Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Selamat datang bulan suci Ramadhan! Dalam Bahasa Arab, menyambut selamat datang menggunakan di antaranya dua kalimat berikut ini: ahlan wa sahlan dan marhaban. Apa makna kedua kata itu? Apakah sekadar selamat datang?
Ahlan artinya: penghuni, yang layak, yang ahli dan masih banyak lagi. Mengucapkan ahlan menyambut selamat datang artinya: make yourself at home. Anggap saja rumah sendiri. Ini tempatmu sendiri. Kau memang layak di sini. Tidak perlu sungkan-sungkan.
Sahlan artinya: take it easy. Senyamanmu saja. Yang santai saja. Mudahkan dan leluasalah di sini.
Ahlan wa sahlan lebih dari sekadar selamat datang. Islam mengajarkan pada kita makna dari menyambut tamu itu. Agar menjadikannya leluasa, nyaman, seperti di rumah sendiri.
Tetapi Islam juga mengajarkan adab bertamu. Selain ada kewajiban dari sisi tuan rumah, ada pula kewajiban dari sisi tamu. Lalu, apa bedanya ahlan wa sahlan dengan marhaban. Dan yang mana yang kita ucapkan untuk bulan suci?
Marhaban diambil dari kata rahiba atau rahuba yang artinya luas, besar, lapang. Ucapan marhaban menunjukkan kita menyambut tamu kita dengan segala kebesaran hati, kelapangan jiwa, keluasan diri kita. Marhaban menunjukkan lapang dada. Sebagai tuan rumah, kita menyambut tamu dengan terbuka dan bahagia. Itulah marhaban.
Masih dari akar kata yang sama, tempat beristirahat, taman atau lapangan yang cukup luas, rest area, juga disebut dengan rihab. Maka ketika kita mengucapkan ‘Marhaban ya Syahra Ramadhan’ kita jadikan juga bulan suci bulan beristirahat. Bulan beristirahat siapa? Jiwa kita. Ruh kita.
Sudah terlalu lama ruh ini lelah. Sudah terlalu lama jiwa ini letih. Apa yang melelahkannya? Urusan duniawi kita, pikiran-pikiran yang tidak disandarkan pada Dia, Sang Maha Segala.
Ketika mengucap Marhaban ya Syahra Ramadhan, lapangkanlah dada kita. Luaskan hati kita. Besarkan jiwa kita. Masuki bulan suci tanpa ada ganjalan pada sesama. Tanpa unek-unek. Tanpa segala sesuatu yang membuatnya sempit. Masuki bulan suci dengan juga mengistirahatkan diri, dari sesuatu yang tidak untuk Dia. Mari coba istirahat dari berbagai urusan politik dan polemiknya. Bila masih ada kosong satu kosong dua, dan kita bertikai karenanya, dada kita belum lapang, diri belum tenang. Jiwa kita belum beristirahat, dan marhaban belum kita ucapkan.
Marhaban ya Syahra Ramadhan, semoga kami dapat menjemput kehadiranmu dengan sebaik keleluasaan. Dengan hati yang ikhlas, dada yang lapang, dan menjadikanmu sebaik waktu agar jiwa kami tumbuh kembali, hidup kembali, beristirahat dari yang tidak seharusnya, dan mengatur ulang biduk kehidupan untuk kembali diarahkan semata kepadaNya. Hanya kepadaNya.
Dan kemudian datanglah bulan suci. Siapakah tamu dan siapakah yang menjamu? Siapakah sesungguhnya tuan rumah, dan siapakah yang datang berkunjung? Kita ataukah bulan suci Ramadhan. Siapakah tamu itu? Kita ataukah dia? (Bersambung…)
@miftahrakhmat