Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Plato pernah ditanya, “Mengapa kau memuliakan gurumu lebih dari ayahmu?” Ia menjawab, “Karena ayahku membawa aku dari surga menuju dunia. Sedang guruku mengantarkanku kembali dari dunia menuju surga. Nah, manakah yang mesti lebih kaumuliakan?”
Hari-hari ini, kita menjemput bulan suci. Munggahan, megengan jadi rangkaian tradisi. Di Sekolah-sekolah Muthahhari, anak-anak dan guru-guru juga berkumpul, saling bermaafan, saling mendoakan.
Pada mereka saya sampaikan: “Ada nikmat Allah Ta’ala yang kita terima setiap saat. Bernafas misalnya, jantung kita yang terus berdetak dan sebagainya. Tapi ada juga nikmat Allah Ta’ala itu yang datangnya sewaktu-waktu. Libur sekolah, misalnya. Dan, beberapa saat lagi akan datang nikmat Allah Ta’ala yang hadir setahun sekali. Sebulan lamanya. Inilah saat pahala dilipatgandakan. Apa nikmat Allah Ta’ala itu?”Anak-anak menjawabnya: “Bulan suci Ramadhan!”
Ya, inilah nikmat yang datang setahun sekali. Inilah waktu mulia yang mengantarkan kita ‘dari dunia menuju surga’. Karunia yang tiada terperi. Dan sungguh, semua karuniaNya tiada terperi.
Setiap kali menyambut bulan suci, viral ucapan “Marhaban ya Ramadhan.” Ada juga yang mengoreksi, kata baku Bahasa Indonesia adalah Ramadan bukan Ramadhan. Ada juga yang mengingatkan, yang lebih tepat adalah Marhaban ya Syahra Ramadhan. Yang terakhir ini sesuai riwayat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw yang meminta sahabatnya untuk menyebut bulan suci sebagaimana Al-Qur’an menyebutnya: Syahru Ramadhan.
Lalu muncullah meme-meme seputar kebiasaan bulan suci. Tangan tak mampu berjabat, air tak selalu jernih, kaki tak mampu melangkah dan kutipan-kutipan penanda awal bulan suci...keluar masuk grup-grup sosial media kita. Ikuti saja hashtag #simulasijokesramadhan di twitter yang cukup menghibur. Atau foto keluarga berbaris rapi dan sebaris bait berbagai bahasa menghiasi. Alhamdulillah, selamat datang wahai bulan suci. Bukankah itu arti Marhaban ya Syahra Ramadhan?
Benarkah? Ternyata marhaban lebih dari sekadar selamat datang. Ternyata marhaban mengajarkan kita sebuah kearifan. Apakah itu? (Bersambung...) ***
@miftahrakhmat