, godaan pembenaran itu akan selalu mengemuka. Tahan dulu, tunggu dulu. Beri ruang untuk pendapat yang berbeda. Belajarlah melihat dari sudut pandang mereka. Seperti puasa, hayati perasaan mereka yang menderita. Caranya? Menahan diri dari berkesimpulan seketika. Menahan diri dari mengumbar kata begitu saja. Seperti puasa, lisan kita tak nyaman berbuih berbusa-busa. Tapi bagaimana, bila ia kini diwakili oleh teks dari telepon genggam kita 📲. Adalah pikiran yang kini harus belajar berpuasa.😑
Seperti serba-serbi bulan suci dari tanah Sunda. Orang Sunda punya dua istilah yang berbeda. Dua-duanya diambil dari Bahasa Arab: Shaum dan Shiyam.
Bagi orang Sunda, ada beda antara keduanya. Shaum digunakan untuk merujuk pada puasa (tidak makan dan minum) yang sedang dilakukan. Shiyam untuk bulan puasanya. Orang Sunda menyebut ‘abdi nuju shaum’. Mereka tidak akan berkata, ‘abdi nuju shiyam’. Orang Sunda tidak menyebut, ‘ieu sasih shaum’. Mereke menyebutnya, ‘ieu sasih shiyam.’ Serba-serbi bulan suci di kita punya negeri.
Mengapa? Karena shaum dalam Al-Qur’an merujuk pada puasa bicara. Puasa menahan kata. 😶Puasa Nabi Zakariyya as, puasa Siti Maryam sa. Maka puasa (bulan Ramadhan) mesti disertai dengan puasa bicara. Setelahnya menahan apa yang diucapkan, kemudian menahan apa yang dipikirkan. Latihlah pikiran kita untuk tidak terbiasa melakukan pembenaran. Tundukkan ia untuk senantiasa berusaha mencari kebenaran.
Shiyam dan shaum. Khas negeri ini, khususnya di tanah Sunda.
Jadi Mohammed Salah terjatuh atau dijatuhkan? Menarik atau ditarik? Lihat lagi videonya baik-baik. Yang salah bukan Ramos saja. Yang Salah, dua-duanya.
Pembenaran atau kebenaran? ❓❔❓
Selamat berpuasa dengan shaum lisan dan pikiran.
@miftahrakhmat
Catatan: konsep post truth saya ringkas dari kajian di bulan suci, sebelumnya dibahas oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat dan Ismail Fahmi, Ph.D.