Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Maka sesal demi sesal akan menghunjam manakala Baginda Nabi (Muhammad) Saw tak dekat dalam ucapan. Bila kau rindu seseorang, kau bahagia bila namanya disebutkan, bukan? Tetapi, Baginda Nabi Saw teramat sempurna untuk dapat dilukiskan. Bagaimanakah kita dapat benar-benar mencintainya? Bagaimanakah rindu dapat sungguh-sungguh menghadirkannya? Melalui saudara-saudara yang hadir dalam hidup kita.
Kita masih sangat jauh dan jauh dan jauuuh sekali dari mencintai Baginda Nabi Saw. Maka mulailah dengan mencintai mereka yang mencintai Rasulullah Saw. Teladani setiap orang yang sangat mencintai dan merindukan Baginda Nabi Saw: para sahabat semisal Tsauban atau para ulama di tengah-tengah kita sekarang. Mereka yang menjadi cerminan kehidupan Rasulullah Saw. Baginda Nabi Saw yang membalas keburukan dengan kebaikan. Yang meminta ember berisi air ketika ada seseorang menodai kehormatan masjid nabawi. Alih-alih marah dan mengeluarkan kata-kata kasar, Baginda Nabi Saw mencontohkan teladan akhlak yang sangat baik. Sungguh, bila kita rindu Baginda, itu karena keteladannya jauh dari antara kita.
Berkhidmatlah pada orang-orang saleh. Berbaktilah pada orangtua. Kunjungi saudara yang sakit dan memerlukan. Bantu mereka yang teraniaya. Satu saja di antara mereka dibalas kerinduannya oleh Rasulullah Saw, kita akan bergantung pada yang satu itu. Silsilah wasilah itu seperti seorang yang syahid yang diizinkan memberi syafaat pada 70 orang keluarganya. Atau seorang penghafal Al-Qur’an yang juga dapat diizinkan memberikan syafaat. Bayangkan syafaat yang diberikan pada ia yang kecintaannya pada Rasulullah Saw takkan bertepuk sebelah tangan.
Itulah yang membuat saya terharu setiap kali melangkah di jalanan Najaf – Karbala. Orang-orang yang tulus berkhidmat sepanjang puluhan kilometer. Di satu tempat kami beristirahat, mereka berikan seluruh kamar yang mereka miliki. Mereka sendiri memilih menepi ke dapur. Ketika mereka hidangkan bagi kami makanan, mereka berdiri menunggu barangkali kami masih ada permintaan. Semua itu dilakukan dengan penuh perkhidmatan. Kami tinggal di rumah mereka, tanpa biaya. Kami tidur di rumah mereka, tanpa biaya. Dan mereka membayarkan makanan yang dengannya kami kenyangkan perut kami. Porsi yang besar itu tidak bisa kami habiskan. Maka mereka mengumpulkannya. Dan di dalam dapur, keluarga itu menghabiskan makanan yang kami sisakan. Ya Allah, begitulah laku seorang pecinta.
Mereka hanya berharap sekiranya ada di antara kami yang ziarahnya diterima, mereka juga beroleh keberkahan karenanya. Inilah silsilah wasilah.
Ya Allah Ya Rasulallah…ampunilah kami semua. Alih-alih saling menolong, kami berselisih di antara kami. Dalam bahasa KH. Mustofa Bisri, “…di mana-mana sesama saudara, saling cakar berebut benar.” Alih-alih bergabung dengan sebanyak mungkin orang saleh, kami batasi lingkup pertemanan kami. Kami kavling surga hanya untuk kami. Hanya untuk mereka yang sekelompok dengan kami. Adakah itu karena, masih menurut KH. Mustofa Bisri, “…sekian banyak Abu Jahal Abu Lahab menitis ke sekian banyak umatmu…” Lindungi kami Ya Allah. Maafkan kami Ya Rasulallah.
Bahkan ketika dunia tak berimbang memberikan pemberitaan. Saudara-saudara kami di Suriah teraniaya. Fakta diputarbalikkan dunia. Bahrain yang menderita. Yaman yang berduka…tak pernah hadir dalam doa kami untuk sesama. Kashmir, Rohingya, para pengungsi di Eropa. Bahkan mereka yang berada di kiri dan kanan kita. Masih layakkah kami merindukanmu, duhai Baginda? Masih berkenankan engkau layangkan pandangmu pada kami? Masih bolehkah kami menggumamkan shalawat untukmu.
Tak ada yang pantas pada diri ini. Tak ada yang layak untuk itu. Sungguh dalam setiap ungkap shalawat ada rasa malu sepenuh diri. Luruh dan luntur seluruh harga diri. Bagaimana mungkin kami menyebut namamu, sedang engkau teramat penyayang pada sesama. Adapun hati kami teramat keras seperti baja. Kami tidak lagi tersentuh oleh derita sesama manusia. Kami bukan lagi umatmu yang menebarkan kasih untuk semesta. Maafkan kami Ya Rasulallah…maafkan kami.
Maka izinkan aku bergantung pada kelebat selendangmu. Tampar wajah nan penuh dosa ini. Sekiranya malakal maut datang menjemputku saat ini, wajahku akan menghitam. Perutku akan membesar. Dan aku tidak punya shalawat yang kusenandungkan. Dengan apa aku berharap keselamatan…
Maafkan aku Baginda. Sayangi aku duhai Paduka. Mawlidmu tiba dan tak tampak meriah suka cita. Umatmu tengah berduka, diadu domba tangan-tangan durjana. Doakan kami Wahai Sang Tercinta. Doakan kami kekuatan. Mohon Sang Mahakuasa anugerahkan bagi kami kesabaran.
Izinkan aku bergantung tangisan penyesalan. Pada tetes mata yang mengalir setiap namamu dilantunkan. Pada ketakutan keterpisahan. Pada dukacita keterjauhan. Seperti Tsauban, izinkan aku berduka di setiap suka cita. Engkau pasti nun jauuuuuuuuuuuuuuh di atas sana. Tak setitik pun aku akan sanggup melihat noktah terjauhnya. Tapi kerinduan sebesar dzarrah kepadamu akan senantiasa membara di dalam dada. Dan bukankah amal kebaikan, sebesar debu pun akan dilihatNya? Cahaya putih selalu terlihat di tengah kelam gulita dosa.
Izinkan aku datang pada setiap orang saleh yang kaucinta. Izinkan kugantungkan tangisan penyesalanku pada mereka. Izinkan kusembunyikan wajah yang menghitam karena dosa. Izinkan aku berdiri di belakang mereka. Mungkin ada jutaan orang saleh berbaris di hadapanku, untuk menyembunyikan jelaga hitam dosaku. Semoga sampai satu saat, meski tunduk malu takkan pernah lepas dari kepala, lalu kudengar sabda mulia... “Hampir-hampir kau celaka, Miftah…hampir-hampir kau celaka…”
Untuk mendengar itu, Baginda…akan kutukar seisi dunia.
MawlidurRasul Saw 1438 H
@miftahrakhmat